Dendam Winarsih

Merinding Disco



Merinding Disco

0Ian dan Dino langsung tancap saat tahu ada Winarsih di belakang. Mereka tak tahu kalau Paijo nyicir di belakang bersama dengan Winarsih.     

"Ian, jangan banyak gerak kau. Kau pikir aku tak takut apa? Aku merinding disco kau tahu tidak?" tanya Dino.     

"Cih, kau pikir cuma kau saja takut hahh? Siapa suruh kau mau menyelidiki masalah kematian mbak manis itu. Kau dan Nona sama-sama menyebalkan. Paijo, kau kenapa diam saja? Kau aman kan di boncengan?" tanya Ian.     

Namun, yang di tanya tidak jawab sama sekali. Ian melihat di kaca spion. Lagi-lagi dia merinding karena melihat sesuatu yang membuat dia lagi-lagi meringis ketakutan.     

"Tamat nasib kau Ian. Kau akan di gorok sama sahabat pompong si mbak manis itu," ucap Ian sambil melirik kearah kaca.     

Dino merasakan ada tangan yang melingkar ke pingangnya. Dino tak tahu kalau itu bukan Paijo.     

"Paijo, tolong kondisikan tangan kau yang dingin kayak mayat. Aku tahu kau takut, tapi tak sedingin itu," kesal Dino.     

Tangan itu makin mengeratkan pinggang Dino. Ian lagi-lagi melirik dan itu sejenis itu lah, dan yang memeluk Dino itu bukan Paijo.     

"Din ... oh Dino sahabatku yang paling ganteng. Kau melupakan sesuatu, apa kau tak merasakannya?" tanya Ian.     

Ian masih melirik kearah belakang kali ini tartik empat. Dan itu Winarsih dan entah siapa itu yang di bersama Winarsih.     

"Habislah, kali ini," cicit Ian.     

"Apa yang habis? Bensin sudah habis dan kau lihat itu, masih banyak. Kau pikir kita minum bensin si Mamang," ucap Dino.     

Dino merasakan dia makin ke depan dan dia makin merasa sepeda motornya makin berat.     

"Kau makan berapa piring tadi?" tanya Dino.     

"Kenapa? Apa kau sekarang berlaku pelit? Aku tidak rakus dan kau tahu yang rakus itu Paijo, karena dia makan sama piringnya. Makanya dia tak ada di belakang kau," kata Ian lagi.     

Dino terdiam saat mengatakan Paijo tak di belakang. Bukannya dia memeluk dirinya. Berarti yang memeluk dia tak lain tak bukan Paijo palsu dan tentunya sefrekuensi Narsih.     

Kereta yang melaju tanpa henti tiba-tiba oleng, karena mata Dino melirik ke spion dan kepinggangnya, benar sekali pikrinya. Dia Paijo palsu. Tangan itu pucat dan tentunya jarinya hitam. Lupa gunting kuku nih hantu gumam Dino.     

"Ian, mana sahabat rakusmu itu?" tanya Dino.     

Ian menggelengkan kepalanya. Kereta yang oleng kembali lagi ke jalanan. Dino tak bisa berkata apapun. Jarak masjid ke penginapan mereka tidak jauh, tapi kenapa mereka merasa berputar kayak kuda pusing.     

"Mana masjidnya Ian?" tanya Dino.     

Ian hanya diam tak bisa berkata apapun. Dia masih melirik ke spion apakah ada apa tidak. Dino melihat kearah spion juga tanpa melihat jalan raya.     

"Dia sudah pergi. Apa kita mencari Paijo Dino?" tanya Ian.     

"Iya, kita cari. Tapi kau tahu dia jatuh di mana?" tanya Dino.     

Ian mengelengkan kepalanya. Dia tak tahu pasti di mana sahabatnya itu jatuh. Tak di duga, sosok perempuan memegang golok berdiri di depan mereka. Spontan Dino mengerem dadakan.     

Cittttt!     

"Di-dia a-ada di-sana Din," Ian terbata-bata melihat Winarsih berdiri di depan mereka.     

"Mbak, eh salah Neng manis. Maafkan kami, kami mau ke masjid. Kami tak ganggu Neng kan, kami ke sini mau cari tahu siapa dia, jadi kita kerja samanya ya," kata Dino.     

"I-iya, dia akan kerja sama denganmu," kata Ian lagi.     

"Kenapa hanya aku, kau juga," kesal Dino pada Ian.     

Winarsih masih diam terpaku, dia tak beranjak dari tempat itu. Ian sudah tak tahan lagi. Dia rasanya ingin pipis di celana dan tentunya sudah tak bisa ditahan.     

"Ayo, kita pergi," kata Paijo yang baru tiba dan naik kereta dan memeluk Dino.     

Dino yang kaget karena kedatangan Paijo berteriak kencang. Ian yang kaget dengar teriakkan Dino juga ikut teriak.     

"AAAAAAAA!" teriak Dino dan Ian.     

Paijo memukul kepala kedua sahabatnya itu. Keduanya diam sesaat. Ketiganya langsung memandang kearah Winarsih yang masih betah di sana.     

"Mbak, tolong jangan ganggu kita. Kami tidak akan berbuat yang aneh dan kami hanya mau membantu mbak," kata Paijo.     

Tak lama Winarsih menghilang begitu saja. Ketiganya dapat bernapas lega.     

"Apa kita akan ke masjid? Azan isya apa sudah kedengaran?" tanya Ian.     

"Kita kesana saja. Lagian kita sudah sepakat untuk kesana, jadi kalau pun sudah telat tak apa kita kesana dan solat bersama," kata Paijo.     

Dino langsung tancap gas untuk ke masjid. lima menit ketiganya sampai di masjid. Ternyata benar, semua sudah selesai solat. Ketiganya mencuci tangan, kaki dan mengambil wudu'.     

"Kayaknya, mereka baru selesai solat masih banyak orang juga itu," kata Ian     

"Ia benar, kayaknya seperti itu. Sudah ayo kita masuk ke dalam," ajak Dino.     

Ketiganya langsung solat bersama. Suasana di masjid adem. Hembusan angin membuat siapapun yang terkena pasti akan langsung tertidur. Selesai solat, ketiganya beranjak dari masjid.     

"Kalian kemana tadi?" tanya seseorang dari belakang.     

Ketiganya yang masih takut akan kejadian tadi langsung menjerit mendengar sapaan dari Mang Jupri. Ian terduduk di lantai sangking takutnya.     

"Mang Jupri, kenapa kagetkan saya. Ya Tuhan, jantungnya mau copot Mang," ucap Ian.     

Dino dan Paijo mengelus dadanya. keduanya duduk di lantai masjid untuk menetralkan jantung mereka     

"Kenapa?" tanya Mang Dadang.     

Mang Dadang menghampiri Mang Jupri dan tiga anak muda yang sangat asing dia lihat.     

"Malam, kami dari kota Mang, saya Dino, itu Ian dan di sebelah saya Paijo. Kami ke sini karena ada sesuatu yang kami cari, dan itu penting," kata Dino.     

"Hal penting apa?" tanya Mang Dadang.     

Mang Dadang duduk bersama dengan Mang Jupri. Keduanya mendengarkan apa yang ingin di katakan sama ketiga anak kota tersebut.     

"Kami dari kota dan kami ini pencari berita. Kebetulan, kami menemukan surat kabar lama, dan tentunya kami menemukan sesuatu di sana sebuah artikel katanya pembunuham pasutri. Apa benar itu Mang?" tanya Dino dengan wajah penasaran.     

Mang Dadang melihat kearah Mang Jupri. Keduanya tak menjawab sama sekali. Mereka takut untuk membicarakan masalah ini. Ini merupakan tragedi berdarah yang sudah membuat Desa Salak di selimuti ketakutan.     

"Ceritanya panjang," kata Mang Jupri.     

"Ceritakan saja Mang, kami siap menunggu," kata Paijo.     

"Iya benar," sahut Ian.     

Ian sudah merapat kearah Dino dan Paijo. Dia takut sewaktu-waktu mbak Narsih di sebelahnya.     

"Aish! kenapa kau menempel kayak cicak sih. Jauhan dikit lah," sungut Dino.     

"Nanti saya akan ceritakan. Ayo kita pulang. Kasihan temanmu di rumah, Dia pasti menunggu kalian," kata Mang Jupri.     

Ketiganya tepuk kening, mereka lupa kalau Nona di rumah sendirian.     

"Ya sudah ayo kita pulang, Mang Jupri kita pulang bersama ya, kita beriringan saja," kata Paijo.     

Mang Jupri menganggukkan kepalanya. Dia tahu kalau sesungguhnya ketiganya pasti ketemu sama Winarsih tadi di jalan.     

"Mang, kami pulang dulu. Senang kenalan sama Mang Dadang. Kapan-kapan ajak kami muter-muter Desa ini ya!" sambung Dino.     

"Pasti kok, kalian datang saja ke rumah saya. Lagian saya sudah pensiun dari kerjaan saya. Kalian bisa saya antar keliling Desa Salak yang indah ini," kata Mang Dadang.     

Yuhuuu sahabat Hyung, maaf telat update. Thornya asam lambung jadi slow banget ya.. nih thor kasih Narsihnya semoga suka simpan di rak ya Mauliate Godang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.