Anak Angkat

Sikap Ramah Arumi



Sikap Ramah Arumi

0Setelah upacara, Pengembalian Jiwa Lizzy, Arthur tidak langsung pulang ke rumahnya sendiri, dia menginap di rumah keluarga Davies.     

Arumi yang menyuruhnya tentu saja, pada saat itu Arthur langsung menghubungi Celine, bahwa dia tidak bisa pulang, agar Celine tidak mengkhawatirkannya.     

Dan yang menjadi pertanyaan dalam hati Arthur saat ini, adalah sikap Arumi yang berbeda.     

Dia tak pernah sekalipun bertanya-tanya tentang dirinya yang hampir tak pernah pulang ke rumah ini.     

Dan setiap Arthur datang Arumi malah menyambutnya dengan hangat.     

Ini tidak seperti ibunya yang sangat ia kenal. Biasanya Arumi akan menghunjamnya dengan berbagai pertanyaan yang sudah pasti akan membuatnya kelabakan untuk mencari alasan yang tepat.     

Arthur takut jika di balik sikap Arumi yang tak pernah mencecarnya dengan berbagai pertanyaan, itu terdapat hal yang tak terduga.     

Arthur takut jika Arumi sudah mengetahui tentang dirinya yang sudah menikah. Dan dia berbuat baik, karna dia ingin merebut anak Arthur ketika lahir nanti, tanpa sepengetahuan Arthur. Karna kalau Arthur sampai tahu jika Arumi menyadari pernikahanya dengan Celine, sudah pasti Arthur segera meninggalkan kota ini, dan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi.     

Hanya saja Arthur masih ragu akan dugaannya itu. Jelas-jelas David dan Mesya, selalau membantunya, untuk menyimpan semua ini. Tapi tak bisa dipungkiri jika kedua orang tuanya memang sangat cerdik, dan mampu mengetahui rahasia apa saja yang telah di sembunyikan.     

Berbekal rasa curiga itu Arthur mulai waspada, dan bahkan dia berencana untuk mencari rumah baru.     

Dia takut jika orang tuanya sudah tahu tempat tinggalnya bersama Celine yang sekarang.     

"Kalau aku mengajak Celine  untuk pindah rumah sekarang, pasti dia tidak setuju. Dan kami pasti akan bertengkar lagi,"     

Arthur mengusap wajahnya dengan kasar, dia bingung untuk mencari jalan keluar tentang masalah ini.     

"Aku harus bagaimana ini?"     

Ceklek!     

Tiba-tiba Arumi masuk ke kamar Arthur.     

"Sayang, kamu tidak ikut sarapan di bawah? Yang lain sudah menungu lo?" tanya Arumi begitu hangat, bahkan sikapnya begitu ramah dari biasanya. Arthur malah merasa tidak nyaman.     

"Aku sedang tidak ingin makan, Bu," jawab Arthur.     

"... benarkah?" Arumi mengernyitkan dahinya, "tapi tidak biasanya kau menolak untuk makan?"     

Arumi mengangkat dagu Arthur.     

"Ada apa denganmu, Sayang? Akhir-akhir ini, kau itu selalu terlihat berbeda. Apa yang sedang kau pikirkan, Nak?" tanya Arumi.     

"Ti-tidak, Bu! Baiklah, aku akan makan sekarang!" tukas Arthur, seraya berdiri dari tempat tidur. Dia tidak mau membuat Arumi curiga.     

"Baiklah, mari," Arumi menggandeng lengan Arthur.     

Ibunya benar-benar menjadi wanita yang baik seperti malaikat, tak ada sedikitpun raut marah atau kesal yang terpancar, hanya senyuman yang terus menyertainya.     

Arthur tahu ibunya sedang bahagia, entah bagian karna memikirkan apa?     

Dan kebahagiaan itu sepertinya bukan bersumber dari Lizzy, tapi dari dirinya. Ini membuat Arthur semakin curiga jika Arumi bersikap manis kepadanya karna memilki niat buruk terhadapnya.     

Sesampainya di meja makan, Arumi memperlakukan Arthur dengan cara yang sepesial, telihat sekali jika dia sangat memanjakan Arthur dibandingkan anak yang lainnya.     

"Kau mau makan apa, Sayang? Sini biar Ibu ambilkan?" Arumi bertanya seraya menyiapkan piring untuk Arthur.     

"Eh, tidak usah, Bu! Aku bisa mengambilnya sendiri, sebaiknya Ibu, membantu Lizzy saja," ujar Arthur.     

"Tapi hari ini Ibu, ingin memanjakanmu, Sayang, karna kau adalah putra Ibu yang paling berharga, kau adalah harapan kami," ucap Arumi seraya tersenyum.     

"Maksudnya apa, Bu?" tanya Arthur.     

"Ah, maksudnya ...." Arumi terdiam sesaat, "ah maksudnya! Kau itu anak lelaki yang paling bisa diandalkan," lanjut Arumi.     

"Tapi, bukanya di rumah ini juga ada, Kak David?" tanya Arthur.     

"Ah, dia ...." Arumi melirik David dengan tatapan yang mencerca.     

"Lupakan dia! Dia itu sudah mengecewakan kami, buktinya hingga saat ini, dia belum punya kekasih! Kau tahu kami butuh—"     

"Bu, dendam keluarga kita sudah terbalas! Wijaya sudah mati? Lalu kenapa, Ibu masih saja mengharapkan anak dari, Kak David?!" ujar Arthur dengan nada bicara agak tinggi.     

"Ah maksudnya—" Arumi hendak menyangkal, tapi Arthur kembali memotong ucapan sang Ibu.     

"Jangan lupa jika, Ibu, juga sudah berjanji pada Kak David, dan Mesya, bahwa akan merestui hubungan mereka!" pesan Arthur.     

"Nak! Ayah ingatkan kepadamu, jangan berbicara dengan nada tinggi kepada ibumu," tukas Charles.     

"Maaf," Arthur menganggukkan kepalanya.     

"Aku hanya mengingatkan, Ibu, Ayah," ucap Arthur.     

"Ah, sudahlah, jangan dibahas lagi, lebih baik kita makan saja," ucap Arumi menenangkan keadaan.     

Kemudian mereka kembali fokus ke piring masing-masing.     

Meja makan kembali hening dan hanya terdengar suara garpu dan piring yang saling beradu     

***     

Usai sarapan Arthur berpamitan untuk pegi. Dan Arthur tidak menjelaskan secara detail, akan kepergiannya. Dan lagi-lagi kedua orang tuanya juga tak bertanya sama sekali, mereka malah mengizinkan Arthur tanpa sedikitpun mempermasalahkannya.     

Arumi juga sempat mengecup kening putranya, sebagai ungkapan rasa sayangnya.     

Arumi memberikan Arthur banyak uang, dan itu semakin membuat Arthur merasa bingung. Tak biasanya Arumi seperti ini.     

"Bu, kenapa Ibu membagikan uang banyak sekali?" tanya Arthur.     

"Ibu pikir anak Ibu, yang tampak ini jarang menggunakan ATM-nya, makanya Ibu memberikan banyak uang tunai. Supaya putra Ibu yang tercinta ini tidak kekurangan di luaran sana," jawab Arumi.     

"Tapi—"     

"Terima, Sayang, aku tahu kau pergi karna ingin hidup lebih mandiri, meski begitu tolong jangan tolak bantuan dari kami," pinta Arumi.     

Arthur akhir menerimanya, lagi pula memang saat ini dia sedang membutuhkan banyak uang untuk biaya persalinan Celine nanti.     

Arthur meraih amplop coklat berisi segepok uang dari tangan ibunya.     

"Terima kasih, Ibu," ucap Arthur.     

Arumi mengangguk sambil tesenyum.     

***     

Dalam perjalanan menuju pulang, Arthur memikirkan orang tuanya yang sangat baik kepadanya. Kebaikan mereka tidak seperti biasanya.     

"Apa yang mereka sembunyikan dariku? Apa aku jujur saja ya?"     

"Tapi bagaimana kalau mereka mengambil anakku nanti?"     

"Ah, aku yakin mereka tidak akan mengambil anakku, karna mereka sudah membalaskan dendam mereka!"     

"Lalu apa yang mereka inginkan? Mereka sudah tidak memiliki musuh dan saingan! Aku yakin jika anakku lahir nanti mereka akan menganggap anakku sebagai cucu, dan merawatnya dengan baik. Aku tidak akan menjadikannya tumbal ritual sesat mereka. Jadi aku tidak perlu khawatir lagi. Dan mungkin sudah saatnya aku mengenalkan Celine kepada mereka," Arthur bermonolog.     

Sesungguhnya dia sudah lelah menyembunyikan pernikahannya dengan Celine.     

***     

Ckit!     

Mobil berhenti tepat di depan rumah, Celine segera menyambutnya. Wanita itu sudah merindukan suaminya, meski hanya di tinggal menginap di rumah keluarga Davies selama satu malam saja.     

"Arthur, akhirnya pulang juga. Aku hampir gila menunggumu," ucap Celine. "Ah, kau ini berlebihan, Celine," cerca Arthur sambil menahan tawa.     

"Aku tidak berlebihan, Arthur, aku memang merindukanmu, memangnya aku salah merindukan suamiku?" pungkas Celine.     

"Ah baiklah, Nyonya Arthur, sekarang ayo kita masuk ke dalam," ajak Arthur seraya mengenggam tangan istrinya.     

"Baik, Tuan Arthur," sahut Celine seraya tersenyum.     

Arthur dan Celine duduk di sofa sambil bercengkrama.     

"Sayang kalau punya anak nanti kau akan memberinya nama siapa?" tanya Arthur seraya mengelus perut sang istri.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.