Anak Angkat

Perasaan Waspada



Perasaan Waspada

0Kebahagiaan mereka kian bertambah saat mereka mengetahui, jika Arthur dan Celine akan segera menyusul mereka di kota ini.     

Artinya mereka bisa berkumpul dan hidup bahagia.     

"Kak, aku sudah tidak sabar lagi untuk menunggu kedatangan Kak Arthur, dan juga Kak Celine," ujar Mesya.     

"Aku, pun begitu. Dan bahkan aku juga tidak pernah berpikir jika aku bisa merasakan bahagia seperti ini," ujar David. Dia merasa ada banyak hal yang berubah.     

Dulu saat melihat Arthur hanya ada rasa benci di hati David.     

Kerena memang sifat Arthur lah yang sudah menghancurkan rasa persaudaraan mereka.  Namun sekarang sudah berubah derastis.     

Arthur yang dulu jahat dan menyebalkan, kini menjadi sosok pria yang baik, bahkan bisa  dibilang Arthur adalah sosok suami serta ayah yang baik bagi Celine dan putranya.     

Andai saja Arthur tidak bertemu serta jatuh cinta kepada Celine, mungkin  sifat Arthur yang sangatlah buruk itu tidak akan pernah berubah sampai kapan pun.     

David sangat bersyukur adiknya telah dipertemukan dengan Celine, dan hal inilah yang membawa Arthur pada jalan yang benar.     

"Aku juga sangat bahagia, melihat Kak David, bisa berbaikan dengan Kak Arthur, kini aku tidak lagi melihat ada yang terus bertengkar, dan saling menjatuhkan  seperti dulu," tukas Mesya seraya menggengam tangan David.     

Namun tiba-tiba hal yang tak terduga pun terjadi.     

Mendak tubuh David yang awalnya sangat baik-baik saja kini berubah menjadi lemas, keringat dingin muncul diseluruh  permukaan pori-porinya dan menggigil tak karuan.     

Mesya begitu ketakutan melihat David yang semakin lama, tubuhnya mengalami kejang-kejang. Dia bingung akan hal ini.     

"Kak  David, kenapa?" tanya Mesya.     

"Aku ...."     

"Kamu kenapa, Kak?"     

"Aku, sakit, Mesya ...," jawab David dengan suara yang bergetar.     

"Astaga, tadi baik-baik saja kenapa mendadak sakit?" tanya Mesya.     

"Ayo kita ke Dokter sekarang juga, Kak!" ajak Mesya.     

"Tidak bisa, Mesya!"     

"Kenapa tidak bisa! Aku, 'kan sudah bisa menyetir mobil! Jadi biar aku antarkan, Kak David!"     

"Ini bukan hanya masalah kau bisa mengemudikan mobil, Mesya! Tapi meski aku ke rumah sakit sekalipun aku tetap tidak akan bisa sembuh!" tukas David.     

"Lalu apa yang bisa menyembuhkanmu, Kak?" tanya Mesya seraya mengusap rambut David.     

Dengan pelan-pelan dan nafas yang  tersengal-sengal, David pun menjelaskan kepada Mesya, bahwa dia sakit begini karena sudah terlalu lama tidak mengonsumsi daging manusia.     

"Aku, hanya bisa sembuh kalau aku memakan daging manusia, Mesya," ujar David.     

"Tapi, bagaimana bisa? Kita sudah berjanji untuk tidak membunuh orang, 'kan, Kak?"     

"Iya ...." Jawab David seraya memejamkan matanya.     

"Kak David! Tolong jangan pingsan, Kak! Katakan  apa yang harus aku lakukan?!" tanya Mesya setengah berteriak.     

Tapi David tak menghiraukannya.     

Mesya  pun semakin bingung. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan?     

Dia hanya bisa berusaha untuk membangunkan David.     

"Kak, bangun, Kak! Bangun!" Mesya menggerak-gerakkan tubuh David,  tapi David sama sekali tidak bergerak.  Derai air matanya membanjiri area pipi.     

Dia sangat takut jika terjadi hal buruk kepada David. Kalau sampai itu terjadi, Mesya tidak tahu untuk apa tujuan hidup selanjutnya?     

Saat ini hanya David satu-satunya orang yang sangat ia kasihi. Dan satu-satunya orang yang paling berarti di dalam hidupnya.     

Tidak akan ada yang mampu menggantikan sosok David.     

"Aku harus bagaimana ini?"     

Mesya terus memikirkan cara agar bisa segera menyelamatkan David.     

Akhirnya Mesya pun teringat dengan Arthur. Dan tanpa berpikir panjang menelpon Arthur.     

Tentu saja dia ingin bertanya bagaiamana ia bisa menyembuhkan David.     

Tentunya dengan cara lain yang tidak mengharuskan untuk memakan daging manusia.     

"Ayo, Kak Arthur, angkat!" ujar Mesya  yang sudah tidak sabar lagi.     

"Ya, Tuhan! Semoga kali ini, Kak Arthur, segera mengangkatnya!" ujar Mesya penuh harap.     

Dan akhirnya Arthur mengangkat teleponnya.     

"Halo, Kak Arthur!" sapa Mesya dengan suara yang tergesa-gesa.     

[Iya, Mesya! Ada apa?]     

"Kak, tolong aku! Kak David, sedang sakit! Apa yang harus aku lakukan?"     

[Tidak ada cara lain, Mesya! Kalau ingin cepat sembuh, kau harus memberinya darah, atau daging manusia!]  jelas Arthur.     

"Tapi apa tidak ada cara lain, Kak? Kami tidak mungkin membubuh orang yang tak berdosa untuk diambil dagingnya?"  tanya Mesya.     

[Ada cara lain untuk membuatnya sembuh, tapi David akan kehilangan lekuatanya!] kata Arthur.     

"Iya, tidak apa-apa, Kak! Memang itu yang kami inginkan, lalu bagaimana caranya?"     

[Caranya kamu hanya membiarkan dia merasakan sakit itu untuk waktu yang lama, sampai dia sembuh sendiri!] ujar Arthur.     

"Kalau begitu berapa lama  dia akan sakit begini, Kak?"     

[Cukup lama, Mesya. Bisa sampai berbulan-bulan, tapi setelah itu dia akan menjadi manusia normal, dan dia bisa terluka dan mati,]     

"Apa, Kak Arthur, sebelumya juga merasakan hal seperti ini?"     

[Iya, dan sekarang, aku sudah  sembuh!]     

"Baiklah, Kak Arthur! Terima kasih, ya!"     

[Iya, Mesya!]     

Mesya menghampiri panggilan teleponnya dari Arthur.     

Setelah itu Mesya pun kembali menghampiri David.     

Dia tidak melakukan apapun, dan dia hanya duduk di samping David, sambil sesekali memegang kening David,  mengelus rambutnya, atau memijat bagian tubuh David yang tengah dikeluhkan.     

"Kak, kamu harus kuat ya, ini adalah awal perjuanganmu menjadi manusia biasa. Aku yakin kau pasti bisa melewatinya," ujar Mesya. Dan dia mengusap dahi suaminya itu.     

Kemudian Mesya juga memeluk tubuh David yang tengah menggigil agar David merasa lebih hangat.     

***     

Mesya terpaksa mengurungkan niatnya untuk membuka toko bajunya di esok hari.     

Kerena dia lebih memilih untuk menunggu David sampai sembuh.     

Walau entah kapan David akan sembuh. Setidaknya Mesya sudah berusaha untuk selalu ada di samping David.     

Mesya masih bersyukur setidaknya dia memiliki simpanan uang untuk memenuhi kehidupan mereka selama tidak bekerja beberapa bulan kedepan.     

Walau dia harus pintar-pintar menghematnya     

******     

Berkat bantuan dari Mesya, David berhasil naik ke lantai atas walau dengan tubuh yang gemetaran.     

"Mesya, maafkan aku, ya,"  bisik  David. "Aku sudah merepotkanmu," ujar David.     

"Aku merasa tidak direpotkan, Kak. Hanya saja aku sangat khawatir terhadap keadaan Kak David, yang seperti ini," tanggap Mesya.     

"Ayo, Kak, cepat sembuh, ya," pinta Mesya penuh harap.     

David meraba wajah Mesya seraya tertidur di atas kasur.     

"Maafkan aku ya, Sayang," ujar David. Kemudian David mulai memejamkan matanya.     

Mesya tidur di samping David, dia memeluk sang suami sepanjang waktu. Mesya tahu jika dia tidak bisa menyembuhkan David, akan tetapi setidaknya dia masih bisa menjaga dan membuat perasaan David merasa nyaman, karena dia selalu ada di samping David saat David tengah terpuruk seperti ini.     

******     

Di Jakarta.     

"Arthur, kapan kau akan mengajakku pindah Ke Surabaya?" tanya Celine.     

"Entalah, aku masih bingung dengan pekerjaanku, Celine. Bagaimana dengan sekolah 'Pelangi Senja?' aku harus tetap mengurusnya, 'kan, Celine. Apa lagi tempat itu adalah satu-satunya mata pencaharian kelurga kita,' pungkas Arthur.     

"Tapi, bukankah Pemilik sekolah yang asli adalah, Mesya?" tanya Celine.     

"Iya, memang benar." Sahut Arthur.     

"Kalau begitu kita tinggalkan saja sekolah itu, Arthur. Mesya yang pemiliknya saja malah sudah meninggalkan sekolah itu sejak lama?" ujar Celine.     

"Iya, Celine, aku tahu. Kita memang akan pergi, tapi tidak dalam waktu secepat ini, Celine. Paling tidak kita pastikan dulu sekolah itu sudah terjual dan jatuh pada orang tepat," pungkas Arthur.     

"Tapi, apa tidak masalah jika kamu yang akan menjualnya? Bukankah yang harusnya berhak untuk melalukan itu adalah, Mesya?"     

"Iya kau memang benar. Tapi Mesya sudah tidak mungkin kembali di kota ini. Dia sudah mengikhlaskan sekolah itu untuk kita. Dia ingin kita yang mengurusnya. Yang artinya kita juga berhak untuk menjual tempat tersebut," ujar Arthur.     

Celine dapat memahaminya.     

Dia pun mencoba bersabar dan menunggu waktu yang tepat untuk meninggalkan kota ini.     

Lagi pula kedua mertuanya sejauh ini masih bersikap baik kepadanya.     

Walau mereka orang yang menyeramkan sekalipun.     

Tapi celine tetap tidak bisa tinggal berlama-lama di tempat ini. Dia hanya menghindari kemungkinan buruk apa bila sang mertua mulai berubah pikiran dan mulai mengganggu dalam kehidupannya bersama dengan Arthur.     

***     

Ketika Arthur dan Celine tengah asyik mengobrol tiba-tiba terdengar seseorang yang tengah mengetuk pintu rumah.     

Tok! Tok! Tok!     

"Sayang, bisa bukakan pintu? Aku sedang menyusui, Langit," ujar Celine.     

"Baiklah," Arthur mulai beranjak dari tempat duduknya untuk membukakan pintu.     

Ceklek!     

Kedua matanya terperangai saat mendapati yang datang adalah orang tuanya.     

"Ayah, Ibu?" sapa Arthur. "Halo, Sayang," sapa Arumi.     

"Si-silakan masuk," ujar Arthur.     

"Terima kasih, Sayang," dan lagi-lagi mereka membawakan oleh-oleh berupa barang-barang mewah untuk cucu mereka.     

Meski begitu entah mengapa Celine merasa tak bahagia akan hal itu.     

Memiliki mertua yang sangat kaya-raya dan selalu bersikap baik kepadanya, malah justru membuatnya merasa takut dan waspada.     

Karena kelembutan, kebaikan, serta sikap ramah Arthur dan Charles terlihat begitu berlebihan.     

Celine meyakini jika mereka memiliki rencana tertentu kepadanya.     

"Wah, cucukku sedang tertidur lagi ya!" ujar Arumi.     

"Iya, Bu," jawab Celine.     

"Selalu saja setiap kami datang, si Tampan, ini malah tertidur," imbuh Charles.     

"Dia baru saja memejamkan mata, Ayah, mungkin kelelahan. Karena tadi malam ia rewel tidak bisa tidur," ujar Arthur.     

"Ah, begitu ya?" Arumi meraba atas kepada Langit.     

"Apa dia sakit?" tanya Arumi.     

"Tidak, Bu. Langit baik-baik saja, kok!" sahut Celine.     

"Benarkah?"     

"Ah, syukurlah kalau memang baik-baik saja, aku pun juga berharap begitu," Lalu wanita itu kembali meraba atas kepala cucunya.     

"Mungkin benar jika dia hanya kelelahan, makanya dia rewel," kata Arumi.     

"Sini, biar aku akan memintanya dengan lembut," Arumi meraih Langit dari gendongan Celine     

'Ibu, dan Ayah, menghawatirkan Langit, itu artinya mereka memang menyayanginya, bukan? Dan aku juga sudah merasakan hal itu sejak awal, hanya saja ... kenapa terkadang pikiran baik itu berubah menjadi pikiran buruk?' bicara Celine di dalam hati.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.