Anak Angkat

Kecewa



Kecewa

0"Baik, Arthur, aku akan menunggumu, tapi ingat kau harus benar-benar menepati janjimu," ucap Celine pada Arthur.     

"Iya, Sayang, aku berjanji!" jawab Arthur.     

Celine dan Arthur, memang sudah berbaikan, hanya saja suasana masih terlihat sangat canggung.     

Celine masih sedikit menjaga jarak dengan Arthur. Mungkin karna dia masih belum begitu menerima akan kenyataan, bahwa suaminya adalah seorang kanibal, dan pengangut aliran sesat.     

Dia sudah memaafkan Arthur tapi dia masih butuh waktu untuk membuat keadaan kembali seperti semula lagi.     

Arthur dapat memahaminya, tak mengapa jika selama beberapa hari ini Celine akan lebih sering mengabaikannya, atau bahkan mungkin dia akan sedikit menjauh. Yang terpenting bagi Arthur Celine sudah memaafkannya dan masih tetap setia mendampinginya.     

*****     

Sementara itu di dalam ruang bawah tanah Wijaya dan Satria masih pasrah dalam keadaan tubuh terikat.     

Wijaya berusaha meronta walau harus menahan rasa sakit, tapi Satria tampak lebih santai. Seperti tanpa beban pria itu memejamkan mata seakan tengah menikmati tidur malamnya.     

"Satria! Kenapa sejak kemarin kau itu masih diam tampak santai!?" tanya Wijaya.     

Tapi Satria tidak menanggapinya. Seolah tak peduli, dan ucapan sang Ayah di anggap angin lalu.     

"Satria! Kenapa kamu diam saja! Apa kamu sudah tuli! Apa kamu sudah tidak peduli dengan ayahmu ini?!" teriak Wijaya.     

"Sudah berapa kali aku jelasakan, Ayah! Jangan banyak mengeluh, hadapi saja semuanya," bicara Satria tanpa beban.     

"Kau ini sudah gila?!" pekik Wijaya, "kau pikir ini sedang main-main?"     

"Ini memang bukan permain, Ayah! Tapi apa yang kita dapat adalah karma atas perbuatan kita dulu, terutama perbuatan, Ayah!" ujar Satria.     

"Diam! Berapa kali aku harus bilang, bahwa aku tidak percaya akan, karma?!" tegas Wijaya. Pria itu meninggikan suaranya dari biasanya. Karna dia sudah muak mendengar Satria yang terus menceramahinya.     

Wijaya menggeliatkan tubuhnya. Kembali meronta dan berharap bisa melepaskan rantai yang mengikat sekujur tubuhnya itu.     

Tapi ini tidaklah mudah, justru dia merasa kesakitan.     

Baru satu jam yang lalu Arumi beserta Charles datang dan melukai kaki pria itu.     

Seperti janjinya Arumi akan menyiksa Wijaya, hingga Wijaya mati secara perlahan.     

Dan dia sengaja melukai kaki Wijaya dengan sebilah pisau, wanita itu melingkari bagian engkel kaki Wijaya dengan sayatan yang cukup dalam.     

Darah segar juga masih menetes di selah-selah luka.     

Arumi tertawa saat melihat Wijaya meringis kesakitan.     

Arumi ingin menyiksa Wijaya terlebih dahulu, agar pria itu merasa putus asa.     

Melihat Wijaya mati dengan cepat, bagi Arumi itu tidak menarik.     

Dia ingin melihat dan mendengar sedikit demi sedikit rintihan dari mulut, Wijaya. Ini sebuah kebahagiaan dan memiliki seni tersendiri bagi Arumi.     

Dan dengan begitu, dia merasa dendamnya atas kematian keluarganya terbalas sudah.     

"Akh! Sial!" umpat Wijaya, "ini terasa perih, Arumi, sengaja melukai kakiku!" keluhnya.     

Wijaya kembali melirik kearah putranya.     

"Satria, apa kamu tidak lihat ayahmu sedang kesakitan begini? Apa kau tak merasa iba sedikitpun?" tanya Wijaya pada Satria.     

Dia sedang menunggu respon dari putranya, agar Satria semakin berusaha untuk mencari cara keluar dari tempat ini.     

Akhirnya Satria pun angkat bicara, "Iya, Ayah ... aku merasa kasihan kepada, Ayah. Dan aku juga merasa iba kepada, Ayah," jawab Satria.     

"Kalau begitu, kenapa kau membiarkan Ayah, seperti ini?" tanya Wijaya.     

"Lalu aku harus berbuat apa?" tanya Satria.     

"Kau harus berusaha Satria! Ayo cari cara, mungkin kau bisa menjatuhkan tubuhmu, lalu merangkak dan meraih salah satu benda tajam untuk melepaskan rantai ini!" ujar Wijaya.     

"Tapi tidak semudah itu, Ayah! Rantai ini sangat kuat kalau pun aku bisa menjatuhkan tubuhku, tapi bagaimana aku meraih benda-benda itu? Tetap saja tanganku masih terikat!" ucap Satria.     

"Kau itu harus berusaha Satria! Kau lihat Ayah terluka parah! Kalau saja aku tidak terluka parah mungkin aku tidak akan meminta tolong kepadamu! Aku akan melakukannya sendiri! Aku akan berusaha bagaimana pun caranya agar bisa terlepas dari tempat terkutuk ini!" ujar Wijaya.     

Satria pun kembali menuduk diam, dan untuk pertama kalinya dia menangis, di hadapan sang Ayah.     

Wijaya melihatnya, dan dia merasa kasal dengan sikap Satria, karna sebagai lelaki keturunan Wijaya Diningrat, Dia tidak boleh menangis.     

"Satria, apa kau menangis?" tanya Wijaya.     

Satria tak bergeming, dan tak sepatah kata pun yang terlontar dari dalam mulutnya.     

"Kenapa kau malah diam?" tanya Wijaya.     

Karna putranya tak mau menjawab pertanyaannya, Wijaya memaki Satria sejadi-jadinya.     

"Apa yang membuatmu menangis? Apa kamu sudah tidak punya harga diri sebagai laki-laki?!" bentak Wijaya.     

"Diam!" Satria berbalik membentak sang Ayah.     

"Kau itu, Ayah, yang tidak punya hati! Kau hanya mementingkan dirimu saja, tanpa memperdulikan perasaan anak dan istrimu!" pekik Satria.     

"Hey, Satria! Apa maksudnya berbicara begitu?" tanya Wijaya.     

"Ayah, susldah membohongiku soal ibuku! Dan menjadikan ibuku sebagai, Pembantu!" ucapnya.     

Wijaya terdiam dengan kedua mata melotot tajam. Bukannya meminta maaf kepada Satria atas perbuatannya, tapi Wijaya malah menyalakan Satria.     

"Kau itu anak yang bodoh, Satria! Kita ini sedang dalam bahaya, tapi kau malah memikirkan sesuatu yang tidak penting! Kau dan ibumu sama bodohnya!" cerca Wijaya.     

"Ayah, benar-benar kejam!" Satria merasa sangat kecewa kepada ayahnya.     

"Masalah yang tidak penting kata, Ayah?!" Satria mengernyitkan dahinya, "jadi benar ya, kalau, Bu Nadia, itu ibu kandungku?" tanya Satria memastikan.     

Wijaya tak menjawabnya, tapi Satria sudah mengetahui jika apa yang ia tuduhkan terhadap Wijaya itu benar! Dan Bu Nadia, memang ibu kandungnya. Karna terlihat dari ekspresi Wijaya yang seakan tak bisa mengelak.     

"Benar kata, Mesya! Memang aku tidak pantas membela orang jahat sepertimu, Ayah! Aku tidak peduli apa alasanmu menjadikan ibuku sebagai Pembantu, tapi aku tetap tidak rela! Dan harusnya aku meninggalkanmu seperti yang diucakan Mesya, ketimbang harus menemani orang kejam seperti, Ayah!" pungkas Satria dengan ekspresi yang geram.     

"Bocah Sialan, itu sudah merusak pikiranmu, Satria!" ujar Wijaya.     

"Pikiranku tidak rusak! Tapi memang Ayah, yang benar-benar keterlaluan! Aku menyesal selama ini telah manjadi anak yang bodoh, karna mau tinggal dengan seorang pria yang kejam, tak manusiawi, sepertimu!" cerca Satria.     

"Satria! Aku menjadikan Nadia, sebagai Pembantu, karna dia yang terus berusaha meninggalkanku!" ucap Wijaya.     

"Ibu, pergi karna tak tahan dengan sikap, Ayah! Ibu wanita yang baik, jadi mana mungkin dia mau hidup bersama orang jahat sepertimu!" cerca Satria.     

"Hentikan, Satria! Mau sampai kapan kau akan menghina ayah kandungku ini?!" tanya Wijaya.     

"Sampai, Ayah Mati!" jawab Satria.     

"Bahkan kau sampai mendoakan, ayahmu agar segera mati?!"     

Satria menggelengkan kepalanya.     

"Kau harus menerimanya, Ayah! Dan kita pasti akan mati!" ucap Satria.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.