Dendam Winarsih

Pengintaian 2



Pengintaian 2

0Mamang dan Ian menunggu di mobil dan tentunya keduanya menunggu Bram dan temannya untuk keluar dan pergi ketempat dukun itu. Ian menghela nafasnya berkali-kali tapi tidak ada juga tanda-tanda kedatangan dari Bram.     

"Mang, lama sekali ya. Apa yang mereka perbuat di sana Mang? Apa mereka tidak jadi pergi atau apa ya? Kita sudah berjam-jam di sini. Dan ini sudah jam sepuluh, jika jarak tempuh kita ke sana jauh bisa malam kita sampai di tempat dukun itu," jawab Ian lagi.     

Mamang menepuk pundak Ian. "Sabar, kita tidak mungkin pergi berdua. Bahaya jika kita pergi berdua, yang ada kita bisa melayang ke alam baka. Dan kamu tahu kan ini tidak mudah. Tunggu Dino dan paijo saja dulu," sambung mamang lagi.     

Drt ... drt ...     

Mamang melihat ponselnya yang berdering, panggilan masuk dari Dino. "Halo assalamualaikum Dino, kalian sudah dimana?" tanya Mamang Dadang.     

"Halo Mamang, waalaikumsalam. Mang dimana? Kami sudah sampai di seberang kantor teman Bram. Kalian dimananya?" tanya Dino.     

Mamang melihat ke arah seberang dan benar saja, ada Dino dan Paijo yang sedang berdiri dekat pohon di seberang. "Kami di seberang jalan, coba lihat di depan." Mamang Dadang keluar dari mobil dan melambaikan tangannya.     

Dino yang melihat Mamang Dadang langsung menuju ke seberang. Mamang masuk ke mobil di susul oleh Dino dan Paijo. Dino dan Paijo duduk di belakang sambil memperhatikan sekeliling.     

"Belum ada tanda dia mau bergerak ke rumah dukun itu ya?" tanya Dino.     

Ian menggelengkan kepalanya, dia sudah suntuk menunggu ketiganya keluar. "Belum, kami saja lelah menunggunya. Mana Nona? Apa dia tidak ikut sekalian sama kita?" tanya Ian.     

Dino menggelengkan kepalanya. "Tidak ikut, aku minta dia di rumah saja. Kata dia tadi anak buah Bram mengikuti dia sampai kantor. Jadi sulit untuk dia keluar bersama kita. Aku sudah minta dia waspada." Dino melihat ke arah kantor teman Bram.     

Di tempat lain Bram dan kedua sahabatnya duduk memperhatikan Deka yang terbaring di kamar ICU. "Bram, bagaimana kita mau ke rumah dukun itu. Dia mengatakan kita harus ke sana. Karena dia sudah membawa jasad wanita itu," jawab Deki.     

Bram menghela nafas panjangnya. "Dia hebat juga bisa bawa jasad itu. Untuk apa dia bawa itu. Apa berguna untuk kita?" tanya Bram lagi.     

"Iya, jika tidak berguna maka kita akan dibunuh langsung oleh Narsih. Dia pasti sedang mengawasi kita. Dia pasti meminta jasadnya. Bukannya kalian merasa hal ini akan membuat dendam Winarsih sama kita makin membuncah," sambung Diman.     

Bram dan Deki terdiam mendengar apa yang Diman katakan. Dia tahu kalau Narsih tidak akan pernah membiarkan jasadnya diambil orang, apa lagi untuk hal yang berhubungan dengan mistis.     

"Diman benar, karena kita tidak tahu jika sesungguhnya dendam Winarsih ke kita makin besar. dia akan mengira kita yang memintanya," jawab Bram dengan lemah.     

Deki tertunduk lesu, dia juga takut jika dendam Winarsih makin besar pada dia. "Jadi kita harus apa sekarang? Apa kalian tidak mau datang? Kita ke sana dulu, kita cari tahu dia mau apa, jika tidak sesuai kita jangan terus kan. Kita juga sudah ada jimat ini. Paling tidak untuk saat ini aman," kata Deki.     

"Iya, untuk saat ini. Tapi tidak untuk selanjutnya. Makanya kita jangan cari masalah lagi." Diman sudah pasrah apapun yang terjadi.     

Deki memandang Bram dengan tatapan penuh harap akan ke rumah dukun itu. "Aku ada metting, nanti aku ke kantor Diman. Kita jumpa di sana saja. Kita bahas di sana saja, sekalian kita putuskan sekarang," jawab Bram.     

Keduanya menganggukkan kepalanya. ketiganya akhirnya pulang dari rumah sakit. Setengah jam kemudian Deki dan Bram datang ke kantor Diman. Mereka masih membahas apa yang mereka bahas di rumah sakit tadi.     

"Jadi, bagaimana Bram? Apa kita jadi ke sana? Kita lihat dulu apa yang terjadi. Dukun itu menanyakan apakah kita datang atau tidak," ujar Deki.     

Bram dan Diman saling pandang satu sama lain. "Aku sudah katakan Bram, Deki. Kita datang ke makamnya dan minta maaf ke dia, juga kita jumpai ke dua orang tuanya, kita minta maaf setelah itu, kita kasih uang duka selesai. Aku yakin mereka akan menerimanya. itu sudah lama, Mana mungkin mereka menuntut kita," ucap Diman lagi.     

"Itu cari mati. kita akan di penjara, apa kamu mau? Dan kalau di penjara itu tidak masalah, tapi jika dia masih menghantui kita bagaimana dan membunuh kita di dalam sel kamu mau?" tanya Deki.     

Bram masih diam dan tidak berkata apapun. "Baiklah, kita ke sana. Jika tidak ada yang sesuai dengan kita pulang." Bram memutuskan pergi ke rumah dukun itu.     

Di parkiran, Dino dan lainnya masih menunggu. Ponsel Dino bergetar, terlihat mang Jupri menelpon dirinya.     

Drt ... drt ...     

"Halo Mang Jupri, assalamualaikum." sapa Dino.     

"Halo Dino waalaikumsalam. Ada kabar baru ini, kamu tahu tidak, jasad Narsih dibongkar orang Dino. Gawat, pasti itu dukun yang Bram suruh," jawab Mamang.     

"Kami sudah tahu mang, tadi malam Narsih menganggu kami sampai subuh, ini kami sedang mengawasi Bram dan temannya. Kami mau tahu rumah dukun itu. Kita belum tahu apa Bram yang minta atau emang dukun itu yang mau ambil jasad Narsih. Makanya kami di luar ini, nanti kami kabari mamang," jawab Dino lagi.     

"Baik, kalian hati-hati. jangan sampai ketahuan ya, mamang menunggu kabar dari kalian. Abah dan mak Narsih pingsan ini. Kami mau mengurus keduanya," jawab mang Jupri.     

"Baik mang." Dino mengakhiri panggilan dia dengan mang Jupri.     

Dino memasukkan ponselnya di dalam kantong. Dino mengacak rambutnya setelah mendengar apa yang mamang Jupri katakan. Ian dan Paijo saling pandang satu sama lain.     

"Apa mang Jupri mengatakan pembongkaran makan mbak manis Dino?" tanya Paijo lagi.     

Dino mengangguk kepala dengan pelan. Helaan nafas terdengar kasar dari mulut Dino. "Mereka sedang mencari jasad Narsih. Dan orang tuanya pingsan, sekarang mereka sedang di rawat oleh warga sana," jawab Dino.     

Ian dan Paijo juga Mamang hanya bisa memasang raut wajah sedih. ternyata bukan hanya Narsih yang sedih dan mengamuk semalaman, tapi kedua orang tuanya juga sedih sampai pingsan.     

"Kita lanjutkan pengintaian kita ini Dino. Kita harus ambil jasad itu. Kita tidak boleh buat dukun itu memanfaatkan jasad Narsih untuk ilmunya. Kita harus segera pergi," ucap Paijo lagi.     

Dino mengangguk pelan, dia akan segera mendapatkan jasad Narsih apapun yang terjadi. Karena dia tidak mungkin membiarkan jasad itu dimanfaatkan oleh orang yang tidak punya hati.     

"Apa dendam Winarsih sama ketiganya makin kuat ya Dino?" tanya Ian lagi dengan suara lirih.     

Dino menggeleng dengan cepat, dia tidak tahu apakah dendam Winarsih akan kuat atau tidak. "Yang tahu itu Narsih, kita tidak tahu sama sekali Ian. Kita berharap ketiganya tobat dan mengakui kesalahan dia." mang Dadang menatap ke arah perusahaan Bram. Terlihat Bram dan temannya keluar dari perusahaan itu. Mang Dadang menunjuk ke arah kantor teman Bram.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.