Dendam Winarsih

Siapa Pelakunya



Siapa Pelakunya

0Paginya Bram sudah bangun, dia aman karena semalam dia tak di ganggu dan dia tak menyangka bisa aman dari gangguan Winarsih.     

"Apa dia sudah tak mau lagi menakuti aku? Dasar Winarsih bodoh. Kau tak mungkin bisa membunuh kami. Lihat saja aku akan melawanmu," kata Bram.     

Bram keluar dan pergi dari rumahnya, dia tak sarapan. Dia sengaja mau ke warung itu untuk menunggu Nona. Dia mau membawa Nona dalam kuasanya agar bisa membuat orang yang bersama Nona berhenti mencari tahu siapa pelakunya.     

"Kita mau ke tempat biasa pak?" tanya supir lagi.     

"Iya, saya mau ke sana. Cepat ya, jangan lama sekali," ucap Bram dengan penuh harap agar Nona beli sarapan.     

Sampai di warung, Bram menunggu di dalam mobil, dia tak mau menunggu di luar. Dari kejauhan saja melihat Nona, tapi yang di tunggu tak datang juga.     

"Baiklah, aku akan tunggu lima menit lagi. habis itu aku akan ke rumah sakit untuk melihat Deka," gumamnya.     

Lima menit tak juga ada kabar berarti, Bram sudah mulai murka, dia seperti orang bodoh karena menunggu Nona yang tak kunjung datang juga.     

"Kita pergi sekarang, kita ke rumah sakit dulu baru setelah itu kita ke kantor," Bram langsung memerintahkan supirnya untuk ke rumah sakit untuk melihat Deka.     

Sampai rumah sakit, Bram langsung menuju meja respsionis untuk menanyakan keberadaan korban pembacokkan tadi malam.     

"Permisi saya mau tanya, apakah ada korban pembacokkan apartemen tadi malam masuk ke sini?" tanya Bram lagi.     

"Iya bentar ya saya cari dulu," jawab admin resepsionis itu.     

Resepsionis itu mencari korban yang di maksud Bram. Resepsionis itu memandang Bram.     

"Ada Pak, di ruangan ICU, lantai 4 ya," kata resepsionis itu lagi.     

Bram langsung pergi menuju kamar ICU di lantai 4.Dia tak menunggu lama lagi, dia harus segera bertemu dengan sahabatnya itu dan menanyakan siapa pelakunya.     

Ting!     

Pintu lift terbuka, Bram langsung masu ke dalam dan menekan tombol lantai 4 ruang ICU. Lima menit Bram pun sampai di lantai empat ruang ICU.     

Ting!     

Bram melangkahkan kakinya keluar dan melihat ada tiga sahabatnya menunggu di depan bersama istri Deka.     

"Maaf, aku baru datang," sapa Bram pada ketiga sahabatnya itu.     

Keduanya melihat Bram dengan wajah pucat dan tentunya ketakutan. Bram melihat istri Deka yang hanya duduk lesu di kursi ujung sama beberapa anggota keluarganya.     

"Aku ke sana dulu," ucap Bram.     

Bram bangun dan berjalan menuju ke istri Deka. Keduanya hanya diam terpaku saja. Tak berapa lama Bram duduk kembali bersama sahabatnya itu     

"Kenapa? Siapa pelakunya?" tanya Bram dengan wajah penasaran.     

Bram berharap itu bukan Narsih. Karena kalau benar dia berarti habis ganggu dirinya, Narsih pasti ke apartemen Deka.     

"Polisi tak tahu siapa, dan belum ada yang tahu. Cuma tadi polisi bilang kalau ada suara wanita tertawa, dan kau tahu yang kami maksud kan Bram?" tanya Deki.     

Bram tahu siapa yang sahabatnya maksud kan. Bram menghela nafas panjang dan tetunduk. Dia mengacak rambutnya dengan kasar. Dia tak menyangka kalau sesungguhnya dia akan di ikuti setelah kejadian yang boleh di katakan sudah cukup lama.     

"Kita sekarang jadi incaran dia. Aku tak mau setelah ini giliran kami Bram. Kamu takut, lebih baik kita menyerah saja, dan mengakui apa yang terjadi, aku tak mau diikuti sama dia," sambung Diman.     

"Hei! Kau pikir aku mau? Tadi malam aku juga di datangin dia, kau pikir aku tidak di teror hmm? Aku juga di teror sama dia," kesal Bram.     

"Kau pantas di teror karena kau pelakunya, bukan aku, Deki dan Deka. Tapi kau pelakunya Bram! KAU!" sentak Diman dengan suara penuh penekanan di akhir kalimat.     

Bram mengepalkan tangannya. kenapa harus dia di limpahkan. Bukannya mereka yang kasih ide waktu itu.     

"Kalian kan yang kasih ide, bukan aku," ucap Bram     

"Iya kami, tapi tidak sampai menghilangkan nyawa keduanya. Kau yang menghilangkan nyawanya. Jadi kami ikut saja," jawab Diman.     

Keduanya sudah tak tahan dengan keadaan yang terjadi. Saling tuduh menuduh itu yang terjadi.     

"Sudah, kita jangan bertengkar. Kita bisa mengikuti cara Deka. Kita cari dukun dan minta tangkal sama dukun itu. Untuk berjaga-jaga dari wanita itu," jawab Deki lagi pada kedua sahabatnya.     

"Apa kau pikir bisa berhasil? Lihat Deka, dia yang kasih ide, dia juga yang kena bacok sama wanita itu, jika terjadi pada kita bagaimana?" tanya Diman.     

Deki makin kesal sama pertanyaan Diman. Apa dia pikir dia tak takut juga apa. "Kau pikir kau saja yang takut Dim? Kami juga takut, paling nggak kita bisa ke sana dulu, dan kita minta tolong, jika sekiranya bisa maka kita akan terbebas dari dia dan dia bisa kita musnahkan," kata Deki lagi.     

"Deki benar Diman. Kita bisa minta dukun itu musnahkan dia, dia hanya hantu, derjatnya rendah dari kita," jawab Bram lagi.     

Diman hanya mencibir perkataaan keduanya. Dia tahu kalau wanita itu pasti bisa menghabisi mereka satu persatu dan tentunya pasti membuat dirinya akan tewas di tangan wanita itu.     

"Kapan kita perginya?" tanya Bram lagi.     

"Aku tak tahu jadwal dukun kapan, hanya Deka yang tahu," kata Deki lagi.     

"Kita pergi sekarang saja, apa nanti malam?" tanya Bram.     

Keduanya melihat kearah Bram, apa dia tak salah apa? Kenapa harus malam kalau ada siang hari.     

"Kita pergi hari ini saja, kalau malam aku tak mau bertemu dengan wanita itu," ucap Deki lagi.     

"Aku juga, kalau malam kemungkinan besar dia akan kembali menghantui kita," kata Diman.     

Bram juga setuju, paling tidak dia aman dari wanita itu dan tak di ganggu malam harinya.     

"Ayo kita pergi sekarang. Kita naik mobil satu saja. Tapi kau tahu alamatnya kan? Jika nggak percuma," kata Bram.     

"Deka ada kirim alamatnya, dia arah luar kota, tepatnya Desa Kemuning, belum sampai Desa Salak, Desa yang mau kita datangi itu lebih duluan dari Desa salak," kata Deki.     

"Aku pun tak mau ke sana lagi. Seumur hidupku tak bakalan ke sana lagi," ucap Diman.     

Keduanya juga menganggukkan kepalanya. Mereka tak mau ke sana lagi. Kalau ke sana bisa hantar nyawa pikir keduanya.     

Bram dan kedua sahabatnya permisi sama istri Deka. Mereka juga melihat Deka dari kaca yang membatasi antara Deka dan mereka.     

"Kau tenang saja Deka, kami akan pergi ke sana dan membawa jimat untuk penangkal Winarsih. Bertahanlah sobat," ucap Bram lagi.     

Setelah itu, Bram dan keduanya langsung pergi dari rumah sakit menuju desa yang mereka tuju. Bram meminta supirnya untuk pulang, karena dia akan pergi bersama temannya.     

"Apa tempatnya jauh?" tanya Diman.     

Ketiganya sudah masuk dalam mobil dan bergerak menuju Desa kemuning itu.     

"Aku rasa sedikit jauh, tapi tidak sejauh Desa wanita itu," kata Deki.     

"Jangan kau sebut dia di sini dan jangan buat aku kehilangan mood. Lebih baik jangan bicarakan wanita sialan itu," ucap Diman.     

Bram hanya diam, dia tak tahu kenapa dia harus ikut saja ke sana. Padahal dia sama sekali percaya akan hal itu, tapi karena dirinya di teror terus-terusan apa yang boleh dia katakan lagi, selain ikut juga pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.