Anak Angkat

Kecemburuan



Kecemburuan

0"Mesya, mulai sekarang kamu jangan pergi kemanapun tanpa seizinku," ucap David.     

"Apa yang dikatakan oleh, David, itu benar, Mesya. Kau harus tetap berada di rumah. Karena Ibu dan Ayah bisa datang kapanpun mereka mau!" ujar Arthur.     

Memang terdengar sangat aneh karena para anak memusuhi orang tua mereka sendiri.     

Namun inilah kenyataannya. Mereka harus melawan orang tua mereka sendiri. Karena sosok yang harusnya mereka hormati serta mereka sayangi, nyatanya bukanlah orang yang tepat. Justeru sebaliknya, mereka orang yang menakutkan dan menjadi momok dalam kehidupan para anak-anaknya. Tak ada hal yang baik selain melawan, atau mereka yang akan ditindas.     

Serta tak ada lagi kata berbakti atau pun menjadi anak yang penurut seperti dulu. Semua sudah usai, seiring anak-anak mereka yang mulai tumbuh menjadi dewasa, dan mulai mengerti tentang kebenaran.     

***     

Tak lama terdengar seseorang yang sedang mengetuk pintu rumah itu.     

Tok! Tok!     

"Iya, sebentar!" sahut Mesya.     

"Biar aku saja!" kata Arthur.     

"Yasudah, kalau begitu aku akan mandi dulu, Kak!"     

"Iya!"     

***     

Arthur pun membuka pintu itu, dan seketika kedua matanya menajam, saat melihat yang mengetuk pintu adalah Salsa.     

Salsa pun juga sama, dia tampak syok saat melihat Arthur yang membukakan pintunya. Sosok yang paling ia takuti dalam hidupnya.     

Biasanya tak pernah sekalipun pria itu yang membuka pintunya. Karena semenjak mereka tinggal di sini Arthur tengah sakit, sehingga tak pernah sekalipun dia keluar dari dalam kamarnya.     

Dan sekarang dia sudah sembuh, hal ini membuat Salsa merasa tak nyaman.     

Wanita itu hampir saja memutar langkah kakinya untukeningbalkana rumah.     

Namun Arthur menghentikannya.     

"Tunggu!" teriaknya.     

Salsa menghentikan langkah kakinya sesaat.     

"Kenapa?" tanya Salsa tanpa menoleh.     

"Bisa kita bicara sebentar saja?" tanya Arthur.     

Salsa menghela nafas sesaat. Kemudian Salsa menganggukkan  kepalanya.     

Dia tidak bisa menolaknya, lagi pula Salsa tak mau menahan kebencian dan ketakutan untuk waktu yang lebih lama lagi.     

Dia harus mengakhiri semuanya—dan inilah waktu yang tepat.     

Mereka duduk di kursi yang terletak di halaman rumah.     

Dan mulai membahas permasalah yang selama bertahun-tahun mereka pendam.     

"Kamu ingin berbicara apa, Arthur?" tanya Salsa. Tetapi kedua mata wanita itu tak berani menatap wajah Arthur.     

"Aku minta maaf, Salsa," jawab Arthur.     

"...." Salsa menundukkan kepalanya.     

"Aku tidak tahu kamu mau memaafkan aku atau tidak ... karena memang kesalahanku sudah terlalu besar." Tuturnya.     

Salsa kembali menghela nafas sesaat. Barulah keluar rentetan kalimat dari bibirnya.     

"Jujur aku tak bisa melupakan apa yang telah kamu lakukan kepadaku, Arthur. Bahkan kau sudah menghancurkan hidupku. Aku sampai harus meninggalkan kehidupanku di Jakarta, dan berlari ke kota ini." Tutur Salsa.     

Arthur masih fokus mendengarkan dengan seksama,     

Kemudian Salsa melanjutkan kalimatnya.     

"Selama itu ... hidupku dihantui dengan rasa takut. Aku depresi. Bahkan untuk menyembuhkannya aku harus pergi ke psikiater."     

"Aku merasa hancur Arthur. Dan aku sangat membencimu. Kalian benar-benar sangat menyeramkan. Hanya David dan Mesya yang dapat aku percaya dari keluarga Davues, itu pun aku juga butuh waktu," ujar Salsa.     

"Salsa, apa kau—" Salsa memotong ucapan Arthur.     

"Tapi, tidak ada gunanya, 'kan? Kalau aku harus menyimpan semua ini? Bukankah kebencian dan ketakutan hanya akan membebani pikiranku?" tanya Salsa. Dan kali ini dia sudah berani menoleh, seraya menatap wajah Arthur. Hatinya merasa lega, karena akhirnya dia sudah bisa meluapkan segala perasaan yang terpendam.     

"Jadi ... apa kau mau memaafkan aku?" tanya Arthur.     

Salsa menganggukkan  kepalanya. "Iya."     

Senyuman mengembang di wajah Arthur, setelah ia mendengar pernyataan Salsa.     

Ya ... setidaknya satu beban yang ia pikul telah berkurang.     

Arthur tahu bahwa hidupnya dipenuhi demgan dosa, namun dia masih ingin hidup dan memperbaikinya.     

Salah satunya kepada Salsa. Mungkin dulu Arthur adalah sosok yang menyeramkan di mata Salsa, namun sekarang Arthur ingin menunjukkan bahwa dia hanya manusia biasa. Bukan monster yang selalu membuat orang akan ketakutan.     

Dan doa bukan lagi si peneror yang akan menghantui dan membunuh orang.     

"Kalau begitu mulai sekarang kita berteman ya, Salsa!" tukas Arthur seraya mengulurkam jari kelingkingnya kearah Salsa.     

Salsa tak langsung menyambutnya, dia terdiam sesaat dan masih ragu-ragu.     

"Kenapa?"     

"Kamu masih tidak mempercayaiku, ya?" tanya Arthur.     

Perlahan-lahan Salsa mulai tersenyum dan menyambut tangan Arthur.     

Kedua jari kelingking itu saling beradu yang melambangkan sebuah perdamaian dan pertemanan.     

Mereka saling menatap dengan bibir yang saling tersenyum.     

Namun tepat di saat itu juga Celine datang dan melihat keakraban mereka.     

Raut wajah Celine yang awalanya ceria, seketika berubah menjadi murung bercampur marah.     

Celine tampak tak menyukai kedekatan mereka, dan dia pun langsung pergi begitu saja.     

Celine merasa cemburu dan mengira jika kedekatan Arthur dengan Salsa tadi karena perasan mereka di masa lalu.     

"Celine! Tunggu!" panggil Arthur.     

Namun Celine tak peduli.     

"Astaga!" Arthur mengusap keningnya dengan kasar. Dia tampak frustasi. 'Pasti dia salah paham!' batinnya.     

"Arthur, Celine kenapa?" tanya Salsa.     

"Aku rasa dia salah paham!" jawab Arthur.     

"Salah paham?" Salsa terlihat masih bingung.     

"Tunggu!" Salsa menepuk pundak Arthur, "jangan bilang kalau kamu sudah bercerita, jika kita dulu pernah berpacaran?!" tanya Salsa memastikan.     

Arthur menghela nafas secara dan menganggukkan kepalanya.     

"Memang benar! Aku sudah menceriakannya, Salsa!" jawab Arthur.     

"Astaga! Arthur!" Salsa menepuk keningnya sendiri, "pantas saja dia marah!" ujarnya.     

Salsa pun segera memasuki rumah itu dan mengejar Celine.     

"Celine! Celine!"     

Tok! Tok! Tok!     

Salsa mengetuk pintu kamar Arthur dan Celine.     

"Celine! Buka pintunya, Celine!" .     

"Ayolah, di buka pintunya, Celine. Aku mohon ...," pintanya.     

Arthur hanya melihatnya dengan raut wajah yang kesal.     

Dia tidak mau ada pertengkaran lagi, namun kenyataannya Celine malah salah paham. Dan pertengkaran sudah pasti tak terelakkan.     

"Salsa! Maaf, ya ...," kata Arthur.     

"Kenapa minta maaf, lagi? Harusnya kamu meminta maaf kepada Celine, bukan kepadaku?" ujar Salsa.     

"Baiklah, Salsa. Kalau begitu, biar aku yang bicara dengan Celine. Kamu tunggu di luar saja," suruh Arthur.     

"Baiklah," jawab Salsa.     

"Kalau begitu biar aku panggilkan Mesya, untuk menemanimu, ya?"     

"Eh, tidak perlu Arthur. Aku pulang saja," tukas Celine.     

"Eh, tidak usah Salsa, kamu di sini saja!"     

"Tidak apa-apa, Arthur. Aku pulang saja. Aku merasa tidak enak, karena sudah membuat kalian ribut," ujar Salsa.     

"Tapi—"     

"Sudah kamu hampiri saja istrimu, Arthur. Barang kali dia butuh pelukanmu,"     

"Maafkan kami, Salsa ...."     

"Iya, tidak apa-apa, Arthur."     

Dan Salsa pun meninggalkan tempat itu.     

Kemudain Arthur mencoba mengetuk pintu kamar, untuk membujuk sang istri agar mau keluar dari dalam kamar ini.     

Tok! Tok!     

"Celine! Ayo keluar, Sayang!" panggil Arthur.     

"Celine, kumohon jangan marah ...."     

To be continued     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.