Anak Angkat

Berhasil Meraihnya



Berhasil Meraihnya

0Cukup lelah Mesya mengitari ruangan itu, tapi dia belum menemukan kitab yang sedang ia cari.     

"Aduh, di mana sih, mereka menyembunyikan kitab itu?" gumamnya, Mesya melihat benda-benda itu secara teliti.     

Tapi anehnya tetap saja tidak menemukan kitab yang ia cari.     

"Ah, di mana aku harus mencarinya?" Mesya sudah merasa lelah.     

"Sepertinya Tuan Wijaya, tidak menaruh kitab itu di ruangan ini,"     

Dia mulai putus asa dan hendak keluar saja, karna dia yakin jika kitab yang ia cari tidak di taruh di tempat ini oleh Wijaya.     

"Pasti ada di kamar, Ayah!" ucapnya. Mesya hendak keluar dari dalam kamar itu, dan tak sengaja dia menabrak sebuah meja berukuran sedang, sampai meja itu terjungkir.  Di bawah meja itu terdapat patung berbentuk kepala manusia.     

Mesya merasa penasaran dengan benda itu, karna terlihat sangat aneh.     

Mesya memegangnya. Dan ternyata kepala itu bergerak, lalu di sampingnya tiba-tiba muncul sebuah lorong gelap dan terdapat sebuah tangga menuju ke lantai bawah. Ternyata patung kepala manusia itu adalah tombol menuju ruang yang lebih rahasia lagi. Mesya semakin dibuat penasaran.     

'Ruang apa ini?'     

'Apa jangan-jangan, Ayah, menyimpan kitab itu di sini,' dalam hati Mesya bertanya-tanya.     

Dan dia pun berjalan menuruni tangga itu, berharap di dalam ruang sana dia menemukan apa yang ia cari.     

Mesya melihat sisi demi sisi, hingga dia menemukan sebuah tabung yang mirip akuarium.     

Mesya mendekat, di sisi luar permukaan tabung yang terbuat dari kaca itu menujukkan isi di dalamnya.     

Ada sebuah benda mirip buku, dengan permukaan yang lusuh. Benda itu terlihat sangat kuno.     

"Aku yakin, inilah benda yang kucari," Mesya segera meraihnya, tapi sayangnya tabung itu terkunci. Ada sebuah gembok yang mengaitnya.     

"Sial!" Dia mulai mencari cara lain untuk membuka tabung itu.     

Mesya melihat sebuah martil di dalam ruangan itu.     

Tanpa berpikir panjang Mesya langsung meraih martil itu, lalu membenturkan pada tabung kaca dan ....     

Prang!     

Tabung kaca pecah seketika dan Mesya segera meraih kitab itu lalu berlari ke atas, tak lupa dia menutup kembali ruangnya bawah tanah agar tidak ada yang curiga.     

"Akhirnya, aku mendapatkannya!"     

Sampai di lantai atas ruang rahasia, Nadia membrikan isyarat kepada Mesya, dengan cara melakukan panggilan telepon.     

Sesuai perjanjian sebelumnya jika ada tanda-tanda kedatangan Wijaya dan Satria, maka Nadia akan memberi tahu Mesya dengan melakukan panggilan telepon sebagai isyarat. Mesya langsung waspada.     

"Aduh, Bu Nadia, sudah memberikan kode, itu artinya aku harus keluar dari dalam ruang ini secepatnya, tapi dengan cara yang hati-hati,"     

Mesya mengangkat teleponnya tanpa berkata 'halo' dia hanya mendengar apa yang sedang Bu Nadia lakukan di luar, ponsel memang sengaja dihubungkan dengan headset. Sehingga Mesya dapat mendengar Nadia yang sedang berdialog dengan kedua pria itu.     

Nadia sedang berusaha menghentikan mereka yang hendak masuk ke rumah rahasia.     

[Tuan, apa Anda lapar? Saya sudah selesai menyiapkan makanan!]     

[Saya tidak lapar, saya hendak pergi ke ruang rahasia!]     

[Tapi saya baru saja menyiapkan makanan sepesial untuk, Tuan, sayang sekali kalau sampai dingin,]     

[Ada apa denganmu, Nadia? Kenapa tiba-tiba sekali bertingkah aneh dan menyuruhku untuk segera makan?]     

[Karna saya sudah memasakkan khusus makanan untuk, Anda dan Tuan Muda Satria, makanan ini menu baru, saya hanya ingin kalian memakannya hangat-gangat, dan dagingnya sudah saya permentasi dengan bumbu khusus, pasti kalian menyukianya,]     

[Yasudah, kalau begitu mana makanannya, Bibi Nadia? Ayo kita makan bersama-sama, Ayah!] ajak Satria, suara mereka terdengar begitu jelas lewat ponsel Nadia.     

"Mereka sedang berada diruang makan, aku bisa keluar dari ruang ini dengan aman,"     

Mesya terpaksa memasukkan kitab itu ke dalam baju, lalu dia berjalan menuju kamar namun dengan langkah yang agak tertatih.     

Dia menggunakan pakaiannya yang longgar sehingga tidak ada yang tahu kalau dia sedang memasukkan benda di dalam pakaiannya yang menutup perut.     

"Eh itu, Mesya!" panggil Satria. Mesya sedikit tersentak.     

"Sayang! Ayo makan siang bersama, kami?" ajak Satria.     

"Ah ... maaf, Kak Satria, aku sudah makan, lagi pula perutku sedang tidak bisa di ajak kompromi," ucap Mesya.     

Dan sesegera mungkin dia naik ke atas tangga dan tak menghirukan panggilan sang suami.     

Satria mengkhawatirakan keadaan Mesya. Dia hendak mengejar Mesya, tapi Nadia berusaha untuk menghentikannya.     

"Tuan Muda, makan saja. Mesya itu sedang ingin israhat, biarkan saja. Justru kalau kau mendekatinya yang ada malah merusak waktu istirahatnya," ujar Nadia.     

"Ah, begitu ya, baiklah aku akan memberinya waktu untuk beristirahat," tukas Satria.     

Mesya pun dengan tenang naik ke lantai atas.     

***     

Mesya segera memasukkan kitab itu ke dalam tasnya.     

Kini perasaannya sedikit tenang, dia sudah berhasil merebut kitab itu secara diam-diam. Dan mereka belum menyadarinya.     

Mesya segera menulis, pesan untuk David, dia memberi tahu kabar bahagia ini.     

Kini Mesya kembali mencari alasan untuk pulang ke rumah orang tuanya, dan memberikan kitab itu tanpa membuat Satria dan Wijaya curiga.     

Setelah selesai makan siang, Satria naik ke lantai atas, untuk menghampiri Mesya.     

Dan terlihat Mesya yang sedang menangis di atas kasur.     

Satria tampak begitu panik, dan segera menghampiri sang istri. Dia tidak tahu jika tangisan ini bagian dari akting.     

"Mesya, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" tanya Satria.     

Pria itu menyeka air mata Mesya.     

"Apa yang membuatmu menangis?" tanya Satria kepada Mesya.     

"Aku, rindu orang tuaku," jawab Mesya sambil menundukkan kepalanya.     

"Astaga! Kupikir ada apa! Yasudah ayo biar kuantarkan kau ke sana!" sergah Satria.     

Mesya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.     

"Terima kasih, Kak!"     

"Masya, Mesya, lain kalian kalau ingin bertemu dengan orang tuamu, tidak perlu menangis," ujar Satria seraya mengelus rambutnya.     

"Iya, Kak,"     

"Ah, yasudah ayo bersiap-siap, kita berangkat sekarang!"     

"Baikan, Kak. Tapi aku sudah siap,"     

"Hah! benarkah?"     

"Aku sudah ingin pergi sejak tadi, hanya saja aku ragu untuk meminta izin kepada, Kakak,"     

"Ah, kau ini kenapa harus ragu, seperti dengan orang lain saja!"     

Mereka pun langsung bergegas menuju kediaman Davies.     

Sampai di lantai bawah mereka berpapasan dengan Wijaya.     

"Kalian mau kemana?" tanya Wijaya.     

"Kami akan ke rumah, Keluarga Davies, tampaknya Mesya sangat merindukan orang tuanya," ujar Satria.     

"Tidak baik, orang hamil sering bepergian," ujar Wijaya.     

"Kita, 'kan hanya pergi di tempat yang dekta-dekat saja, Ayah," jawab Satria.     

"Baiklah, Ayah akan mengizinkan kalian tapi awas kalau sampai terjadi apa-apa dengan cucuku! Kalian akan tau akibatnya!" ancam Wijaya.     

"Baiklah, Ayah, aku mengerti," ujar Satria.     

Lalu mereka berlalu pergi meninggalkan Wijaya. Pria tua itu memandang kepergian putra dan menantunya dengan perasaan kesal.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.