Anak Angkat

Mengambil Lizzy



Mengambil Lizzy

0Pagi hari dengan guyuran hujan.     

Celine masih duduk di teras rumah bersama putra tersayangnya.     

Wanita itu tampak memandangi setiap butiran yang jatuh dari atas langit.     

"Langit, lihat hujannya sangat deras," ucapnya pada bayi yang ada dalam gendongannya.     

"Celine, kenapa hujan-hujan begini, kamu malah di luar?"  tanya Arthur.     

"Aku hanya ingin melihat hujan, Arthur,"     

"Tapi, bagaimana kalau, Langit, kedinginan!"     

"Aku sudah memakaikannya selimut tebal, aku yakin dia tidak akan kedinginan,"  jawab Celine.     

"Celine, tapi untuk apa kamu melihat hujan? Seperti anak kecil saja," cerca Arthur.     

Dan dengan santai Celine menjawabnya,     

"Yah, aku memang sedang membayangkan masa kecilku, Arthur,"     

"Memangnya ada apa dengan masa kecilmu?"     

Celine menghela nafas sesaat, lalu bibirnya tersenyum.     

"Dulu aku punya seorang sepupu perempuan, dan kami sering sekali bermain hujan-hujanan, hubungan kami benar-benar sangat baik. Sampai pada suatu ketika, orang tuanya bercerai, dan si Ayah membawa gadis itu pergi. Aku kehilangan dirinya, Arthur. Dan beberapa bulan  kemudian aku mendapatkan kabar bahwa sepupuku meninggal karena dianiaya oleh Ibu tirinya." Celine menunduk dan bibirnya yang tadinya tersenyum, kini berubah diam dengan guratan kesedihan.     

"Lantas, apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Arthur.     

"Aku menyesal, Arthur. Karena aku tidak bisa menolongnya. Sejak awal dia tidak mau ikut ayahnya, kerena ibu tirinya yang sangat jahat. Tapi aku tidak percaya. Aku pun membiarkan dia tetap pergi, hingga akhirnya dia meninggal."  Derai air mata  Celine kian deras.     

Gadis itu mengusapnya sesaat.     

"Dan kau tahu, Arthur? aku sangat menyesal, harusnya aku mendengarkan keluhannya dan tidak membiarkan dia pergi. Harusnya kita labih mendengarkan keluhan orang yang sangat kita kenal, dari pada harus mengutamakan ketakutan kita. Dulu aku tidak bisa menghentikan, dia pergi karena aku juga tidak enak dengan orang tuanya. Kupikir sebaik-baiknya tinggal adalah dengan orang tuanya sendiri, tapi ternyata aku salah. Dan justru aku malah kehilangan dia untuk selama-lamanya," ujar Celine.     

Dari pristiwa yang menimpa sepupunya Celine, membuat Arthur yakin untuk segera mengambil Lizzy dari keluarga Davies.     

"Sudah, Celine, jangan menangis?" kata Arthur seraya mengusap-usap punggung Celine.     

"Maafkan aku, Arthur, aku malah jadi curhat kepadamu," Celine mengusap wajahnya sambil tersenyum.     

"Tidak apa-apa, justru aku yang berterima kasih," jawab Arthur.     

"Terima kasih untuk apa?"     

"Untuk ceritamu tadi, Celine. Sekarang aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan kepada, Lizzy," kata Arthur.     

"Memangnya ada apa dengan, Lizzy?"     

"Lizzy ingin tinggal bersama kita, Celine,"     

"Memangnya apa alasannya?"     

"Lizzy, tidak mau menjadi seorang pembunuh, kau tahu, 'kan bagaimana keluargaku?"     

"Ah, begitu ya ....,"     

"Bagaimana? Apa kau mau mengizinkannya?" tanya Arthur pada Celine.     

"Iya, Sayang, Lizzy anak yang baik, aku akan dengan senang hati menerimanya," jawab Celine.     

"Terima kasih, Sayang," ucap Arthur, dan Celine mengangguk seraya tersenyum.     

*****     

Setelah mendapatakan persetujuan dari Celine.     

Hari itu juga Arthur mendatangi kediaman kelurga Davies untuk menjemput Lizzy.     

Saat memasuki gerbang rumah mewah itu, Arthur tampak ragu.     

Dia takut orang tuanya tidak mengizinkan Lizzy untuk ikut bersamanya.     

Beberapa kali Arthur menekan tombol bel pintu.     

Kemudian Arumi yang membukakan pintunya.     

"Hai, Arthur! Tumben sekali kamu datang sepagi ini?" tanya Arumi.     

"Ah iya, Bu, aku ingin bertemu dengan Lizzy," jawab Arthur.     

"Kamu ingin bertemu dengan, Lizzy?"     

"Iya, Bu,"     

"Baiklah, kalau begitu mari kita mengobrol di dalam saja," ujar Arumi.     

Mereka pun masuk ke dalam rumah, dan Arthur juga tengah duduk di atas sofa, menunggu sampai Lizzy keluar.     

Entah mengapa semenjak ia sudah memiliki rumah sendiri, Arthur merasa sangat berat saat memasuki rumah keluarga ini.     

Dia merasa seperti orang asing dan bahkan rasanya sangat malas untuk sekedar berkunjung saja.     

Mungkin kalau bukan kerena ingin menjemput Lizzy, pasti Arthur juga tidak akan menginjakan kakinya di rumah ini lagi.     

Tak berselang lama Arumi pun keluar seraya menggandeng tangan Lizzy.     

Mereka duduk mengobrol di atas sofa.     

"Arthur, ini Lizzy, Sayang," ujar Arumi.     

"Terima kasih, Bu, sudah memanggilkan Lizzy," ujar Arthur.     

"Iya, Sayang. Kau mau Ibu buatkan sesuatu?"     

"Eh, tidak usah, Bu," jawab Arthur.     

"Baiklah kalau begitu." Arumi kembali duduk lagi.     

Kemudian Arthur pun langsung mengatakan tujuannya datang ke rumah ini.     

"Bu, aku ingin membawa Lizzy pulang," kata Arthur.     

"Apa?" Arumi tampak syok mendengarnya. "Kau ingin membawa, Lizzy?"     

"Iya, Bu, benar, aku ingin mengajak Lizzy untuk tinggal bersamaku dan Celine," kata Arthur.     

"Tapi kenapa?" tanya Arumi.     

"Kau datang secara tiba-tiba, dan memberikan kabar yang mengejutkan! Kau bilang ingin membawa Lizzy? Apa tujuanmu, Arthur?" tanya Arumi.     

Pelan-pelan Arthur pun menjelaskan kepada Arumi tentang alasan.     

"Bu, Lizzy ingin ikut bersama kami, jadi aku mohon biarkan Lizzy tinggal bersama aku dan Celine, ya?" kata Arthur.     

"Jadi kau bercerita kepada, Arthur?" bisik Arumi di telinga Lizzy. Gadis itu tampak sangat ketakutan. Tapi dia hanya terdiam tanpa kata.     

Seketika Arumi pun melarangnya.     

"Tidak bisa begitu, Arthur!" kata Arumi.     

"Memangnya kenapa, Bu? Dia ingin ikut bersama kami, apa itu salah?" tanya Arthur. "Aku ini, 'kan juga keluarganya?"     

"Kau memang keluarganya, Arthur! Tapi kau tahu jika Lizzy saat ini adalah satu-satunya milik kami? Kau dan David, sudah meninggalkan Ibu! Dan sekarang kau juga akan mengambil, Lizzy?!" Arumi tampak murka dengan sikap Arthur.     

"Kalau begitu tolong hentikan Ritual Bodoh itu, Ibu!" suruh Arthur.     

"Apa kau bilang?!" Arumi menajamkan kedua matanya. "Ritual, Bodoh?!"     

Arthur tahu jika ucapanya telah membuat Arumi tersinggung, akan tetapi dia benar-benar sudah muak dengan tingkah keluarganya itu.     

Mereka yang memuja Iblis, tak sadar jika sekarang mereka telah menjadi seperti Iblis.     

"Bu, tolong hentian semuanya! Lagi pula apa yang kalian cari?! Kalian sudah tidak punya musuh, 'kan?" sindir Arthur.     

"Kau, bahkan berani mengatur orang tuamu sendiri, Arthur?"     

"Aku tidak mengatur, Ibu, aku hanya ingin kalian tidak membunuh orang?"     

"Kami sudah memaafkan atas, perbuatanmu dengan Celine, Arthur! Lalu kenapa kamu malah membuat luka hati lagi bagi kami?!"     

"Bu, maaf ... tapi aku harus membawa, Lizzy," kata Arthur.     

"Tidak! Kau tidak bisa membawanya, Arthur!"     

"Tapi, aku tidak rela adik perempuanku akan menjadi pembunuh seperti, kalian!" bentak Arthur.     

Arumi juga membalas bentakan itu.     

"Cukup, Arthur! Jangan mengatai kami sebagai pembunuh! Kau juga pembunuh, Arthur! Kita semua adalah, pembunuh! Apa kau lupa jika dulu kau sangat menikmatinya?!" sindir Arumi, seraya tersenyum sinis, "kau tidak perlu sok suci setelah menikah dengan, Wanita Bodoh, itu Arthur!" cerca Arumi.     

Mendengar sang Ibu yang mengatakan istrinya sebagai 'Wanita Bodoh' Arthur merasa tak terima.     

"Tolong jangan hina, istriku, Ibu!" pekik Arthur.     

"Kenapa? Kau tak terima, Arthur!?" Arumi tersenyum sinis menatap putranya yang sedang murka.     

Sementara Lizzy hanya bisa terdiam ketakutan.     

Dia benar-benar tak habis pikir karena telah menyebabkan kakak dan ibunya bertengkar hebat.     

Dan tak berselang lama Charles pun datang.     

Bunyi seseorang yang memutar knop pintu membuyarkan konsentrasi mereka.     

"Ada apa ini?" tanya Charles.     

"Arthur, tumben sekali kau datang kemari, Nak?" Charles datang dengan raut wajah yang ramah, namun sayangnya orang-orang dalam rumah itu memasang wajah yang jauh dari kata ramah.     

"Ada apa dengan kalian? Kenapa telihat berbeda?? " tanya Charles.     

Arumi pun mendekati sang suami.     

"Charles, kau tahu tidak, jika putra kita ini berani membentakku. Bahkan dia juga hendak membawa putri kita!" ujar Arumi mengadu pada Charles.     

"Sabar, Sayang, mungkin kita bisa bicarakan baik-baik," kata Charles.     

"Ayo semuanya duduk dan kita bahas, pelan-pelan," ujar Charles.     

Akhirnya mereka semua menuruti arahan Charles.     

Setelah keadaan mulai tenang, mereka pun mulai membahas lagi masalah Lizzy.     

Arthur mengatakan jika ingin membawa Lizzy, dengan alasan Lizzy yang tidak betah berada di rumah ini. Dan Arthur tidak mau jika orang tuanya menjadikan Lizzy sebagai seorang pembunuh.     

Sudah cukup baginya dan David saja yang terperosok dalam lembah hitam, tapi tidak bagi anak-anak perempuan. Termasuk Lizzy dan Mesya.     

Arumi kembali geram saat Arthur, mulai menyinggung masalah itu, tetapi lagi-lagi Charles selalu berhasil membuat istrinya tenang.     

"Begini saja, Arthur, tolong biarkan Lizzy untuk tetap tinggal bersama kami, dan aku berjanji, akan memperlakukan dia dengan baik, termasuk tidak akan menjerumuskanya menjadi pembunuh seperti kami," ujar Charles.     

"Sayang, kau ini bicara apa sih?" protes Arumi yang tak terima, karena Charles malah bersikap mengalah kepada Arthur.     

"Tidak apa-apa, Sayang, cukup kita yang menyukai hidup dan hobi kita, kalau anak-anak kita tidak menyuakinya biarkan saja, kita tidak boleh memaksanya," ujar Charles.     

"Tapi, Charles—"     

"Sudahlah, Sayang,"     

Arumi pun kembali diam. Dia tahu, jika suaminya pasti tengah merencanakan sesuatu, oleh karena itu dia tidak melawan lagi. Dia memilih diam.     

"Tapi aku mohon, Ayah, biarkan Lizzy tinggal bersamaku," pinta Arthur.     

Dia masih tak yakin dengan ucapan sang ayah tadi.     

"Arthur, apa kau tega melihat kami kesepian? Kau tahu hanya dia satu-satunya yang kami punya sekarang?" tanya Charles dan memasang wajah memelas.     

"Iya Tapi—"     

"Biarkan dia tinggal di sini, Nak. Kami berjanji akan membiarkan dia menjadi apa yang dia inginkan. Dan kami berjanji tidak akan mengekangnya," ucap Charles meyakinkan Arthur.     

Akan tetapi Arthur tidak mudah percaya begitu saja.     

Dia takut jika sikap baik sang ayah hanya di depannya saja, dan setelah itu dia akan menghukum Lizzy. Seperti dia dan David dulu.     

"Tapi apakah aku bisa percaya begitu saja? Bagaiamana kalau Ayah akan menghukum Lizzy setelah aku pergi nanti?" sindir Arthur.     

"Kenapa kau bicara begitu?" tanya Charles.     

"Karena itulah yang sering Ayah dan Ibu lakukan kepadamu, dan Kak David," jawab Arthur.     

"Tentu saja tidak, lagi pula kapan kami melakukan kekerasan kepada anak perempuan kami?" sindir Charles dan Arthur terdiam.     

"Kami memang berlaku keras kepada para anak lelaki, tapi tidak untuk anak perempuan!" tegas Charles.     

Seketika Arthur terdiam, dia sedang memikirkan matang-matang atas keputusan yang akan dia ambil.     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.