Anak Angkat

Karma



Karma

0David masih memandang sikap Mesya yang terlihat berbeda.     

Sementara Arthur, berusaha mencari alasan untuk meninggalkan tempat ini.     

'Aku harus bilang apa kepada mereka? Kalau aku pergi sekarang, pasti Ibu dan Ayah, akan melarangku, dan akan memberikan pertanyaan secara beruntun,' bicara Arthur di dalam hati.     

Melihat kegelisahan Arthur, Arumi pun mendekati putranya itu.     

"Arthur, Ibu sangat senang, akhirnya kau pulang, Sayang," Arumi meraba wajah Arthur sambil tersenyum.     

"Lain kali kalau pergi itu harus izin kepada orang tua. Kalau pun kamu tidak bisa pulang itu tak masalah, kami juga akan memberimu kebebasan di luar sana, tapi setidaknya minta izin dulu pada kami," pungkas Arumi.     

Arthur sedikit heran dengan ucapan sang Ibu.     

Sangat mengejutkan Arumi masih berkata dengan lembut kepadanya, padahal dia sudah pergi selama berbulan-bulan hingga tak pulang, tapi Arumi sama sekali tak memarahinya?     

Seperti yang sudah-sudah setiap dia membuat kesalahan pasti keluarganya akan memberinya hukuman yang berat, tapi kali ini tidak! Arthur mulai curiga akan suatu hal.     

"Arthur, kami mencarimu, dan selalu memarahimu itu, karna kami sangat menyayangimu, sebagai seorang Ibu, tentu saja Ibu, tidak mau terjadi hal buruk kepadamu. Oleh karna itu, meski kau tinggal di luar sana, kau harus tetap mengabari Ibu, dan Ayah, Sayang, agar kami bisa tenang," pungkas Arumi.     

Arthur menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum paksa.     

"Baiklah, Ibu," jawabnya.     

"Oh ... iya, Sayang, terima kasih sudah datang. Kau datang di saat yang tepat, Ibu bangga memiliki dua anak lelaki yang begitu sigap membantu kami, " ucap Arumi seraya menepuk-nepuk pelan pundak Arthur.     

'Sebenarnya, aku datang tadi karna dikabari oleh, Kak David,' batin Arthur.     

"Bu, apa aku boleh pergi sekarang?" tanya Arthur.     

"Tentu saja boleh, Sayang," jawab Arumi.     

"Benarkah?"     

"Tentu saja!"     

"Tapi ...."     

"Tapi apa, Sayang,"     

"Ibu, tidak ingin bertanya sesuatu kepadaku?"     

"... kenapa kau bertanya seperti itu? Memangnya kalau Ibu, bertanya sesuatu kau akan menjawabnya dengan jujur?" sindir Arumi.     

Arthur pun terdiam sesaat dan dia menyesal telah bertanya tadi, untungnya Arumi tidak terlalu memaksa agar Arthur menjawabnya.     

"Bu, kalau begitu aku pulang sekarang?" ucap Arthur dengan tergesa-gesa.     

"Iya, Sayang, hati-hati di jalan ya!" sahut Arumi.     

Setelah memasuki mobilnya, Arthur, kembali memikirkan sikap sang Ibu yang sangat aneh tadi. Arthur mulai mencurigai jika sang Ibu memiliki rencana di balik semua ini.     

"Bahkan Ibu, juga tak mendesakku dengan berbagai pertanyaan, sebenarnya ada apa dengan Ibu? Apa jangan-jangan—?" Arthur segera menggelengkan kepalanya, "tidak mungkin kalau Ibu, tahu jika aku sudah menikah!" tegasnya, meyakinkan dirinya sendiri.     

Lalu Arthur menambah kecepatan laju mobilnya.     

Dia ingin agar segera sampai di rumah untuk menemui Celine.     

Sudah terlalu lama dia meninggalkan Celine sendrian, sedari pulang sekolah "Pelangi Senja" Arthur langsung datang ke rumah keluarganya.     

"Pasti, Celine, sudah meninggu kepulanganku.     

*****     

Cekit!     

Mobil berhenti, lalu Arthur keluar, dan Celine segera menyambutnya.     

"Arthur! Kenapa baru pulang?" tanya Celine.     

"Hay, Celine, maaf ya, aku tadi ada urusan sebentar," sahut Arthur.     

"Ah yasudah ayo masuk ke dalam, aku sudah membuatkan makan malam untukmu," ucap Celine.     

"Ah, baiklah," jawab Arthur.     

Dan kini Arthur mulai terbiasa memakan masakan Celine, sebelumnya hanya masakan Arumi yang bisa masuk ke tenggorokannya, seiring berjalananya waktu kini Arthur mulai terbiasa. Dan Arthur juga memakan masakab Arumi hanya sesekali saja, itu pun lewat bantuan David, yang sengaja mengantarkan ke rumah.     

Sebenarnya Arthur ingin berhenti mengonsumsi daging manusia, dan dia ingin mengonsumsi makanan manusia pada umumnya.     

Tapi David, yang melarangnya dengan alasan agar urusan keluarganya selesai dulu. Karna keluarganya masih membutuhkan kekuatannya untuk melawan Satria dan Wijaya.     

Apa bila Lizzy sudah kembali dan Wijaya sudah mati, Arthur boleh membebaskan diri dari keluarganya. Karna jika dia berhenti mengonsumsi daging manusia maka kekuatanya akan hilang. Ini yang dibicarakan antara David dan Arthur, tanpa sepengetahuan Arumi.     

***************************     

Di dalam ruang rahasia Wijaya dan Satria masih di sekap oleh keluar Davies.     

Perlahan Wijaya membuka mata dan dia pun segera membangunkan Satria.     

"Ssst! Hey! Bangun!" ucapnya.     

Tapi Satria masih memejamkan matanya.     

"Ah dasar, Anak Bodoh! Kenapa tidak bangun juga!" umpatnya.     

Wijaya dan Satria sama-sama dirantai di sebuah kursi.     

Wijaya berusaha meronta, dia menghentak-hentakkan kakinya. Tapi tentu saja gerakan itu tak berarti apa-apa.     

"Sial! Ini suatu penghinaan! Bisa-bisanya ada orang yang berani menyekapnya seperti ini, dan merantai seluruh tubuhku seperti seorang maling!" rutuknya dengan emosi yang meledak-ledak.     

Dan perlahan-lahan Satria mulai tersadar, dia membuka matanya.     

"Ah, syukurlah ... kau bangun juga, Anak Bodoh!" kata Wijaya.     

Satria masih tampak bingung, dan dia mulai mengingat-ingat tentang kejadian yang baru ia alami tadi.     

"Ayah, kenapa kita di—"     

"Jangan bilang kalau kau lupa segalanya!" bentak Wijaya.     

Satria terdiam senjenak, dan dia sudah mengingat semuanya.     

"Maaf, Ayah, aku baru mengingatnya sekarang," jawab Satria.     

"Baguslah kalau begitu! Dan cepat pikirkan cara untuk keluar dari tempat ini!" sergah Wijaya.     

Satria pun hanya terdiam dan memutar otak, sebenarnya bukan hanya ayahnya saja yang ingin keluar dari tempat ini, tapi juga dirinya, hanya saja Satria juga tidak tahu bagaiamana caranya. Rantai yang mengikat tubuhnya sangat kuat, dia tidak mungkin bisa melepasnya, terlebih tubuhnya juga masih terasa lemah.     

"Satria! Ayo cepat cari cara untuk keluar! Kalau tidak mereka akan membunuh kita!" sergah Satria.     

"Ayah! Aku juga tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar!" sahut Satria.     

"Kau itu memang anak yang tidak berguna! Kau tidak bisa apa-apa!" Wijaya memaki Satria sejadi-jadinya.     

Mendengarnya pun membuat Satria turut murka.     

"Sudah cukup! Jangan membuatku muak, Ayah! Aku sudah bosan disalahkan terus!" bentak Satria kepada ayahnya.     

"Hay, bahkan kau berani membentak ayahmu!?" pekik Wijaya.     

"Tentu saja, memang apa lagi yang harus aku takutkan! Bahkan kau itu tak pantas untuk dihargai, Ayah!" hina Satria.     

"Anak Sialan! Kau itu benar-benar keterlaluan!" Wijaya kian murka atas perlakuan putranya.     

"Sudah terima saja, Ayah! Tidak usah mengeluh! Kalau pun harus mati itu sudah menjadi takdir!" ujar Satria.     

"Hay, kau itu bicara apa sih? Seenaknya saja bicara soal takdir! Aku tidak mau mati sekarang, apa lagi di tangan Keponakan Sialan, itu!" sahut Wijaya yang tak terima.     

Satria pun hanya menggelengkan kepalanya menanggapi sikap sang Ayah.     

"Ayah, perlu kau ingat apa yang kita perbuat pasti ada akibatnya, apa Ayah tidak tahu arti kata 'karma?'" tanya Satria sambil menatap tajam.     

"Apa kau berencana untuk menceramahiku?!" bentak Wijaya.     

"Yah, aku ingin agar Ayah mengingat tentang perbuatan Ayah, kau pernah membunuh orang, itu bisa jadi Ayah pun juga akan mati karna di bunuh orang!" tegas Satria.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.