Anak Angkat

Menerima Kekurangan



Menerima Kekurangan

0Arumi dan Charles duduk di  atas sofa.     

Begitu pula dengan Celine, tapi dia hanya terdiam.     

Celine tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada kedua orang tuanya itu.     

Sejujurnya Celine benar-benar tidak suka dengan kehadiran mereka.     

Hanya saja dia tidak mungkin untuk mengusir mereka sekarang. Apa lagi kalau sampai berbicara dengan kasar.     

Cline tidak bisa menunjukkan kekesalannya kepada mereka.     

Dia juga takut mereka malah akan menyakitinya atau bahkan membunuhnya.     

"Celine, di mana Arthur?" tanya Arumi.     

"Arthur, sedang berada di sekolah, Bu," jawab Celine dengan suara yang bergetar.     

"Ah, iya sampai lupa," Arumi beralih ke topik lain.     

"Kalau cucu kami ada di mana?" tanya Arumi lagi.     

"Langit, sedang tidur, Ibu," sahut Celine.     

"Ah ... sayang sekali padahal kami sudah sangat rindu kepada, Langit," ujar Arumi, sesaat melirik kearah Charles.  "Benarkan, Charles?"     

"Iya, Sayang," jawab Charles.     

"Tapi, Langit, baru saja tidur, Bu. Saya tidak bisa membangunkannya sekarang," tukas Celine agak sedikit canggung. "Nanti dia akan menangis," imbuhnya.     

"Oh, begitu ya?" Arumi masang raut wajah yang kecewa. Namun setelah itu dia tersenyum lagi.     

"Kalau begitu, biarkan kami mengobrol bersamamu saja, ya," ucap Arumi.     

"Benar kata ibumu. Kedatangan kami kemari karena kami ingin bertanya tentang suatu hal kepadamu, Celine," imbuh Charles.     

Seketika Celine bertambah ketakutan.     

'Apa jangan-jangan mereka itu akan melakukan hal buruk terhadapku?' bicara Celine di dalam hati.     

'Gawat! Aku harus bagaimana?' Perasaan Celine semakin tak karuan saja.     

"Celine," panggil Arumi.     

Celine mengangkat wajahnya dengan jantung yang seakan lompat dari dalam dada.     

"Sayang, kenapa kamu dan Arthur, pergi tanpa berpamitan kepada kami?" tanya Arumi.     

"Maafkan kami Bu. Kami buru-buru," sahut Arumi dengan wajah menunduk, netranya tidak berani memandang langsung kearah Arumi.     

"Ah, begitu ya? Tapi buru-buru karena apa?" Arumi bertanya lagi, "pasti ada alasannya, 'kan?"     

'Huft ....' Celine mengelak nafas sesaat, untuk mengurangi kegugupannya.     

"Iya, kami buru-buru karena ...." Celine tidak tahu harus memberikan alasan apa atas kepergiannya kemarin.     

Mendadak pikirannya seperti tak bisa mencetuskan ide sedikitpun.     

"Katakan saja, tidak usah takut, Nak!" ujar Charles.     

Celine pun melanjutkan kalimatnya tadi.     

"Ayah, Ibu, bukankah kami sudah bilang sejak awal, jika seusai pesta kelahiran Langit, kami akan pulang kerumah kami sendiri?" ujar Celine.     

"Yah, benar. Tapi apa kalian tidak bisa berpamitan dulu?" sahut Arumi.     

"Maafkan aku, Bu. Ini salahku yang meminta buru-buru pergi. Hingga kami tidak sempat berpitan."     

"Sekali lagi aku bertanya, kalian buru-buru pergi karena apa?"     

"Aku sudah terlalu rindu dengan rumah kami, Bu. Saking sudah tak tahannya, akhirnya aku meminta pulang pada hari itu juga," ujar Celine.     

"Oh, begitu ya?" Arumi mengernyitkan dahinya.     

Terlihat raut kekesalan di wajahnya, tapi tak bertahan lama, karena  Arumi kembali menutupinya dengan sebuah senyuman.     

Wanita itu memang bisa memanipulasi ekspresi wajahnya denagn cepat.     

"Baiklah, tidak apa-apa, asalkan kalian bahagia kami bisa memakluminya," kata Arumi.     

Kemudian Charles juga turut menimbrung pembicaraan mereka.     

"Benar, Celline, kami tidak akan marah kepadamu, hanya karena masalah kecil begini. Kami bahagia jika kalian bahagia," ucap Charles.     

Celine mengangkat wajahnya lagi, kali ini dia tersenyum.     

Kini Celine mulai sedikit tenang, karena kedua mertuanya tidak marah kepadanya.     

Meski mereka orang-orang yang sangat menyeramkan, tapi setidaknya mereka sudah berbaik hati kepadanya dan Arthur.     

Celine yakin jika sebenarnya kedua mertuanya ini hanya jahat kepada orang lain, tapi tidak jahat kepada keluarga mereka sendiri.     

Buktinya Mesya saja selalu diperlakukan dengan baik oleh mereka.     

Yang artinya, Celine pun juga akan diperlakukan dengan baik oleh keluarga ini.  Dia tidak boleh berperasangka buruk kepada mereka. Termasuk berpikir jika mereka akan menyakitinya.     

Apalagi Celine juga melihat jika mereka datang dengan membawakan banyak oleh-oleh untuk Langit.     

Mereka terlihat sebagai sosok Kakek dan Nenek yang sangat baik.     

"Terima kasih, Ibu, Ayah, atas segala pengertian kalian," ujar Celine.     

"Iya, Sayang," sahut Arumi seraya tersenyum. Tapi Celine tak menyadari saat kedua mata Arumi menajam ketika ia lengah.     

"Kalian tunggu di sini ya, aku akan membuatkan minuman untuk kalian," ujar Celine.     

"Sudah, tidak usah repot-repot Sayang," kata Arumi.     

"Apa yang diucapkan, Ibumu benar, Nak! Kau tidak perlu repot-repot," imbuh Charles.     

"Tidak apa-apa, Ayah, aku sama sekali tidak repot kok,"   sahut Arumi.     

Kemudian Celine pun meningal  kedua mertuanya itu.     

Celine tahu mereka bukan orang baik dan bahkan jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan dulu, tapi Celine tetap berusaha untuk menghormati mereka sebagai orang tua Arthur.     

Dia sudah mencintai Arthur, yang artinya dia harus menerima kekuarangan Arthur, termasuk keluarganya.     

Sambil mengaduk teh buatanya, Celine bergumam.     

"Andai saja, jodohku bisa kupilih, maka aku tidak akan memilih Arthur. Tapi kalau ini sudah manjadi garis dari Tuhan, aku bisa apa?"      

Dia tak menyesali atas takdirnya bersama Arthur, hanya saja, dia merasa berat untuk melewati segala rintangan dalam rumah tangganya. Termasuk kenyataan tentang keluarga Arthur.     

Setelah itu Celine membawa nampan berisi teh hangat itu ke ruang tamu.     

"Ini, Ibu, Ayah, silahkan di minum?" ujar Celine seraya meletakan nampan berisi teh ke atas meja.     

"Wah, benar-benar menantu yang baik, terima kasih ya, Nak," ucap Arumi.     

"Iya," sahut Celine.     

Mereka menyeruput teh hangat buatan Celine.     

Sesat mereka mengobrol, walau obrolan itu terasa klise. Dan bagi Celine itu hanya kalimat-kalimat formalitas, agar bisa memecahkan  keheningan.     

Tak lama terdengar suara tangisan  bayi dari lantai atas.     

"Ibu, maaf, aku harus menghampiri Langit, dia menangis," ujar Celine.     

"Ah, baiklah,"  sahut Arumi.     

***     

Ketika Celine meniggalkan ruang tamu, Arumi dan Charles saling berdiskusi.     

"Sayang, bagaimana rencamu selanjutnya?" tanya Charles.     

"Maksudnya?'     

"Arumi, apa kau ingin mengambilnya dalam waktu dekat ini?" ujar Charles memperjelas ucapannya.     

"Tidak, Charles, kita akan menculiknya nanti, tepat di bulan purnama saja. Dan kita harus melakukannya dengan penuh hati-hati. Kerena kalau kita tidak bisa menyimpannya rapat-rapat maka Arthur akan membenci kita," tutur Arumi.     

Charles pun mengangguk paham, kemudian Celine keluar lagi dengan membawa putranya.     

"Ah, Cucu Tersayangku!" ujar Charles dengan penuh antusias.     

"Boleh aku menggendongnya?" tanya Charles.     

"Tentu saja, Ayah," sahut Celine. Dia memberikan Langit kepada Charles.     

Kemudian Arumi pun mendekat kearah Charles.     

"Berikan kepadaku, aku juga ingin menggandong cucuku," ujar Arumi.     

"Ah, kau ini mengganggu saja, Arumi. Aku sedang bercengkrama dengan, Langit," sahut Charles.     

"Ah, sudahlah, berikan saja kepadaku. Aku yakin Langit jauh lebih nyaman dalam gendonganku," paksa Arumi.     

Mereka malah berebut menggendong Langit. Hal itu membuat Celine tersenyum. serta membuatnya yakin jika rasa sayang mereka itu tulus terhadap Langit.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.