Anak Angkat

Kecemburuan Celine



Kecemburuan Celine

0Setelah pesta usai, suasana rumah tampak sepi.     

Arthur masuk ke dalam kamar untuk menemui Celine.     

Dia mendapati Celine yang masih menangis di atas kasur. Sedangkan putra mereka tengah terlelap.     

"Celine, kamu kenapa?" tanya Arthur. Kemudian pria itu mendekati istrinya.     

Celine memalingkan wajahnya dari Arthur, dia terlihat sangat kesal terhadap Arthur.     

"Kamu kenapa sih?" tanya Arthur lagi.     

"Pasti kamu sangat dekat ya dengan seorang wanita yang bernama, Risa?" sindir Celine.     

"Loh, kenapa kamu bicara begitu?" sahut Arthur. "Memangnya wanita itu bicara apa saja kepadamu?" tanya Arthur dengan nada bicara yang mulai tinggi. Dia yakin jika Risa baru saja mencari masalah terhadap Celine.     

Celine tidak langsung menjawabnya, dan dia masih menangis dengan bibir cemberut.     

Kini kekasalananya terhadap si wanita tadi malah ia lampiaskan kepada Arthur.     

Arthur mengelus rambut Celine, dia tahu jika perasaan Celine sedang kacau. Dia hanya berusaha menepati janjinya, yaitu menjadi pasangan yang baik bagi Celine. Dengan selalu mengerti Celine.     

"Celine, kamu jangan cemburu ya? Aku tidak ada hubungan apapun dengan wanita itu. Dia memang tertarik denganku, tapi aku sama sekali tak tertarik denganya," tutur Arthur pada Celine.     

"Jadi benar kalau dia menyukaimu?" tanya Celine.     

"Benar, Celine. Dan wanita itu juga gila," sahut Arthur.     

"Tapi, dia cantik. Dan kalian bertemu setiap hari, 'kan?" sindir Celine.     

"Aku bertemu dengannya setiap hari karena memang kami bekerja di tempat sama, Celine. Wajar, 'kan?" kata Arthur, "tapi aku benar-benar tak menyukai wanita itu." Tutur Arthur.     

"Bagaiamana aku bisa percaya, kalau kau tidak menyukai wanita itu? Karena wanita itu bertingkah seolah-olah sangat dekat denganku, Arthur," ujar Celine.     

"Sudah kubilang dia memang tertarik kepadaku, tapi aku tidak, Celine!" tegas Arthur. "Kenapa kau tidak percaya juga?" Arthur mulai sedikit kesal.     

Lalu Celine mengangkat wajahnya yang juga masih kesal.     

"Arthur, aku ini hanya takut kehilangan, kamu! Dia sangat cantik! Dan dia juga seorang Guru!" tegas Celine.     

"Lalu apa hubungannya jika dia seorang Guru?!" tanya Arthur.     

"Ya karena aku dulu juga seorang, Guru! Dan kamu menyukaiku hingga menikahiku, Arthur!"     

"Lalu?"     

"Lalu, kamu bisa juga, 'kan melakukan hal yang sama terhadapnya, menyukainya lalu menikahinya!" tegas Celine.     

Arthur menggelengkan kepalanya.     

"Tidak usah bicara yang tidak-tidak, Celine! Ayo percaya ucapanku, aku tidak akan menduakanmu," kata Arthur seraya memeluk Celine.     

Dalam peluk itu Arthur berbisik, "Jika, wanita itu tetap mengganggumu, katakan saja apa yang harus aku lakukan kepadanya?" tanya Arthur dengan suara lirih.     

Celine tidak menjawabnya.     

"Apa kau ingin aku membunuhnya?" tanya Arthur sekali lagi.     

Dan dengan segera Celine melepaskan pelukannya dari Arthur.     

"Apa maksudmu, Arthur?" tanya Celine dengan raut wajah yang mulai ketakutan.     

Dia baru ingat jika Arthur dulunya adalah seorang pembunuh.     

Yang artinya jika Arthur berkata 'akan membunuhnya' makan Arthur benar-benar akan membunuhnya.     

"Celine, kalau kamu benci dengan wanita itu, aku siap menghabisinya! Kapan pun kamu mau!"     

Celine masih terdiam juga, dan Arthur melanjutkan ucapannya.     

"Apa perlu aku membunuhnya sekarang?"     

Kedua netra Celine langsung membulat sempurna.     

"Art-hur ...,"     

"Ayo katakan?" desak Arthur.     

"Maafkan aku, Arthur!" Celline memeluk Arthur lagi.     

"Aku berjanji tidak akan marah lagi, Arthur! Tapi aku mohon jangan membunuhnya ...," pinta Celine.     

Memang dia sangat membenci Risa, tetapi Celine tidak mau kalau sampai harus membunuhnya.     

Sudah cukup Ratu dan Nada yang menjadi korban dari kebrutalan Arthur. Tidak perlu bertambah lagi!     

"Aku mohon, Arthur, jangan membunuh orang lagi ya," pinta Celine dengan wajah memelas.     

Dia kembali memandang Arthur dengan kedua mata tang sayuh.     

"Baiklah, aku tidak akan membunuh wanita itu, asal kau mempercayaiku," ujar Arthur.     

"Iya, Arthur, aku percaya," sahut Celine.     

Akhirnya pertikaian Arthur dan Celine berhenti. Sepasang suami istri itu kini kembali bermesraan.     

Tidur berpelukan dalam satu ranjang, sambil sesekali memandang putra mereka yang tengah terlelap.     

***     

Esok harinya, Arthur kembali berangkat ke sekolah 'Pelangi Senja' seperti biasanya.     

Kali ini Arthur berangkat dari rumah orang tuanya, yaitu di kediaman keluarga Davies.     

Sebenarnya ada sedikit kekhawatiran saat ia meninggalkan Celine dan putranya di rumah ini. Takut jika Arumi dan Charles akan melakukan hal buruk terhadap kedua orang yang sangat ia sayangi itu.     

Akan tetapi Arthur berusaha untuk menepis rasa ketakutannya.     

Karena kedua orang tuanya juga sudah berjanji akan menjaga Celine.     

Mereka tidak akan melakukan hal buruk terhadap Celine serta putranya, dan akan menyayangi keduanya dengan tulus.     

Namun entah mengapa Arthur masih merasa tudak enak hati saat meninggalkan rumah.     

"Ah, aku tidak perlu memikirkan hal itu! Ayah dan Ibu tidak akan melakukan hal buruk," gumam Arthur.     

"Lagi pula tidak ada lagi, 'kan yang mereka cari? Wijaya sudah mati," ujarnya meyakinkan dirinya sendiri.     

Mobil yang ia kendarai berhenti di depan gerbang sekolah.     

Lagi-lagi di kursi depan koridor sudah ada Risa yang sedang duduk. Wanita itu selalu melakukan hal yang sama, datang lebih pagi dan seolah sengaja menunggu kedatangan Arthur.     

'Sial!' umpat Arthur di dalam hati.     

Risa seakan-akan datang untuk menggodanya agar melakukan tindakan yang buruk.     

Dengan bersusah payah Arthur menyakinkan hatinya agar tidak membunuh Risa. Walau jiwanya seakan meronta dan tak sabar untuk menguliti wanita itu saat ini juga.     

Kemudian Arthur keluar dari dalam mobil dengan raut wajah yang kesal.     

Kehadiran Risa benar-benar mengusik hari-harinya.     

"Pak Arthur!" sapa Risa, seraya berjalan mendekati Arthur.     

"Tolong, beri saya jalan!" sengut Arthur.     

"Ah, baiklah," Risa mempersilahkan Arthur untuk lewat. Tapi dia tetap berjalan di belakang Arthur.     

Kemudian Arthur menghentikan langkah kakinya.     

Dia menengok ke belakang dengan raut wajah yang kesal.     

"Kenapa, Anda, mengikuti saya?" tanya Arthur.     

Risa malah tersenyum menanggapi pertanyaan Arthur.     

"Pak Arthur, saya takut berada di luar sendirian, boleh saya pergi bersama, Anda?" tanya Risa.     

Arthur pun tak menanggapinya, dia kembali melangkahkan kakinya untuk memasuki ruangannya.     

Meski Risa terus mengajak Arthur berbicara, tapi dia tak peduli.     

Dia hanya menganggap Risa sebagai angin lalu.     

"Pak, acara pesta kemarin sangat seru," ujar Risa.     

"Pak Arthur, benar-benar memberi kejutan kepada kami, tentang setatus Anda,"     

"Pak, tapi tingkah istri, Anda, kalau saya rasa agak kurang ramah,"     

"Pak!" Arthur masih berjalan dan masih tak peduli dengan semua kalimat yang diucapkan oleh Risa.     

"Pak Arthur! Kenapa diam saja? Apa ada masalah dengan tenggorokan, Anda?" tanya Risa dengan suara lantang.     

Arthur menengok lagi. "Bu Risa, apa Anda ini tidak bisa diam?!"     

"Ma-af, Pak!" Risa menunduk sesaat, "habisnya, Pak Arthur, tidak menanggapi pertanyaan saya,"     

Arthur mendesis kesal, sambil menggelengkan kepalanya.     

"Menyebalkan," gumam Arthur.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.