Dendam Winarsih

Cinta dan Dendam



Cinta dan Dendam

0Kedatangan tamu dari kota di sambut hangat sama Abah.     

"Silahkan masuk rumah Abah sangat jelek," kata Abah lagi.     

Abah memperbaiki alat bantu telinganya. Dari dulu Abah kurang pendengaran begitu juga dengan Mak, makanya saat terjadi hal itu Mak hanya dengar samar-samar.     

"Neng Nona, kapan datangnya?" tanya Mak yang baru keluar dari kamar.     

Dino melihat letak kamar depan sama kamar kedua jauh. Untuk mendengar jeritan Narsih tidak begitu dengar jelas walaupun akan terdengar juga sedikit tapi kondisi Abahnya yang sedkit kurang pendengarnya membuat mereka tak tahu kejadian sebenarnya.     

"Kami masih baru mak di sini, masih hitungan hari Mak. Kami datang ke sini mau mencari tahu cerita lengkap tentang meninggalnya anak Mak dan Abah. Walaupun kami sudah lihat langsung dari tv tadi malam, tapi kami mau detail lengkapnya. Dan kami mau tahu, ada pemuda kota yang ke sini Mak, Abah saat kejadian itu?" tanya Dino.     

Abah dan Mak terdiam sesaat mendengar pertanyaan Dino. Keduanya saling pandang satu sama lain.     

"Kata orang sini ada anak kota yang datang, tapi Mak dan Abah tak tahu siapa, yang kami tahu itu dia orang kaya," kata Abah.     

Dino merekam semua yang di bicarakan sama Abah dan Mak. Mereka menceritakan bagaimana Narsih bertemu dengan Joko suaminya dan terjadi peristiwa itu.     

"Bentar dulu, aku pernah liput berita tentang seorang pengusaha kaya, tapi aku tak tahu apakah itu dia. Karena dia begitu di jaga ketat," kata Paijo.     

"Namanya Bram bukan Mak?" tanya Paijo lagi.     

"Iya, dia pernah di sini, dan dia ada vila di sini. Sejak kejadian itu dia tak pernah ke sini," kata Mang Jupri.     

"Mak, hanya dengar namanya saja, orangnya tak tahu," kata Mak.     

"Abah juga. Abah sering ke masjid, jadi Abah hanya tahu nama saja," kata Abah lagi.     

"Jadi bisa saja, si Bram itu cinta sama Narsih, tapi karena Narsih sudah kadung menikah jadi dia dendam, dan membunuh dia. Soalnya, kalau dari cerita Mang Jupri, anak kota tak boleh terlalu lama di sini dan banyak anak muda sini juga takut tinggal di sini karena sesuatu hal yaitu teror Winarsih," kata Dino lagi.     

"Si Neng tidak jahat. Neng baik. Neng tak mungkin menteror warganya. Itu hanya bohong," kata Abah dengan wajah sendu.     

Nona tertunduk dan menangis dengan lirih. Semua orang yang di dekatnya mulai ketakutan dan merapat. Mereka takut kejadian itu terjadi lagi.     

"Kok aroma melatinya muncul ya," bisik Ian pada Paijo.     

"Iya, padahal masih terang ya," kata Paijo.     

Tiba-tiba langit yang cerah berubah gelap gulita, petir dan kilat saling bersahutan.     

"Wah, ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi gelap dan sepertinya mau hujan," kata Ian.     

"Ini bukan mau hujan lagi, tapi memang sudah hujan," kata Paijo.     

Duarrrr!     

Suara petir menggelegar seiring tangisan Nona yang sangat menyayat hati. Mak dan Abah yang mendengarnya ikut menangis, mereka tahu kalau itu suara Narsih.     

"Nak, kamu kah itu?" tanya Mak pada Nona yang sedang kerasukan arwah Winarsih.     

Kepala Nona menganggukkan kepalanya. Dia tak menjawab apapun, dia hanya menangis saja. Dino yang melihatnya juga ikut sedih. mungkin Narsih sedih melihat Mak dan Abahnya.     

"Nak, sudahlah jangan buat teror lagi, kamu tenang lah di sana, Abah dan Mak akan mendoakan kamu selalu, jadi Abah mohon, jangan lagi. Biarkan lelaki jahat itu mendapatkan hukuman dari Tuhan Neng," kata Abah lagi.     

"Mak sayang Neng, Mak sayang sekali, tolong jangan buat orang membenci Neng," kata Mak lagi.     

Tak berselang lama, Nona pingsan dan langsung ditangkap Dino. Ya Tuhan, Nona hei Nona bangun," Dino menepuk pipi Nona dengan pelan.     

"Mak ada minyak angin?" tanya Dino.     

"Ada, bentar Mak ambilkan dulu," Mak bangun dari kursi menuju kamar.     

Mak masih menghapus sisa air matanya. Selama ini dia tak bisa lagi bertemu dengan anaknya yang sudah tiada, tapi dia bisa bertemu dengan cara seperti ini sudah cukup walaupun hanya sekedar arwah Winarsih atau arwah lain, yang penting Mak udah lega bisa mengeluarkan isi hatinya.     

Tak berapa lama, Mak datang dan memberikan minyak angin. Dino mengambil minyak angin dan mengoleskan di hidung Nona. Sambil menepuk pipi Nona, agar Nona sadar.     

"Euhhmm, Dino. Kepalaku sakit sekali Dino," ucap Nona.     

Dino melihat wajah pucat Nona, badannya juga panas. "Nona sakit, badannya panas," kata Dino.     

Ian dan Paijo memegang tangan dan kening Nona yang panas. "Ayo cepat kita bawa dia ke rumah sakit terdekat saja. Abah, Mak kami pergi dulu, dan maafkan kedatangan kami membuat Mak dan Abah terganggu," kata Paijo.     

"Tidak, kami malah berterima kasih karena bisa membuat kami lega. Selama ini banyak yang menyalahkan anak kami, dan sekarang kami harap Narsih tidak mengganggu lagi," kata Abah.     

"Semoga ya Abah. Kalau gitu kami pamit mau bawa Nona ke rumah sakit. Ayo Mang, Ian bawa semuanya," kata Paijo.     

Mereka akhirnya pergi dari rumah Abah dan Mak Narsih menuju rumah sakit. Tak berapa lama Nona langsung di tangani.     

"Aku tak menyangka cinta dan dendam itu beda tipis. Makanya aku tidak mau jatuh cinta sama cewek terlalu dalam," kata Ian.     

Mereka duduk di bangku sambil menunggu dokter keluar dari IGD. Dengan setia mereka menunggu dokter keluar, akhirnya dokter keluar dan menemui mereka.     

"Keluarga pasien?" tanya dokter lagi.     

"Iya kami dokter. Bagaimana dengan Nona sahabat kami?" tanya Dino.     

"Dia cuma kelelahan, jangan buat dia lelah pikiran. Takutnya dia stres dan berakibat fatal untuk dia," kata dokter lagi.     

"Baik dokter," jawab Dino.     

"Dia akan dirawat di sini dulu, nanti tiga atau empat hari dia baru boleh pulang," kata dokter lagi.     

"Baik, siapkan kamar yang nyaman untuk Nona, nanti saya akan selesaikan administrasinya," kata Dino.     

Dokter menganggukkan kepalanya. Dokter pergi dari hadapan mereka. "Kalian tunggu di sini, aku akan bayar biaya kamar Nona," kata Dino.     

"Iya, kami akan tunggu kamu, cepat sedikit," kata Ian.     

Ketiganya menunggu Dino bayar biaya rumah sakit. Tak berselang lama, Dino datang dan meminta suster membawa ke ruangan yang sudah dia pesan.     

"Mas, kalau pasien sudah sadar silahkan panggil kami ya," kata suster lagi.     

"Iya suster, terima kasih," kata Dino.     

Mereka duduk di bangku yang tersedia. "Kalian bisa antar Mang Jupri sekalian bawakan tas Nona, minta tolong sama Bibi Sum untuk siapkan baju Nona dan bajuku," kata Dino.     

"Mau jaga dia?" tanya Ian.     

"Ia, kasihan dia sendiri di sini. Kalian di sana saja," kata Dino.     

"Nggak, kami mau di sini juga," kata Ian.     

"Ya sudah, antar Mang Jupri dulu. Mang kami akan jaga Nona, tak apa kan? Untuk bayaran tetap full kami bayar," kata Dino.     

"Jangan pikirkan itu, yang penting teman kalian sehat. Mang akan bawakan makanan untuk kalian nanti, jadi jangan jajan di luar," kata Mang Jupri.     

"Terima Kasih Mang," ucap ketiganya.     

Ian, Paijo dan Mang Jupri pergi dari kamar Nona untuk membawa baju mereka ke rumah sakit sambil membawa bekal untuk makan siang dan malam. Ketiganya bergerak menuju parkiran mobil Dino dan melaju menuju tempat mereka menginap.     

Hay sahabat Hyung, masih betah tah.. kalau iya syukur lah.. yuk simpan di rak kalian, kasih komentar kalian ya, Mauliate Godang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.