Anak Angkat

Pengganti Jiwa Lizzy



Pengganti Jiwa Lizzy

0"Cukup, Satria! Jangan berbicara omong kosong! Aku tidak percaya karma!" tegas Wijaya.     

"Terserah, Ayah, saja! Tapi kalau aku jadi Ayah, aku akan merenungi perbuatanku dulu! Lalu aku akan menerima segala konsekuensinya dengan lapang dada," ujar Satria.     

"Diam kau, Satria! Jangan membuatku semakin kesal!" bentak Wijaya.     

Akhirnya Satria pun memilih untuk diam, dia tidak mau berdebat dengan sang Ayah.     

Tak ada gunanya dan hanya akan membuang waktu saja. Kalau pun ingin pergi dari tempat ini butuh ketenangan untuk memikirkan jalan keluarnya.     

Tak lama terdengar suara derap langkah yang menuju ruang rahasia. Sudah pasti mereka adalah Arumi, dan Charles.     

Satria masih terdiam sementara Wijaya semakin membuat keributan dan berteriak sejadi-jadinya.     

"Lepaskan aku! Ayo kita berkelahi secara jantan, Charles! Jangan melilit tubuhku dengan rantai seperti ini!" teriak Wijaya. Kakinya terus memghentak-hentak, dan badanya terus menggeliat berusaha terlepas dari rantai itu.     

Ceklek!     

Arumi membuka pintu itu, dan senyuman merekah menghiasi bibirnya.     

"Wah, ada yang berteriak-teriak seperti ini, Sayang," bicaranya kapada Charles, kemudian Arumi melirik kearah Wijaya, "apa kau tidak malu, Paman Wijaya?" ledek Arumi.     

"Diam kau, Arumi! Jangan meledekku! Apa kau tak bisa melawan dengan tangan kosong?!" tantang Wijaya.     

Arumi dan Charles malah menertawakan Wijaya. Melihat sang Paman panik dalam kesulitan, seperti memiliki kepuasan tersendiri.     

"Lihatlah! Dia, mulai meronta!" Ujar Charles seraya menunjuk ke arah Wijaya. Sementara Satria mendengus kesal dan memalingkan wajahnya. Terlihat sekali jika dia sangat malas melihat perselisihan sang Ayah dengan Arumi.     

"Haha! Sudah tidak usah banyak protes, Paman! Akui saja kenyataan ini, jika kau itu memang seorang, Pecundang!" hina Arumi.     

Wijaya pun semakin murka,     

"Diam! Aku ini bukan, Pecundang!" sangkal Wijaya yang tak terima.     

"Begitu ya?" Arumi berbisik di telinga pamannya, "aku pastian kau akan mati secara mengenaskan, Paman," ucapnya.     

Arumi menjambak rambut Wijaya, hingga membuat kepalanya mendengak secara terpaksa.     

"Paman! Ini yang kumaksud menyiksamu sampai mati! Dan jangan harap aku akan mempercepat ajalmu, karna aku akan membunuhmu secara pelan-pelan," Arumi berkata dengan raut wajah yang datar, "kau tahu, 'kan jika tindakan seperti itu bisa disebut seni dalam membunuh orang?" Sorot mata Arumi menajam dan disertai dengan senyuman penuh arti.     

Wijaya sedikit gugup mendengar ucapan itu, dia masih tak menyangka jika keponakan yang dulu sangat polos dan lemah itu berubah menjadi wanita yang sangat kejam dan menyeramkan. Apa yang ia saksikan ini tak pernah ia bayangkan sejak dulu, dan kini dia menyesali atas tindakannya yang selama ini terus menyepelekan Arumi.     

Setelah itu Arumi menendang wajah Wijaya yang sedang lengah. Hingga kursi yang diduduki oleh pria itu nyaris ambruk, ujung sepatu berhak tinggi mendarat di bagian kening pria tua itu, dan meninggalkan noda memar biru keabu-abuan.     

"Akh!" teriaknya. Wijaya meringis kesakitan. Hampir saja ujung sepatu itu mendarat di bagian mata, kalau sampai itu terjadi mungkin matanya sudah buta.     

"Itu belum seberapa, Paman! Karna setelah ini akan ada hal yang jauh lebih menyakitkan lagi!" tukas Arumi. Wanita itu kembali tertawa dengan lantang.     

"Kau benar-benar kurang ajar, Arumi!" pekik Wijaya geram.     

Arumi malah kembali menertawakannya.     

"Haha! Bagaimana, Paman? Apa kau masih menganggapku sebagai gadis yang polos dan bodoh?" sindir Arumi.     

Wijaya tak bergeming, tapi guratan amarah semakin terpancar di wajahnya. Dia tak sabar ingin membunuh keponakannya itu, tapi apalah daya dengan tubuh yang terikat rantai.     

"Ah, ya sudah kalau begitu, aku akan mengatakan sesuatu kepadamu, Paman," Arumi kembali menjambak rambut Wijaya lagi, dan kepala pria tua itu juga kembali mendengak secara paksa.     

"Apa kau tidak ingin mendengar apa yang ingin kusampaikan?" tanya Arumi dengan nada mengintimidasi.     

"Lepaskan aku!" ronta Wijaya.     

"Aduh ... sudah lemah tapi masih sombong ya?" gumam Arumi seraya menggelengkan keplanya.     

"Paman, aku berencana akan melakukan ritual pemujaan untuk kesembuhan Lizzy, dan kau juga tahu, 'kan kalau dalam ritual itu akan dibutuhkan seorang tumbal?" sindir Arumi. Kemudian dia melanjutkan ucapannya,     

"Dan aku akan menjadikan putramu sebagai tumbalnya," jelas Arumi.     

Mendengarnya membuat Satria dan Wijaya tersentak.     

Tantu dan hal itu membuat Wijaya tidak terima.     

"Jangan asal bicara kau!" teriak Wijaya.     

Arumi sama sekali tak jera dengan teriakan itu, malahan dia masih tersenyum.     

"Aku tidak asal bicara, Paman! Kau tahu, aku sangat menyayangi putriku, maka sudah pasti aku akan mengambil jiwanya kembali, dan akan menggantikannya dengan jiwa putramu itu," Arumi kembali mendekatkan bibirnya di telinga Wijaya, "menarik, bukan?" ledeknya.     

"Bangsat!" pekik Wijaya. Dia marah sejadi-jadinya, karna tak terima putra kesayangannya akan dijadikan tumbal. Tapi tidak bagi Satria, pria itu diam tanpa ekspresi.     

Satria sudah siap jika pada akhirnya dia akan dijadian tumbal untuk membawa kembali jiwa Lizzy.     

Tak peduli jika pada akhirnya dia hanya akan menjadi patung hidup yang tak berguna.     

Satria merasa bahwa dia pantas mendapatkan semua ini, untuk menebus semua perbuatan ayahnya. Sekaligus untuk menebus rasa bersalahnya terhadap Lizzy. Selama ini Satria menahan kesedihan melihat Lizzy yang tak bisa berekspresi, dan itu karna ulah sang Ayah.     

Mungkin dengan mengorbankan jiwanya dia bisa menebus segala kesalahanya terhadap Lizzy.     

"Sayang, kau lihat, Mantan Menantu, kita ini?" ucap Charles, "dia terlihat pasrah sekali ya?" ujarnya lagi.     

Arumi segera mendekati Satria.     

"Hay, Anak Muda, kau terlihat sangat santai dan tidak ada raut ketakutan sama sekali?" tanya Arumi, "apa kau sudah siap untuk menggantikan jiwa, Lizzy?"     

Satria tak menjawab pertanyaan dari Arumi. Dan dia masih setia dengan raut wajah yang datar.     

"Satria, kenapa mendadak bisu? Bukankah kau itu bisa berbicara ya?" tanya Arumi. Suaranya sangat pelan tapi sangat mengintimidasi.     

Akhirnya Satria bersuara, "Lakukan saja apa yang kalian mau! Aku siap menjadi tumbal!" tukas Satria.     

"Ah, akhirnya kau bicara juga, dan aku sangat menyukai kalimat yang kau ucapkan itu," tukas Arumi seraya tersenyum.     

"Satria! Kau itu bicara apa?! Jangan bodoh!" teriak Wijaya.     

"Diam, kau!" Charles menendang kursi Wijaya hingga terjatuh.     

"Dasar, Tua Bangka! Tidak bisakah kau tenang sedikit saja?!" hardik Charles.     

Satria melirik kearah sang Ayah yang sedang kesakitan, dia tak tega. Tapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.     

"Kalian boleh melakukan apapun kepadaku, tapi tolong jangan sakiti Ayahku!" pinta Satria.     

"Wah, sangat menakjubkan, pasti ibunya wanita yang baik, sehingga melahirkan anak yang berbakti seper, Satria," puji Arumi.     

"Tentu saja, Sayang, karna kalau darah, Wijaya, yang mendominasi, maka Pemuda ini pun tidak akan menjadi anak yang berbakti. Pasti dia akan membiarkan Ayah yang tak tahu diri ini mati," ucap Charles.     

"Tentu saja, Charles, sama seperti dia yang membunuh keluarga saudara kandungnya sendiri!" pungkas Arumi.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.