Dendam Winarsih

Jimat Pelindung



Jimat Pelindung

0Dino dan temannya menunggu jawaban dari Mang Jupri. Mang Jupri minum kopi hitam buatan istrinya.     

Ian menatap kearah Mang Jupri. "Apa Mamang masih tetap minum tanpa menjelaskan maksud ke kami?" tanya Ian.     

Ian mulai gemes karena Mang Jupri hanya minum saja. Mang Jupri terkekeh melihat ian yang kesal.     

"Jimat pelindung," kata Mang Jupri.     

Semua melihat kearah Mang jupri. Dan tentunya saling pandang. "Bentar Mang, tanah kuburan untuk pelindung apa? Apa ada yang melakukan hal itu?" tanya Paijo.     

Mang Dadang menganggukkan kepalanya. "Ada, itu kegunanya pelindung dari hal yang tidak kita inginkan. Nah, salah satunya mungkin dari arwah Narsih," kata Mang Dadang.     

Dino dan ketiga sahabatnya mencari tahu dari Mang Jupri. "Benar kata Mang Dadang. Dan itu benar adanya. Mungkin yang meninggal itu dukun dan meminta pembunuhan Narsih mengambil tanah itu," kata Mang Jupri.     

Gubrakkk!     

Semuanya kaget karena mendengar sesuatu yang jatuh dengan cukup keras. "Apa itu Mang? Apa itu bom?" tanya Ian.     

Paijo menggelengkan kepalanya. Dia juga tak tahu apa yang jatuh. "Aku tak tahu apa itu," ucap Paijo. Mang Dadang dan Mang Jupri menggelengkan kepalanya, dia juga tidak tahu apa itu.     

Tercium aroma bunga melati dan membuat yang di ruangan rumah Mang Jupri saling pandang.     

"Dia datang," kata Ian dengan berbisik.     

"Sudah malam, dan dia sudah datang," bisik Paijo lagi.     

Mang Jupri dan Mang Dadang diam tak berkata apapun. Bik Sumi dan Nona saling berpegangan. Namun, lama-lama aroma itu hilang.     

"Dia nggak jadi datang, mungkin dia lelah menakuti kita. Jadi makanya dia pergi begitu saja," cicit Ian.     

Namun, Ian tak tahu kalau Narsih di sebelah dirinya. Dino dan Paijo bergeser menjauhi Ian. Mang Jupri mau pun Mang Dadang juga ikut bergeser.     

Ian yang tahu menelan salivanya. Dia tahu kalau mereka menjauhi dirinya karena apa. Dan aroma itu tercium Ian dan sangat dekat dengan dirinya.     

Keringat dingin bercucuran di kening Ian. angin yang berhembus membuat rambut Winarsih bertebrangan ke arah wajah Ian.     

"Mbak manis, apa kabar? Sudah lama kita tak ketemu dan sudah lama tak bercanda," kata Ian lagi.     

Ian di tinggal berdua di kursi berdua sama Narsih. Sedangkan yang lain sudah saling berkumpul. Ian tertawa garing melihat temannya berkumpul jadi satu sedangkan dia terpisah dan malah duduk manis bersama dengan Winarsih.     

"Mbak, saya nggak ambil tanah kuburan mbak, percaya deh. Saya kan sayang Mbak, jika tidak mana mungkin kami membantu mbak. Tapi yang lebih sayang Mbak itu Dino dan Paijo, saya sayangnya cuma beberapa persen saja," kata Ian lagi.     

Narsih menangis dengan sendu. Dia menangis meluapkan rasa sedihnya. Semua yang mendengarnya ikut merinding. Tangisan Winarsih bukannya membuat mereka sedih tapi lebih merinding.     

"Aku mau tanahku kembali. Kembali kan segera padaku, aku mohon," ucap Winarsih dengan suara lirih.     

Mereka yang berada di ruangan itu ikutan sedih. Winarsih mengungkapkan isi hatinya. Dia juga sudah menghilang dari hadapan mereka.     

"Kita harus apa sekarang. Kita tidak bisa mendekati mereka. Apa kita harus buat Nona yang maju dan mengambil tanah itu dari tangan lelaki itu," ucap Dino.     

Nona memandang semua orang. "Jika memang seperti itu kenapa tidak, aku akan buat dia mengakui kejahatannya," kata Nona lagi.     

Dino menatap kearah Nona. Dia tidak rela kalau Nona akan dibunuh juga dan akan membuat dia bernasib sama dengan Winarsih.     

Dino menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tak izinkan kamu. Dia itu sadis. Winarsih saja meninggal dibunuh dengan sadis, juga suaminya. Apa kau mau seperti itu juga?" tanya Dino.     

Dino menatap sendu Nona. Sejak dekat dan kenal dengan Nona, Dino sudah menaruh hati dengan Nona.     

"Jimat itu harus kita ambil. Dan jimat pelindung itu pasti untuk melindungi dia dari Winarsih. Jika kita tidak melakukannya, bagaimana kita ungkapkan kematian Winarsih dan suaminya," ucap Nona lagi.     

Ian dan Paijo hanya tertunduk, mereka tak tahu mau ngomong apa lagi. "Nona benar, jika bukan Nona yang di kenal sama pembunuh itu kita tak akan bisa mengungkapkan ini. Kau tahu dia itu seperti apa, dan kau tahu dia tak tersentuh sama hukum," kata Ian lagi.     

Paijo menganggukkan kepalanya. "Ian benar, karena dengan cara itu kita bisa ambil jimat itu. Jimat pelindung itu pasti dari dukun yang meninggal tadi," kata Paijo lagi.     

Dino melihat Nona. Dia tak ikhlas Nona bersama lelaki pembunuh itu. Dia hanya mau menyelesaikan ini tanpa Nona berdekatan dengan pembunuh itu.     

"Kamu percaya sama aku. Aku akan jaga diri. Aku akan ambil jimat pelindung dia. Aku yakin dia membawa jimat itu, dan kamu jangan khawatir kan aku. Kalian masih bisa menjagaku dari jauh," kata Nona.     

Nona menenangkan Dino. Dia sebenarnya enggan tapi sesama wanita yang satu sudah meninggal dan yang satunya belum pasti menuntut pertanggungjawaban dari pembunuh itu.     

"Aku akan jaga Nona," kata Dino lagi.     

"Aku juga bersama Paijo menjaga kamu Non, dan Mang Dadang juga," kata Ian     

Mereka menganggukkan kepalanya. Mereka tak mau meninggalkan Nona sendiri dengan pembunuh itu.     

"Nah, kalian sudah siapkan bertemu langsung dengan dia. Dan kalian cari jimat itu, saya kurang paham tapi setahu saya dia itu di bungkus sama kain putih," kata Mang Jupri.     

"KAIN PUTIH?" tanya mereka bertiga.     

Mang Jupri menganggukkan kepalanya. Jimat pelindung itu selain tanah ada mantranya juga. "Sudah kalian cari saja. Lagian itu pasti di kalungkan ke leher mereka," kata Mang Jupri     

Mereka melihat Nona dan meminta kesiapan Nona. "Aku siap, kita ambil itu dan baru setelah itu kita pikirkan lagi," kata Nona     

"Kita rekam saja pembicaraan dia. Mungkin dia akan bicara sama temannya. Nah, karena kamu akan bertemu dengan temannya maka kamu harus merekam itu Non," kata Dino.     

Nona menganggukkan kepalanya. Dia akan menyiapkan semuanya demi mendapatkan informasi yang bisa membuktikan kebenaran atas kematian Winarsih dan suaminya.     

"Nah, sekarang kita solat dulu. Lagian Mamang mau jaga ronda nanti malam," kata Mang Jupri.     

"Kami ikut bersama mamang ronda boleh?" tanya Ian.     

"Sudah banyak orangnya, jangan nambah lagi. Lagian kami yang jaga khusus warga sini. Mamang tak enak jika mamang bawa kalian," kata Mang Jupri.     

Ian menganggukkan kepalanya. Dia tahu kalau dia akan mengganggu konsentrasi mereka menjaga keamanan desa salak.     

"Ayo kita pulang, kita istirahat saja sekarang. Habis itu kita pikirkan lagi rencana kedepannya," ucap dino lagi.     

Ian dan Paijo pergi dari rumah mang Jupri. Mereka juga akan bersiap ke masjid untuk solat di masjid.     

"Paijo, apa benar jimat pelindung itu untuk melindungi hantu ya?" tanya Ian.     

Paijo menaikkan bahunya. "Aku baru tahu juga, kalau jimat pelindung untuk itu. Setahuku itu pelet dan sejenisnya," kata Paijo.     

Dino yang mendengarnya terkekeh. "Pelet untuk apa? Kalian mau pelet Winarsih dan sahabat alam gaibnya ya?" tanya Dino sambil tertawa.     

Ian juga terkekeh. "Paijo mau pelet teman Mbak manis, makanya dia mau pakai itu," sindir ian.     

Mang Dadang dan Nona juga tertawa mendengar apa yang di katakan oleh Ian dan Dino. Paijo hanya menggarukkan kepalanya. dia mana tahu hal kayak begitu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.