Dendam Winarsih

Golok Narsih



Golok Narsih

0Hari mulai gelap, tentunya suasana rumah sakit mencekram. Ian dan Paijo masih betah di rumah sakit, mereka tidak mau pulang kerumah karena alasan setia kawan.     

"Kalian tidak pulang juga, apa karena setia kawan kalian di sini?" tanya Dino.     

Ian dan Paijo juga Mang Dadang hanya diam, saling pandang satu sama lain itu yang ketiganya lakukan.     

"Kalian mau beli makanan tidak?" tanya Ian.     

Paijo menganggukkan kepalanya. "Ayo kita pergi, tidak mungkin kamu sendirian pergi. Mang mau ikut juga?" tanya Paijo.     

"Boleh, ayolah kita pergi sekarang," Mang Dadang bangun dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi beli makanan.     

Ketiganya pergi dari kamar inap Nona. Ketiganya masih trauma dengan rumah sakit di Desa Salak itu. Ian dan Paijo saling pandang satu sama lain.     

"Aku kenapa sedikit takut ya," cicit Ian lagi.     

Paijo mulai merinding tapi dia berusaha tenang. "Mang, merasakan sesuatu nggak?" tanya Paijo.     

Mamang hanya diam saja. Dia juga tidak mau banyak bicara. Ketiganya akhirnya sampai di parkiran. Mamang melihat ada yang mengintai mereka.     

"Sepertinya kita di ikutin nih. Apa kalian tidak merasakan?" tanya Mamang.     

Ian dan Paijo menggelengkan kepalanya. Keduanya tidak tahu kalau mereka diikuti. Ian yang mau menoleh di larang sama Mang Dadang. Mang dadang menggelengkan kepalanya.     

"Kita pergi saja. Jangan lihat mereka anggap saja tidak tahu," bisik Mamang lagi.     

Ian dan Paijo mengikuti apa kata Mamang lagi. Ketiganya langsung masuk ke mobil. Ian yang mengemudi mobil Dino. Mamang yang di dalam mobil melihat ke belakang.     

"Apa mereka masih mengikuti kita?" tanya Paijo.     

Mamang menganggukkan kepalanya. Dia juga tidak paham kenapa mereka diikuti. "Apa karena kita mau mengusut kasus ini ya? Makanya dia mengawasi kita?" tanya Mamang.     

"Apa ini ulah Bram, Ian?" tanya Paijo melihat kearah Ian dan bergantin menoleh kebelakang.     

"Aku rasa iya. Tapi sudah lah, jangan kita pikirkan itu, kita mau beli apa?" tanya Ian.     

"Ayam bakar saja. Aku ingin makan itu. Rasanya jiwaku mau terbakar," cicit Paijo.     

Ian dan Mamang terkekeh mendengarnya. "Nggak ada hubungannya dengan makanan, kalau jiwamu terbakar ya terbakar saja, jangan kaitkan dengan dengan yang lainnya."     

Ketiganya sampai di warung makanan ayam bakar. Ian, Paijo dan Mamang keluar. Ketiganya cuek dengan pengintai itu. Setengah jam makanan sampai dan mereka pergi setelah membayarnya.     

"Besok kita pergi kerja, Mamang mau ikut kita atau di rumah saja?" tanya Paijo.     

Mamang berpikir sejenak, dia juga tidak mungkin ikut mereka semua. "Saya di rumah saja. Kalian kan mau pergi kerja. Jadi tidak mungkin kalian ajak saya kerja juga kan!" jawab Mamang lagi.     

Ian dan Paijo menganggukkan kepalanya."Benar juga kata Mamang, kami nggak lama pulangnya. Hanya input berita mengenai kematian dukun itu, kami jarang ke lapangan karena ada orang baru ke lapangan," jawab Paijo lagi.     

Jalanan sepi dan hening tiba-tiba tercium aroma melati semerbak. Ketiga mulai berdehem dan tentunya ketiganya sudah tahu siapa yang datang.     

"Kalian tenang saja," jawab Mamang.     

Mamang yang duduk di belakang menoleh ke sebelah dan Winarsih di sampingnya. Mamang menelan salivanya. Winarsih membawa golok andalannya. Golok Winarsih sangat tajam. Dan tentunya sangat mengerikan.     

"Ian, tadi pergi kenapa cepat sampai di warung, ini kenapa lama sekali? Apa kamu salah jalan? Tempat ini kenapa beda dengan jalan tadi?" tanya Paijo.     

Ian pun tidak tahu kemana mobil ini berjalan. Dia sudah berada di jalur yang benar. Dia melihat ke belakang apakah masih ada yang mengikutinya atau tidak, ternyata ada. Malah mobil itu menyalip mobil mereka.     

Cittt!     

Ian mengerem mendadak. Ian kaget karena mobil itu berhenti mendadak. "Sialan ini mobil, jika mau mati, mati sendiri saja," hardik Ian dengan emosi.     

Orang yang di mobil keluar dengan bawa pistol dan di acungkan ke arah mereka. Ian, Paijo dan Mamang ketakutan.     

"A-apaan ini. Kenapa mereka mengacungkan senjata pada kita? Apa mereka tidak tahu kalau itu berbahaya," cicit Ian dengan wajah pucat.     

Tuk ... tuk ... tuk ...     

Kaca mobil di ketuk dengan kencang. Ian, Paijo dan Mamang Dadang saling pandang. "Apa kita keluar?" tanya Ian dengan suara bergetar.     

"Kita keluar saja. Kita mau tahu, mereka mau apa," jawab Paijo.     

Ketiganya keluar dari mobil. Ketiganya tidak menunjukkan wajah ketakutan. Tatapan ketiganya tajam dan saling memberikan perlawanan.     

"Kalian siapa?" tanya Paijo dengan suara datar.     

Pengintai itu saling melihat satu sama lain. suara tawa mereka bergema. "Kalian mau jadi jagoan ya? Kalian mau mencari siapa pembunuh wanita sialan itu? Jika kalian mau mencarinya langkahi kami dulu. Jika bisa, maka kalian bisa mencarinya, jika tidak bisa maka, kalian jangan berani mencari tahu dan lupakan saja," ucap pria itu.     

Ian menepuk tangannya dengam keras dan tertawa. Paijo juga ikut tertawa mendengar apa yang di katakan sama pengintai itu. Dia paham kalau ini anak buah Bram itu.     

Paijo mendekati lelaki pengintai itu. "Bilang sama pembunuh itu, kami tidak takut sama sekali, kami akan terus mencari kebenarannya dan kami akan buat lelaki sialan itu membusuk di penjara. Katakan pada Bram, tidak perlu dia repot-repot mengintai kami. ayo kita pergi," ucap Paijo lagi     

Paijo berbalik, tapi dia langsung ditendang sama lelaki lain. Paijo tersungkur ke bawah. Ian yang melihatnya langsung membantu Paijo. Ian menendang mereka sendirian. Mamang mengangkat paijo namun, dia juga dihajar sama lelaki itu.     

Paijo yang melihat Mamang Dadang dipukul ikut membalas dan membela Mamang Dadang. Terjadi perkelahian yang tidak di inginkan.     

Hhahahahah ... hihihihihihi     

Suara tawa itu terdengar sangat menakutkan. Ketiganya yang sudah babak belur terdiam, pengintai yang memukul ketiganya langsung diam. Mereka mencari ke segala arah suara wanita itu.     

"Keluar kau! Kau pikir aku takut? Tidak akan, aku tidak takut sama sekali. Ke sini jika berani." Pria yang memukul Ian, Paijo dan Mamang melihat ke sana kemari.     

Golok Narsih menyabet pria di belakang dengan kencang sambil terbang. Srettt! pria yang terkena sabitan golok Narsih menjerit.     

"AAAAA!" teriakkan dia sangat kencang.     

Badannya koyak dan isi perutnya keluar begitu saja. Seketika pria itu meninggal di tempat. Ada lima pria yang berdiri sambil melihat ke segala arah.     

"Dia meninggal bos," jawab anak buah pria tadi.     

Bos yang pria itu panggil menarik Ian dan mengacungkan senjata di kepalanya. Ian yang sudah babak belur bergetar. Dia tidak tahu nasibnya. Mungkin dia akan menghadap Tuhan setelah ini.     

Paijo dan Mamang tidak bisa berbuat apa. "Kau takut hmm, kau lihat bagaimana kejamnya mbak manis kami itu," Paijo sengaja menjadi provokator agar takut.     

Winarsih di belakang pria lainnya dan mencekik pria itu dan melemparnya kearah jendela mobil pengintai.     

Gubrakk!     

Badan pria itu masuk ke dalam mobil. Kaca mobil pecah seketika. Pria itu melihat kearah mobil dan kaget anak buahnya juga jadi korban.     

"KELUAR KAU!" teriak pria itu.     

Winarsih masih diam di pohon sambil tertawa senang. Pohon besar itu bergerak. Tembakkan tidak terelakkan, tapi tidak mengenai Winarsih sama sekali.     

Dor ... dor ...     

Winarsih dengan gerakkan cepat menebas sisa anak buahnya. Kali ini kepalanya yang putus dengan golok yang Winarsih bawa. Paijo dan Mamang muntah karena melihat kekejaman Narsih. Ian yang melihatnya bergetar dan pingsan.     

Pria itu menolak Ian ke samping. Ian yang jatuh, di tangkap sama Mamang. "Keluar aku bilang!" teriak ketua pengintai yang disuruh Bram itu.     

Pria itu melihat ke sekeliling tidak ada siapapun. Dia kembali melihat ke depan dan Narsih sudah di depannya sambil tersenyum manis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.