Anak Angkat

Lahirnya Putra Arthur



Lahirnya Putra Arthur

0Hari itu juga, David, dan Mesya bergegas meninggalkan rumah.     

Seperti janjinya Arumi pun membiarkan mereka pergi.     

Dengan kedua mata yang sayuh melambangkan kesedihan dan ketidak-iklasan, Arumi mengantarkan putra dan putrinya sampai di depan pintu.     

Mesya membawa koper besar berisi barang-barangnya, begitu pula David, pria itu juga membawa barang-barang berharganya.     

Bukan hanya Arumi dan Charles yang merasa keberatan karna harus di tinggal pergi oleh David dan Mesya, Lizzy pun juga merasa keberatan.     

Gadis itu menangis dan berusaha untuk menghentikan langkah mereka.     

"Kak David! Mesya!" teriaknya, "tolong jangan pergi ...," Gadis itu memohon kepada mereka.     

Mesya dan David terpaksa menghentikan langkah kakinya, secara kompak mereka menghampiri Lizzy.     

"Kenapa kalian pergi?" tanya Lizzy dengan wajah memelas.     

Lalu Arumi menghampirinya.     

"Sayang, biarkan mereka pergi," tukas Arumi menenangkan Lizzy.     

"Tapi, aku tidak mau kesepian, Bu! Aku ingin bermain dengan Kak David, dan Mesya!" Lizzy terus merengek dan menangis.     

Memohon kepada ibunya untuk menghentikan Mesya dan David, agar tidak jadi pergi.     

Mesya memegang pundak Lizzy.     

"Maafkan kami, Lizzy. Tapi kami harus pergi. Sekarang kamu sudah berkumpul dengan Ayah, dan Ibu, kamu tidak sendirian seperti dulu," ucap Mesya.     

"Tapi kenapa kamu membawa, Kak David, pergi?" tanya Lizzy.     

"... maaf," Mesya menundukkan kepalanya, karna dia merasa bersalah kepada Lizzy. Dia hendak membawa David pergi, dan dengan begitu Mesya telah membuat Lizzy bersedih, karna harus kehilangan kakak tercintanya.     

"Apa, Kak David, sudah tidak menyayangiku lagi?" Lizzy melirik kearah David.     

Pria itu langsung memeluk adiknya.     

"Samapai kapanpun aku tetap menyayangu, Lizzy. Tapi aku harus pergi, karna memang keadaan," ucap David.     

"Keadaan? Keadaan apa? Aku tidak tahu tentang keadaan yang kau maksud?" Gadis itu benar-benar tidak tahu apa-apa tentang alasan David dan Mesya meninggalkan rumah ini.     

Bahkan Lizzy juga belum tahu jika Mesya dan David itu memiliki hubungan yang sepesial. Bukan hanya hubungan persaudaraan, melainkan hubungan percintaan.     

"Kumohon jangan tinggalkan aku!" pinta Lizzy.     

"Lizzy, aku berjanji suatu saat aku akan menemuimu," ucap David seraya mengelus atas kepala Lizzy, dan dia berlalu pergi meninggalkan Lizzy.     

Langkah Mesya dan David beriringan, mereka kian menjauh.     

Gadis itu tak bisa menghentikan mereka lagi. Dia hanya pasrah dengan derai air mata memeluk ibunya.     

"Sayang tidak apa-apa, jangan menangis. Suatu hari nanti Ibu, berjanji akan membawa mereka kembali pulang," tukas Arumi.     

"Ibu, tidak bohong, 'kan?" tanya Lizzy     

"Tentu saja, Sayang, Ibu selalu menepati janji, jadi kau tidak perlu khawatir," ucap Arumi.     

Tapi Lizzy masih terus menangis, memang butuh waktu untuk membuat gadis itu kembali tenang, Charles juga turut membantu sang istri menenangkan Lizzy.     

***     

Mesya dan David, memutuskan untuk pergi ke luar kota, dan hidup tanpa bayang-bayang keluarga Davies.     

Mereka benar-benar bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan.     

Kini mereka dapat bersatu dan hidup bahagia.     

Mesya dan David, memutuskan untuk menikah, tanpa memberitahu kedua orang tuanya.     

Mereka hanya mengabari Arthur saja. Dan itu pun Arthur juga tidak bisa hadir karna jarak yang terlampau jauh.     

Arthur berada di Jakarta, sedangkan Mesya dan David berada di Surabaya.     

Maski dia tak bisa menghadiri pernikahan Mesya dan David, Arthur juga turut bahagia. Sesuatu yang telah dinantikan oleh kedua saudaranya itu pun akhirnya terwujud.     

***     

Beberpa bulan kemudian.     

***     

Celine tengah berada di dalam kamar sambil kesakitan memegangi perutnya.     

"Arthur! Tolong aku, Arthur! Sakit ...." ucapnya.     

"Celine, kau kenapa?" tanya Arthur.     

"Perutku! Perutku!" Celine menunjukkan kearah perutnya yang besar.     

Arthur segera mendekat, "Celine, apa jangan-jangan kamu akan melahirkan?" tebak Arthur.     

Celine menganggukkan kepalanya.     

"Sepertinya begitu, Arthur!" jawab Celine dengan suara agak berteriak.     

"Ya sudah, sekarang kita ke rumah sakit!" ajak Arthur.     

Dia memapah tubuh sang istri dan segera membawanya masuk ke dalam mobil.     

Arthur seperti orang yang sedang kalap, dia menyetir mobil dengan kecepatan tinggi, sementara Celine masih peringisan memegangi perutnya.     

"Aduh, sakitnya, Arthur ...." Rintih wanita itu.     

"Sabar, Celine. Sebentar lagi juga sampai kok," ucapnya menenangkan sang istri.     

***     

Ckit!     

Mobil pun berhenti, mereka telah sampai di rumah sakit, dan Arthur menggendong tubuh sang istri, sambil berlari memasuki rumah sakit.     

Tak berselang lama para petugas medis menolongnya. Selanjutnya Arthur baru menghampiri pihak resepsionis dan mengurus administrasi.     

Setelah itu dia kembali menghampiri Celine dan menemaninya saat berjuang melahirkan putra mereka.     

Arthur menggengam tangan Celine sambil memberikan semangat kepada istrinya.     

"Ayo, Celine! Kamu pasti bisa, Sayang! Ayo semangat, demi putra kita," ucap Arthur.     

"Arthur! Sakit, Arthur! Aku—"     

"Celine, ayo kamu pasti bisa," ucap Arthur, sekali lagi menyemangati istrinya.     

Seorang Dokter dan dibantu seorang Perawat, mulai memberikan aba-aba pada Celine.     

***     

Meski Celine tampak kesakitan, tapi wanita itu terus bersemangat dan berjuang untuk melahirkan putra mereka.     

Baru kali ini Arthur merasa gemetar dan lemas saat melihat darah, padahal dia adalah seorang, Pembunuh Berdarah dingin. Yang sejak kecil sudah diajarkan oleh kedua orang untuk membunuh orang.     

Darah, dan potongan daging manusia yang berceceran adalah hal yang biasa bagi Arthur, tapi entah mengapa melihat Celine yang sedang melahirkan, dia benar-benar merasa ketakutan.     

Sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.     

Perasaannya bercampur aduk, sedih, takut, dan panik, semua menjadi satu.     

Kurang lebih satu jam Arthur, mengalami gejolak jiwa yang benar-benar terasa asing dalam dirinya. Dan puncaknya, ketika terdengar suara tangisan bayi untuk pertama kali menyapanya, Arthur seakan bermimpi.     

Tangisan itu seakan merontokkan jantung dari dalam dadanya.     

Tubuh Arthur kian melemas dan mendadak pandangannya mulai kabur, pria itu pun mulai kehilangan keseimbangan, kemudian terjatuh dan tak sadarkan diri.     

***     

Seorang Perawat yang ada dalam ruangan itu langsung menghampiri Arthur. Dan dia memberikan pertolongan pada Arthur. Sedangkan Celine masih lemas, dia setengah tersadar, dan setengah tidak, wanita itu memejamkan matanya, tapi dia masih bisa mendengar beberapa orang yang sedang berbicara, hanya saja dia enggan menanggapinya.     

***     

Beberapa saat kemudian Arthur tersadar, seorang Perawat tengah tersenyum kepadanya.     

"Pak Arthur, apa Pak Arthur baik-baik saja?" tanya Perawat itu.     

"Iya, saya baik-baik saja, Suster," jawab Arthur, dan masih memegangi kepalanya. Pria itu merasa pusing dan sedikit linglung.     

"Pak, istri, Anda sedang menunggu di ruang inap," tukas Perawat itu lagi.     

Arthur pun baru mengingat lagi, jika dia sedang menunggu Celine yang sedang melahirkan.     

Arthur pun langsung bangkit dari atas tempat tidur, dan segera berlari menghampiri Celine.     

"Di ruangan mana istriku?!" tanya Arthur yang kebingungan. Sebelum mencari Celine, dia tidak bertanya dahulu kepada Perawat, mengenai letak kamar yang sedang dipakai oleh sang istri.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.