Dendam Winarsih

Bunga Tidur



Bunga Tidur

0Bram terdiam di kantornya. Sejak mimpi buruk itu dia makin ketakutan, dia seperti di landa ketakutan. tapi tidak mungkin yang sudah meninggal akan gentayangan. Itu hanya bohong, dan itu tak akan terjadi di dunia ini pikirnya lagi.     

Tok tok tok!     

"Masuk," sahut Bram.     

"Tuan, sahabat anda datang," kata sekretaris Bram.     

"Suruh masuk saja, tumben pakai permisi. Biasanya mereka masuk saja," ucap Bram.     

"Kami hanya mau menghargai ketua kami," kata Diman.     

Bram berdecih karena perkataan Diman. Diman dan Deki datang berdua saja, sedangkan Deka masih belum pulang juga.     

Keduanya duduk di kursi yang berhadapan dengan Bram. Deki melihat Bram pucat seperti kurang tidur.     

"Kau kenapa Bram? Wajahmu itu seperti orang habis nganu, berapa ronde?" tanya Deki sambil terkekeh geli.     

Bram kesal karena Deki dan Diman mengejek dirinya. Dia tak tahu harus bagaimana lagi mengatakan pada kedua sahabatnya itu.     

"Jika kalian tak percaya aku tak masalah. Jika wanita Desa itu menemui kalian dan membunuh kalian, maka kalian tanggung sendiri akibatnya. Jangan ajak aku paham!" hardik Bram.     

Bram kesal, dia tak tidur karena memikirkan mimpi sialan itu. dan kenapa bisa di bermimpi itu setelah sekian lama.     

"Bram, kami tahu kau sangat gelisah. Kami juga, karena kita berempat terlibat. Tapi, yang sudah meninggal tak mungkin muncul di dunia ini. Apa yang kau alami itu hanya bunga tidur. Kadang bunga tidur ada yang baik ada juga yang nggak baik," ucap Diman lagi.     

Bram terdiam mendengarkan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu.     

"Tapi, ini nyata. aku bertemu perempuan itu, dan wajahnya sangat mirip. Kalau kalian tak percaya ya sudah, aku tak maksa untuk kalian percaya," ucap Bram lagi.     

Bram ingat saat dia melihat wajah wanita yang dia jumpai saat dia memakan bubur ayam itu. Dan wajahnya sangat mirip malah seperti kembar.     

"Kita harus cari tahu dia. Kau ingat pertama kali jumpa dia dimana. Dan kau harus berusaha buat dekatin dia. Cari tahu siapa dia dan jika perlu, buat dia jatuh cinta padamu. Sekarang usia tak menjamin, yang penting uang dan tentunya ranjang yang berbicara," ucap Diman.     

"Setelah aku tahu dia bukan wanita sialan itu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Bram.     

"Bram, ayo lah, jangan jadi lelaki tua alot. Kau tidak pernah merasakan surga dunia? Jika kau menginginkannya jadi kan dia budak nafsumu, kau bilang dia itu mirip seperti wanita itu, jadi manfaatkan dia. Anggap saja kau tidak mengenalnya. Jika kau sudah bosan baru kau eksekusi dia," kata Deki.     

"Bunuh maksudnya?" tanya Bram.     

Keduanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Bram yang melihatnya juga ikutan tersenyum.     

"Tapi, jika kau cinta beda cerita. Apa kau sanggup lihat wanita itu mirip seperti gadis Desa itu. Yang sok jual mahal, tapi di ranjang dia sangat menggelora," ucap Diman.     

Keduanya tertawa mendengar perkataan Diman. Diman ikut tertawa bersama sahabatnya itu. Aku harus mencari wanita itu. aku mau pastikan kalau dia bukan keluarga gadis Desa itu. Gadis yang sok jual mahal itu.     

***     

"Dino, kira-kira, si Nona aman nggak ya?" tanya Paijo.     

Ketiganya pulang bersama dengan Mang Jupri. Kereta yang mereka pinjam harus pelan karena mengikuti kereta angin atau sepada Mang Jupri.     

"Hust, jangan berisik. Bentar lagi melewati jalan yang tadi," tegur Ian.     

Kringg ... kringg!     

Mang Jupri membunyikan bel sepedanya. Mang Jupri melihat kearah ketiga pemuda kota itu.     

"Bunyikan, sebagai syarat kita permisi, biar tak di ganggu, kata orang tua dulu," ucap Mang Jupri sambil berlalu meninggalkan ketiganya.     

Dino, Ian dan Paijo gugup, Ian yang duduk di depan ikut mengklason kereta Mang Jupri agar tak terjadi seperti tadi.     

Tin tin tin!     

Ketiganya lega karena mereka aman dari gangguan tadi. Ketiganya baru tahu akan hal itu. Mungkin sebagian orang, menganggapnya sepele, namun yang namanya kepercayaan suatu kelompok atau daerah harus tetap di jaga.     

"Ian, kamu ini tidur pula, turun cepat udah sampai," kata Dino.     

"Paijo, ayo temani aku antar kereta ini dan kau Ian masuk jumpai Nona. Aku khawatir sama dia," kata Dino.     

"Cieee, uhuyy! Khawatir nih ye! Akang ada Neng sayang Akang," goda Ian.     

Paijo tertawa melihat Dino yang sudah tersenyum kecil karena godaan dari temannya.     

"Sudah sana, jangan buat Nona ketakutan," kata Dino.     

Dino meninggalkan kedua sahabatnya. Dia memutuskan untuk mengantar sendiri kereta Mang Jupri. Ian dan Paijo tertawa melihat Dino yang malu-malu.     

"Kawan kamu tuh," ucap Paijo.     

"Kalau kayak gitu kawan aku, kalau bagusan dikit kawan kamu, curang lo," ucap Ian.     

Ian membuka kunci rumah yang mereka tempati. Terlihat suasana gelap gulita.     

"Nona ini, manusia kota apa manusia goa. Gelap benar ini rumah, apa Mang Jupri tak bayar listrik kali ya," cicit Ian.     

"Ia kau benar Ian. Lihat lah gelap kali. Coba kau raba dinding itu," ucap Paijo.     

"Kalau aku raba sesuatu bagaimana?" tanya Ian.     

Ian mulai mendekati dinding dan meraba sedikit demi sedikit. "Mana saklar ini, apa dia sedang memadu kasih," gumam Ian.     

Paijo tak habis pikir kenapa tak ada sedikitpun cahaya. Apa Nona tipe cewek hemat tapi pelit.     

"Jo, aku kok nemu basah-basah ya, dan lengket, bau amis lagi ini dinding," kata Ian.     

"Mungkin, cicak sedang tabrakan dan banyak korban," jawab sekenaknya Paijo.     

Ian mulai merinding, dia memegang bagian wajah, dia tahu bagian apa saja dari wajah itu. dan tentunya membuat dia merinding.     

"Jo, kali ini bukan cicak, mana ada cicak yang punya hidung kayak manusia, dan sejuk lagi ini kulit cicak," kata Ian.     

Paijo yang dari tadi mendengar rengekkan Ian mulai kesal, dia akhirnya membantu Ian. Dia ambil ponsel kotak kecil yang hanya ada senter saja. Paijo mengarahkan ke tempat yang Ian katakan tadi.     

Keduanya terdiam sesaat saat senter itu mengarah kearah yang Ian katakan. Mimpi apa mereka melihat Winarsih di depannya.     

"Mb-mbak, ap-apa kabarnya?" tanya Paijo.     

"Dia baik Paijo, jangan kau tanya lagi. Lebih baik tanya, dimana saklarnya. Dan tanyakan kenapa lampunya padam," kata Ian lagi.     

Paijo menelan salivanya, karena Winarsih sudah menancapkan goloknya ke dinding. Ian dengan kurang sopannya mengelap tangannya yang ada sisa darah ke baju Winarsih.     

"Kau kenapa lap tanganmu ke tubuhnya. Kau lihat dia marah, kau mau pulang ke kota pisah badan. Dan di berita depan, pemuda jelek pulang dari Desa Salak harus pisah badan akibat di tebas sama Mbak manis karena mengelap ke baju Mbak manis ini," kata Paijo.     

Ian tersenyum karena kelakuannya. Dia menatap Winarsih dengan tersenyum kecut.     

"Permisi Mbak manis, saklarnya ada dibelakang Mbak manis itu. Jangan terlalu dekat, nanti kesentrum. Kan repot kalau kesentrum, makin kusut tuh rambut," cicit Paijo.     

Paijo akhirnya berusaha untuk mendekati Winarsih. Tak lama Dino datang dan menepuk pundak keduanya.     

Pok!     

"Kok gelap?" tanya Dino.     

Hay sahabat Hyung singgah yuk jangan lupa komen dan kasih komentar kalian ya.. Mauliate Godang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.