Dendam Winarsih

Awas Kau Bram



Awas Kau Bram

0Ian dan Paijo berjalan cepat. Mang Dadang ngos-ngosan karena harus mengikuti keduanya.     

"Tunggu lah, saya lelah dan nanti bisa pingsan," ucap Mamang Dadang lagi.     

Ian dan Paijo berhenti untuk menunggu Mang Dadang yang ketinggalan di belakang. Mang Dadang yang di belakang, akhirnya sampai di tempat keduanya berdiri.     

"Aku lelah sekali, aku tidak sanggup. Kalian berjalan seperti orang kesetanan. Sabar lah, aku sudah tua," kata Mang Dadang lagi.     

Mang Dadang mengatur nafasnya, setelah normal Mang Dadang menatap keduanya dengan cengir kuda laut. Ian dan Paijo menggelangkan kepalanya.     

"Sudah Mang?" tanya Ian.     

Mang Dadang menganggukkan kepalanya. "Sudah, ayo kita jalan. Tapi jangan seperti tadi ya, Mang tidak sanggup dan Mamang lelah sekali, kalian harus tahu kalau Mamang itu sudah menuakan," cicit Mang Dadang lagi.     

Paijo tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh Mang Dadang. "Sudah tahu, dan jangan diingatkan kalau Mamang itu sudah menua. Tujuannya apa coba bilang seperti itu? Mamang ingin di mengerti gitu," kata Paijo.     

Mamang mendengus kesal mendengarnya. Mamang mengikuti keduanya. Ian hanya bisa menggelengkan kepala. Ketiganya sampai di ruangan Nona.     

Ceklekk!     

Ian melihat Nona tertidur, dia mencari Dino tapi tidak kelihatan sama sekali. Kemana ini orang pikir Ian. Tidak lama Dino keluar dari kamar mandi.     

"Kalian sudah datang?" tanya Dino lagi.     

Paijo duduk di sebelah Nona yang sedang berbaring. Paijo melihat tangan Nona yang di perban dua-duanya.     

Paijo melihat kearah Dino. Dino duduk di sisi Nona sedangkan Mamang dan Ian duduk di kiri kanan Paijo.     

Dino menghela nafas dengan kencang. "Tadi waktu di kantor dia tertidur. Itu pas jam istirahat, tapi entah kenapa dia mimpi. Katanya bertemu Winarsih dan aku tidak tahu pasti, karena dia tidak cerita, cuma katanya Winarsih minta dia mundur dan biarkan dia yang melakukannya. Terus katanya Bram hadir di mimpi dia dan dia melihat Winarsih di tebas dan dia juga, aku panik lihat dia menjerit histeris. Aku bangunin tapi wajah dia sudah pucat," Dino menatap kearah Nona.     

"Terus, dia kenapa bisa sampai seperti ini tangannya? Dua tangan lagi seperti ini. Apa dia kena bacok di dunia mimpi bisa seperti ini juga ya?" tanya Ian.     

Paijo memukul kepala Ian dengan kencang. Ian yang mendapatkan pukulan dari Paijo meringis kesakitan.     

"Kenapa kau pukul aku?" tanya Ian dengan wajah cemberut.     

"Aku itu kesal sama kamu, sudah tahu kamu salah, masih saja ngomong. Kita dengar dulu apa kata Dino, baru nyela," cicit Paijo.     

"Bukan begitu, aku hanya ingin tanya saja. Kalau salah ya sudah jangan main geplak aja," sungut Ian.     

Dino menghela nafas panjang melihat kedua sahabatnya bertengkar. "Nona sadar dan dia bertemu dengan Bram. Entah dari mana dia tahu kalau kami di kantor. Manager yang bawa dia. Di sana kami bertengkar dan Winarsih masuk ke tubuh Nona, kalian tahu kan kalau dia itu dendam sama Bram, alhasil Winarsih yang di tubuh Nona ingin mencekik Bram, tapi tidak bisa sama sekali. Dan akhirnya seperti ini terjadinya," ucap Dino lagi.     

Ian dan Paijo mengepalkan tangannya dengan kencang. Dia kesal karena Bram sudah melewati batas. "Awas kau Bram, aku akan buat kau menyesal. Pembunuh itu harus kita selesaikan Dino. Jika tidak kita yang dibunuh sama dia," kata Paijo lagi.     

Mang Dadang memijit keningnya. Dia tidak tahu kenapa bisa serumit ini. "Kita tidak bisa langsung menyeret dia. Kita negara hukum, bisa-bisa kita kena nantinya. Kalian tahu kan, jika dia berpengaruh di kota ini. Jadi jangan buat kita yang masuk sana," ucap Mamang lagi.     

Dino menatap Nona dengan tatapan sendu. Dia mengusap rambut Nona dengan lembut. "Aku tidak mau dia terluka. Aku ingin ini selesai. Jika Narsih ingin melakukannya sendiri aku senang, tapi kita sudah janji akan buat dia mendapatkan keadilan, bukti itu nihil dan kau tahu kan tanpa bukti kuat kita akan kalah," kata Dino.     

Ian menganggukkan kepalanya. Jika bukti tidak cukup maka kita yang kena. "Dino, apa Bram akan menghabisi kita juga. Jika tidak mana mungkin dia tahu kita kerja dimana dan mengancam kita," Ian menatap sendu Dino.     

Dino menggelengkan kepalanya, dia juga tidak tahu apapun. Dia juga tidak mengerti kenapa dirinya sedikit takut. Entah takut meninggal atau takut menerima kenyataan mereka akan di bui.     

"Apa kita jadi buat Nona umpan kita? Atau kita diam dulu saja sampai semua tenang," kata Paijo lagi.     

"Kita harus ikuti Bram. Bagaimana kalian setuju?" tanya Ian.     

Mamang mengelengkan kepalanya. "Tidak mungkin kita ikuti dia. Karena kalian tahu sendiri kan, dia punya uang, pengawalnya banyak dan malah sebaliknya dia yang mengikuti kita. Soalnya dari rumah ada mobil yang berhenti sedikit jauh dari rumah kita dan mengawasi kita, jadi kita yang di awasi sekarang," kata Mamang Dadang.     

"APA??" teriak ketiganya.     

mang Dadang meletakkan jarinya di mulutnya. "husttt, nona tidur. kalian jangan ganggu dia. kasihan dia kalau bangun," ucap Mang Dadang lagi.     

Ketiganya terdiam sesaat, mereka tidak mungkin membuat Nona terbangun. Ian menoleh kearah Mamang dengan tatapan sendu. "Apa yang harus kita lakukan sekarang. Kita yang diawasi bukan dia. Narsih kenapa tidak bisa menyentuh mereka. Itu kan hanya tanah kuburan saja, mana mungkin kan dia bisa terbakar atau sejenisnya."     

Ian menundukkan kepalanya. Dia tidak tahu sekarang harus apa. Dino dan Paijo juga tidak bisa berkata apapun.     

"Tanah itu punya doanya. Entah apa yang dukun itu doakan di tanah itu. Yang pasti mereka sudah jampi-jampi tuh tanah. Kalian harus berusaha untuk mengambil jimat itu. Jika tidak dia yang akan jadikan kita jimat," kata Mang Dadang lagi.     

"Eummm," erangan Nona membuat ke empat lelaki beda usia itu menoleh kearahnya.     

"Nona kamu sudah bangun?" tanya Dino.     

Nona membuka matanya dan melihat kearah Dino. "Pusing Dino kepalaku," ucap Nona lagi pada Dino.     

Dino menekan tombol merah untuk memanggil dokter. Tidak lama dokter dan suster datang keruangan Nona.     

"Permisi, pasien sudah bangun ternyata. Bagaimana Nona apa masih sakit tangannya?" tanya dokter lagi pada Nona.     

Nona melihat tangannya dua-dua berbalut perban dan pasti rasa ngilu terasa sekali. "Masih ngilu dokter dan apakah tangan saya bisa sembuh dokter?" tanya Nona dengan wajah sendu.     

Dokter memeriksa tangan Nona dengan teliti. Lepas tuh dokter tersenyum kecil. "Jangan takut, tangannya akan sembuh, banyak istirahat jangan lakukan hal apapun," kata dokter lagi.     

Nona menganggukkan kepalanya di depan dokter. Selepas memeriksa Nona, dokter pergi meninggalkan kamar pasien.     

"Dino, aku takut kalau apa yang aku mimpikan itu terjadi. Dia juga mengancam nyawa kita, termasuk kalian. Aku tidak tahu dari mana dia tahu kalau kita akan membantu Winarsih," cicit Nona.     

"Kita di mata-matai Nona sayang, jadi jangan kau tanya dari mana si licik sialan itu tahu kita kalau bukan kita di mata-matai sama dia," ucap Ian dengan nada ketus.     

"Kita harus bisa berjaga. Jangan lengah dan jangan pergi sendiri-sendiri lagi. Tetap bersama," ucap Dino lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.