Anak Angkat

Bukan Waktu Yang Tepat



Bukan Waktu Yang Tepat

"Satria! Kenapa ucapanmu hanya mati dan mati saja! Di mana semangat hidupmu?!" tanya Wijaya dengan ekspresi yang sangat marah. Dia muak dengan putranya yang tak pernah sedikit pun ingin  keluar dari ruangan ini. Bagi Wijaya ruangan ini adalah neraka.     

Tapi dengan santainya Satria seakan tak memiliki beban, dan menikmati keadaanya di tempat itu. Seperti sudah siap untuk mati kapanpun mereka akan membunuhnya.     

"Memang apa yang kita harapkan dari tempat  ini selain mati? Memangnya ada jalan keluar dari tempat ini?" Satria bertanya pada ayahnya dengan nada yang meledek. Dan itu memantik amarah Wijaya kian menjadi.     

"Kau sudah gila!" pekik Wijaya. Andai saja tangan dan kakinya sedang tidak terikat, mungkin Wijaya akan memberikan pukulan yang kencang untuk Satria, karna saking geramnya dengan sikap sang anak.     

Satria terdiam dengan sedikit menyipitkan mata dan menatap sinis pada ayahnya.     

Satria membuang rasa kasihan pada ayahnya. Karna tak ada sedikitpun rasa bersalah pada Wijaya. Pria itu masih setia dengan kesombongannya. Padahal apa yang ia dapatkan sekarang adalah buah dari perbuatannya sendiri.     

Karna hal itu Satria menjadi kecewa, dan di balik sikap pasrahnya saat ini, tersimpan sebuah keinginannya untuk meninggalkan tempat ini, dan bertemu dengan Nadia.     

Jika pada akhirnya dia pun harus mati tak mengapa, yang terpenting bagi Satria, dia dapat bertemu ibunya dan memeluk sang ibu sambil menangis di bahunya.     

Dia ingin mengungkap rasa cintanya dan meluapkan seluruh rasa rindunya pada sang ibu.     

Tapi itu hanya seandainya saja, pada kenyataannya sangatlah mustahil. Mesya adalah satu-satunya orang yang memilki niat untuk melepaskan dirinya dari tempat ini, tapi Mesya saat ini malah sedang disekap oleh Arumi.     

Kesempatan untuk terlepas dari tempat ini benar-benar sudah tidak ada.     

Satria berandai, jika dia bisa terbebas dari tempat ini, dia ingin meninggalkan kota ini, dan bila perlu akan pergi ke luar negeri, agar tak ada yang mengganggunya dan sang ini, untuk memulai hidup baru. Dia ingin melihat Nadia  bahagia, dan berbaikti kepada beliau sebagaimana mustinya.     

Jika Wijaya akan mati di sini, dia sudah tak peduli.     

Dia orang yang kejam, jika ada orang yang membunuhnya secara kejam pun itu tak masalah. Satria percaya akan karma.     

Lagi pula kalau Wijaya dibiarkan hidup, yang ada akan ada saja korban yang akan ia jadikan tumbal, atau mungkin akan ia jadikan santapan.     

"Lihatlah anak itu malah melamun saja! Aku sudah membesarkan anak yang salah!" cerca Wijaya. Dia menatap Satria dengan raut kecewa.     

"Satria! Kalau kau tak bisa memikirkan  jalan keluar setidaknya kau harus memikirkan nasib Ayah! Jangan egois kamu!" ujar Wijaya.     

"Aku egois? Ayah, yang egois!"bentak Satria.     

"Kau itu anak yang durhaka, Satria! Aku sudah membesarkan dengan kasih sayang, tapi kau mebalasku dengan sikap acuh tak acuh!" ujar Wijaya.     

Satria menanggapi ucapan sang Ayah dengan nada tinggi, "Ayah tidak membesarkanku dengan kasih sayang, Ayah! Tapi kau mendidikku dengan kekerasan!" protesnya.     

"Itu kekerasan tanda kasih sayang, Satria! Ayah melakukan itu agar kau tumbuh menjadi anak yang kuat dan pemberani!" elak Wijaya.     

Satria segera memotong ucapan sang Ayah.     

"Dengan menjadi seorang Pembunuh maksud, Ayah?!"  tanya Satria dengan memicingkan sudut bibirnya.     

Dan dengan santainya Wijaya menjawabnya, "Itu adalah hal yang bisa dalam keluarga kita!" ucapnya.     

Satria menggeleng kepalanya dengan ekspresi yang malas. Wijaya masih tak mau menyadari perbuatannya, mungkin benar jika Iblis sudah mengendalikan sebagian tubuhnya sehingga mata hati pria itu sudah tertutup rapat.     

Satria tak menyalahkan jika saat ini Arumi ingin memabalaskan dendamnya pada Wijaya, karna apa yang dilakukan oleh Wijaya benar-benar sudah keterlaluan.     

Mungkin kalau Wijaya tidak membunuh keluarga Arumi, maka Arumi tidak akan menjadi wanita yang jahat seperti sekarang.     

Dan dia tidak akan menjadi korban seperti ini.     

***     

Sementara itu di dalam gudang yang sepi, Mesya dan David masih berada di dalamnya.     

Hukuman mereka belum usai, sampai bulan purnama tiba, dan upacara pemujaan pengembalian jiwa Lizzy akan di lakukan.     

"Kak David, aku tidak tahan lagi berada di sini," keluh Mesya dengan raut wajah yang ketakutan.     

"Sabar, Mesya, kita pasti bisa melewati ini semua ...," tukas David.     

"Tapi bagaimana dengan, Kak Satria? Kita harus menolongnya, Kak!"     

"Sudahlah, Mesya! Jangan  pikirkan dia lagi, dia tidak butuh bantuan kita!" ucap David.     

"Tapi aku kasihan, Kak! Aku bukan  hanya memikirkan, Kak Satria, saja ... tapi aku juga senang, Bu Nadia," ucap Mesya.     

"Meaya, tapi—"     

"Kak, Bu Nadia, itu sudah cukup banyak menolongku, dia juga yang sudah membantumu untuk mengambil Kitab Kuno, dan menyelamatkan Lizzy, aku berhutang banyak kepadanya!" ujar Mesya.     

"Tapi kau tahu keadaannya, Mesya?" ucap David.     

Seakan tak menghiraukan pertanyaan David, Mesya melanjutkan perkataannya,     

"Bu Nadia, itu hanya ingin menemui putranya, yaitu, Kak Satria. Dia ingin hidup aman dari Wijaya, serta tinggal bersama Satria! Putra tercinta beliau!" jelas Mesya.     

Suasana kembali  hening sesaat, David tak bisa menjawab ucapan Mesya.     

Dan Mesya masih melanjutkan ucapan selanjutnya.     

"Kak, aku ingin, Bu Nadia, bahagia, dia sudah cukup menderita saat ini. Bertahun-tahun dia menjadi budak untuk anak dan suaminya. Dan hal itu baru diketahui oleh Kak Satria, saat ini. Aku yakin jika dia bebas, maka dia akan melakukan yang terbaik untuk Ibunya. Terlebih dia itu selalu berandai apabila ibunya masih hidup, dia ingin menjaganya dan membahagiakannya. Setidaknya itu yang pernah Kak Satria, ucapkan kepadaku!" pungkas Mesya.     

David memeluk Mesya, seraya mengusap-usap punggung tangannya.     

"Masya, aku tahu sebenar, Satria, orang yang baik, tapi kita tidak bisa menolongnya sekarang, kau tahu, 'kan ini sangat sulit? Ibu dan Ayah tidak mungkin melepaskan kita!" pungkas David.     

Dalam pelukan sang kakak Mesya menangis, dia kecewa dengan dirinya sendiri, karna tak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Satria.     

Dia juga tak bisa membayangakan saat Satria mati nanti, dia juga tak tega melihat raut kesedihan Nadia, saat mendengar putra tercintanya telah tewas.     

Mesya belum bisa membalas ketulusan Satria dan Nadia. Padahal dia bisa membalasnya dengan mempertemukan mereka berdua. Namun hal itu nampaknya tidaklah mungkin ia lakukan.     

Saat ini harusnya menjadi hari bahagia antara Mesya dan David, karna mereka dipertemukan dalam sebuah gudang yang sama.     

Ini adalah kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu berdua, tanpa harus bersembunyi-bersembunyi lagi. Tapi nampaknya ... saat ini bukanlah waktu yang tepat. Karna Mesya sedang dirundung duka karna memikirkan keselamatan Satria.     

Rasanya kurang etis, bila David mengajak Mesya bermesraan, sementara Satria sedang dalam kesulitan.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.