Dendam Winarsih

Pembunuhan Yang Menyeramkan



Pembunuhan Yang Menyeramkan

0Dino menggelengkan kepalanya, dia tidak mungkin salah. "Mari kita ke sana. Kebetulan kita harus liput berita juga, Mamang mau ikut?" tanya Dino.     

Ian dan Paijo yang sudah bangun menatap kearah tv. Keduanya mengangga melihat pemberitaan yang terjadi. Apa tidak salah gumam mereka berdua.     

"Dino? Itu tidak salahkan. Bukannya itu lokasi yang tadi malam kan? Dan aku yakin itu pasti ulah Winarsih," ucap Paijo.     

Dino menganggukkan kepalanya, dia tahu itu lokasi yang mereka ceritakan. Dan ternyata sudah di temukan sama pihak berwajib.     

"Terus kita harus apa sekarang?" tanya Paijo.     

Paijo melihat kearah Dino. Tidak mungkin ke sana, tempatnya pasti sudah sepi dan jasadnya juga sudah tidak ada di sana.     

Ian bangun dan duduk, dia melihat kearah Dino dan Paijo. "Kalian bahas apa ya? Ini sudah jam berapa? Kenapa tidak ada yang membangunkan aku?" tanya Ian dengan wajah muka bantalnya.     

"Itu si Dino mau nikah sama Nona," jawab paijo sekenaknya.     

Ian yang masih dalam mode setengah ngantuk dan setengah sadar kini benar-benar sadar seratus persen. Dia melihat kearah Dino.     

Dino menghela nafas panjangnya. Dia lagi-lagi di kerjain sama Paijo, Paijo tertawa geli karena wajah Dino yang masam. "Jadi bagaimana? Apa kita bisa pergi untuk melihatnya?" tanya Dino.     

Ian melihat kearah Paijo dan Mamang Dadang. Paijo mengangkat bahunya. Dia juga tidak tahu apakah bisa meninggalkan Nona atau tidak.     

"Aku tidak tahu apakah bisa kita tinggalkan Nona di sini? Karena aku hanya ingin Nona ada yang jaga. Aku takut dia di dekati Bram sialan itu," kata Dino.     

Mereka pun menganggukkan kepalanya. Benar kata Dino, Nona harus ada yang jaga, jika tidak maka Bram akan ke sini.     

"Biar saya saja yang jaga, kalian pergi lah, mungkin dengan saya yang jaga mereka tidak berani ke sini," ujar Mamang Dadang.     

Dino melihat Paijo dan Ian. Keduanya menganggukkan kepalanya. "Tidak apa-apa, aku ikut saja. Lagian aku juga tidak masalah. Mang, tolong ya jangan tinggalkan Nona sendirian," kata Paijo.     

"Iya, akan saya jaga Nona dengan baik. Kalian hati-hati, ingat! Kalian harus bisa menghindari mereka. Saya takut kalian akan celaka nantinya," kata Mamang Dadang.     

Paijo, Dino dan Ian menganggukkan kepalanya. Mereka bersiap untuk pergi ke tempat kejadian. Dino menghubungi sahabatnya, dia mencari tahu kemana korban dibawa.     

"Dino, sudah tahu di mana mereka dibawa?" tanya Paijo lagi.     

"Sudah, dia di rumah sakit Bina Asih. Dekat dari lokasi juga, jadi kita ke sana saja sekalian. Mang kami pergi ya," kata Dino.     

Mamang menganggukkan kepalanya. Ketiganya pergi, mereka tidak sempat pamitan sama Nona. Nona juga masih tidur, mereka tidak mau membuat Nona sedih.     

Ketiganya keluar menuju parkiran. Paijo melihat orang yang mengikuti mereka tadi malam. Paijo melirik kearah Ian. Ian yang melihat kearah Paijo paham maksud dari Paijo tadi.     

"Kita pura-pura tidak tahu saja. Kita ke sana sekarang," jawab Ian.     

Dino yang paham pembicaraan keduanya langsung menganggukkan kepalanya. Di rumah Bram melihat berita tentang pembunuhan yang melibatkan anak buahnya.     

"Siapa yang membunuh anak buahku seperti itu. Apa ke tiga bocah itu benar-benar yang bunuh atau orang lain," cicit bram.     

Drt ... drt ... drt ...     

Bram melihat id penelpon, Diman? Ada apa ya gumam Bram lagi. "Halo Diman, kenapa?" tanya Bram lagi.     

"Kamu sudah lihat berita belum? Pembunuhan itu sadis sekali. dan pembunuhan yang menyeramkan Bram. Kamu lihat kan itu?" tanya Diman.     

Bram tahu itu dan dia juga melihat dengan jelas, itu pembunuhan yang menyeramkan dan tidak ada belas kasih sama sekali     

"Iya aku lihat, aku sepertinya mengenal mereka. Mereka anak buah yang aku minta untuk mengikuti ketiga bocah tengik itu. Tapi kenapa bisa terbunuh dengan sadis," ucap Bram lagi.     

Diman menelan salivanya. Apa dia tidak salah dengar. Anak buah Bram dibunuh dan itu berarti pembunuhnya sadis.     

"Apa kamu punya tersangkanya Bram?" tanya Diman.     

"Ada satu nama dan aku tidak tahu kalau itu dia. Kamu pasti tahu siapa dia dan tidak mungkin orang lain lagi. Jadi itu pasti dia. Bocah tengik itu tidak mungkin melakukan sendiran," ucap Bram lagi.     

Diman terdiam mendengar apa yang di katakan Bram. Apa mungkin Winarsih? Jika iya itu artinya dia dalam bahaya pikir Diman.     

"Bram, aku takut. Kamu lihat kan, dia sangat kejam dan kamu lihat anak buahmu tewas dalam sekejap saja. Dan nanti kita akan seperti itu juga nanti. Aku takut Bram," cicit Diman.     

Bram menghela nafasnya. Dia juga takut, tapi dia bisa apa? Jika dia berkata dia takut, maka dia juga menakuti Diman.     

"Kita punya jimat pelindung, jika kalian takut, maka dia akan mendekati kita. Ingat kita itu lebih tinggi derajatnya dari si hantu itu," ucap Bram lagi.     

Diman hanya diam saja, dia tidak tahu harus apa. Ada rasa menyesal ikut terlibat dengan Bram. Apa lagi membantu pembunuhan itu. Sekarang sudah terjadi harus dia terima.     

"Kenapa kamu diam?" tanya Bram.     

Terdengar helaan nafas dari Diman. Diman menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak mungkin bisa mengatakan apapun pada Bram. Bram saja tidak ada solusinya sama sekali.     

"Aku mau bersiap ke kantor. Nanti kita bahas lagi," ucap Diman.     

Diman mengakhiri panggilan dengan Bram. Bram tahu kalau Diman gelisah. Bram melihat semua pemberitaan membicarakan pembunuhan yang menyeramkan itu.     

"Aku akan buat kamu menyesal Narsih. Aku akan buat kamu hilang dari dunia ini," geram Bram.     

Dino, Paijo dan Ian sudah sampai di rumah sakit yang tempat korban. Ketiganya masuk dalam rumah sakit.     

"Kita langsung ke kamar mayat atau bagaimana?" tanya Ian.     

"Kita ke sana saja. Aku rasa mereka di sana. ayo lah kita ke sana." Dino melangkahkan kakinya ke kamar mayat untuk melihat kondisi korban.     

Dino belum melihat secara langsung tapi Ian dan Paijo jadi saksi mata yang untungnya polisi tidak tahu. Sampai di kamar mayat, ketiga bertemu dengan rekan mereka dari kantor berita.     

"Mana dia?" tanya Dino.     

"Di dalam Dino. Aku tidak sanggup melihatnya. Ini karena liputan, jika tidak aku tidak mau. Aku takut, lagian kenapa kalian pada tidak masuk kerja," kata teman Dino.     

Dino menggelengkan kepalanya karena dia memang izin untuk ke sini dan meliput kejadian ini dan tentu itu alasan dia ingin melihat apa yang terjadi.     

"Kami masuk dulu ya. Kami tinggal dulu." Dino masuk ke dalam untuk melihat korban. korban yang dibunuh Narsih.     

"Dino, aku takut sekali. Menyeramkan sekali Dino. Aku di luar saja ya. Kalian saja yang masuk ya," ucap Ian.     

Dino dan Paijo memandang Ian dengan pandangan tajam. Ian yang dipandang seperti itu mau tidak mau ikut ke dalam. Dia sudah pingsan semalam sekarang harus pingsan juga pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.