Dendam Winarsih

Satu Persatu



Satu Persatu

0Dino, Ian dan Paijo masuk ke dalam kamar mayat, ketiganya langsung menuju bangkar yang ada korban kekejaman Winarsih. Pihak rumah sakit membuka kantong jenazah satu persatu. Ian yang melihatnya muntah-muntah, dan dia juga mundur beberapa langkah.     

"Tutup saja pak, saya nggak kuat. Saya tidak sanggup sama sekali," Ian terduduk di lantai sambil muntah-muntah.     

Perawat rumah sakit memberikan mangkuk dan membantu Ian. Ian tersenyum kecut, karena dia terlihat lemah. Tapi pada kenyataannya dia tidak sanggup.     

"Apa sudah tahu siapa pembunuhnya?" tanya Dino.     

Paijo yang mendengar pertanyaan Dino mengangga, kenapa dia bertanya seperti itu pikirnya. Bukannya dia sudah tahu kejadian sebenarnya pikir Paijo. Paijo melirik kearah Dino, untuk meminta penjelasan pada Dino. Dino yang di lirik sama Paijo hanya berdeham.     

"Tidak ada yang tahu, ini tidak ada bukti sidik jarinya. Polisi juga heran, pembunuhan ini begitu sangat rapi dan hasil gorokkannya juga seperti apa ya, lihat sendiri coba," kata pegawai itu lagi.     

Dino pun melihat dengan teliti dia juga menggunakan kamera temannya tadi untuk meliput. Kelimanya mempunyai luka berbeda dan itu benar-benar tidak bisa di anggap main-main.     

"Ya sudah, kami permisi dulu. Apa keluarga mereka sudah di hubungi?" tanya Dino.     

"Saya kurang tahu Mas, soalnya itu urusan polisi bukan saya, jadi saya tidak tahu sama sekali."     

Dino pun paham, dia langsung pamitan sama perawat yang berjaga di sana. Ian yang melihat Dino dan Paijo menuju pintu keluar bergegas bangun. Dia tidak mau terlalu lama di kamar mayat ini.     

"Dino, jadi bagaimana? Apakah kalian dapat keterangan berarti?" tanya Ian.     

Keduanya keluar dan duduk di bangku bersama dengan teman mereka. Dino menyerahkan kamera pada temannya itu. Dia menghela nafas panjang. Narsih benar-benar kejam. Dia tidak nanggung-nanggung untuk menbunuh orang.     

"Kami tidak dapat. Ayo kita pulang, kamu pulang juga nggak? Aku akan antar kamu?" tanya Dino lagi.     

"Kami bawa mobil, ya sudah kalau begitu kami pergi sekarang ya, kami tidak mau telat untuk mengirimkan berita ini. Yuk semua, aku pulang dulu ya," kata teman ketiganya.     

Ketiganya mengangguk kepalanya. Dino menghela nafas panjang karena tidak tahu harus apa sekarang. Paijo dan Ian menatapi temannya. Paijo dan Ian saling melirik satu sama lain.     

"Dino, kenapa? Apa kamu merasa lelah atau apa?" tanya Paijo.     

Paijo menggelengkan kepalanya, dia juga sulit menjabarnya. Dia masih ragu untuk buat Nona menjalankan tugas untuk mendekati Bram. dia sangat takut jika Nona di jadikan tawanan sama bram.     

"Satu persatu Winarsih akan membalas dendamnya, pertama anak buah Bram, orang yang menjaga Bram akan jadi tumbalnya. Dia juga pada akhirnya akan dihabisi Winarsih dan kapan itu saat jimat itu sudah tidak berada pada dia. Dan Nona lah yang mengambil jimat itu," kata Dino lagi.     

Paijo dan Ian mengerti, dalam hal ini Nona yang akan berinteraksi sama Bram. Otomatis dia yang akan berada di sisi Bram. "Dino, kita harus bisa buat Bram tidak tahu rencana kita. Aku punya ide bagus buat rencana kita. Ayo kita sekarang ke rumah sakit. Kita bicara di sana saja. Kalau di sini takutnya ada yang mendengarnya. Kamu tahu kan kita diikuti orang, entah itu orang Bram atau tidak kita tidak tahu, jadi kita pulang dan diskusi di sana. Aku mau ini cepat berakhir. Aku tidak ingin melihat langsung tayangan pembunuhan lagi," ucap Paijo.     

"Aku setuju sama kamu, mari kita pulang segera, kita bicarakan pada Nona dan Mamang, siapa tahu ide ini berjalan. Kamu yakin kan kita bisa buat Bram mendapatkan balasannya. Dia cerdik dan kamu tahu kan itu, kita juga harus lebih cerdik dari dia."     

Dino menganggukkan kepalanya, dia tahu kalau sesungguhnya Bram bukan tandingannya. "Sudah ayo kita pergi sekarang, kita harus segera membicarakan semuanya. Semoga Nona dan mamang setuju sama rencana kamu Paijo."     

Keduanya menganggukkan kepalanya. Dino dan kedua temannya itu pergi meninggalkan rumah sakit. Perjalanan ketiganya sangat jauh, jadi butuh beberapa jam untuk sampai di rumah sakit tempat Nona di rawat.     

Paijo duduk di kemudi melirik kearah mobil belakang. Mobil yang dari tadi mengikuti mereka. Laju mobil di bawa kencang, Dino melirik kearah Paijo. dia heran kenapa laju mobil makin laju.     

"Kenapa?" tanya Dino.     

Paijo tidak menjawabnya sama sekali. Dia hanya diam saja, Ian yang melihat Paijo melirik ke arah belakang langsung ikut melihat ke belakang. Dia mengangga melihat mobil yang mengikuti tadi mengikuti mereka.     

"Itu kan orang yang mengikuti kita Paijo. Kenapa dia ikuti kita sampai ke sini juga? Apa dia orang suruhan Bram juga? Jika iya maka kita dalam bahaya. Bisa-bisa kita dibunuh Paijo." Ian mengacak rambutnya dengan kencang.     

"Paijo kamu tenang, jangan ngebut, yang ada kita celaka, kita tidak tahu apakah dia orang suruhan Bram atau bukan," ucap Dino.     

Paijo membawa mobil kembali pada kecepatan sedang. "Maaf aku tadi sedikit emosi, kamu tahu kan, perjalanan kita lumayan jauh," ucap Paijo.     

"Iya kami tahu, tapi bagaimana kalau rem mobil diputuskan sama dia bisa bahaya kita. Jadi harus pelan." Ian menenangkan paijo agar lebih tenang dan tidak terbawa emosi.     

Perjalanan ketiganya terhambat sama macet akibat kecelakaan. Ketiganya risau dengan keadaan Nona dan Mamang di rumah sakit.     

"Bagaimana ini, kita tidak tahu Nona sama Mamang selamat atau tidak di sana. Kita harus telpon mereka dulu. Dino kamu telpon Mamang, tanyakan padanya bagaimana mereka di sana," ucap Paijo.     

Dino menganggukkan kepalanya, dia mengambil ponsel dan langsung mencari nama Mamang Dadang. Panggilan dari Dino tidak di jawab sama sekali.     

Tut ... tut ... tut ...     

Panggilan telpon Dino lagi-lagi tidak diangkat sama Mamang, apa dia sedang ibadah atau tidur ya pikir Dino. Paijo dan Ian yang melihatnya hanya diam sambil menunggu jawaban dari Dino.     

"Kenapa tidak diangkat ya? Kemana si Mamang ya," cicit Dino dengan wajah yang sedikit risau.     

Paijo dan Ian mulai panik. "Coba kamu telpon sekali lagi. Siapa tahu diangkat telpon kamu Dino," Paijo menyarankan Dino untuk melakukan panggilan sekali lagi.     

Dino mengangguk kepalanya, dia berusaha untuk menelpon, namun tidak di jawab juga. Dino menggelengkan kepalanya. Paijo yang mengemudi mobil merasa heran untuk sekian kalinya. Rute jalannya berbeda, padahal dia hanya melihat Dino sekilas dan jalannya malah masuk dalam hutan. Dan tentunya aroma semerbak mulai tercium di hidungnya. Narsih kembali lagi, sepertinya ada yang terbunuh lagi hari ini.     

"Permisi semua, kita lagi-lagi salah masuk kamar mertua ini. Dan sepertinya kita kedatangan tamu terhormat dan dia sudah duduk di sebelah kamu Ian. sambutlah tamu itu," ucap Paijo lagi.     

Dino dan Ian yang sibuk dengan telepon mengarahkan pandanganya sebelah bangku kosong. Dan tamu yang di maksud sama Paijo tidak lain tidak bukan Winarsih. Dan ya, dia sudah di duduk manis di sana.     

"Apa kami mengundang Mbak manis?" tanya ian sekenaknya.     

Paijo dan Dino menepuk kening karena pertanyaan dari Ian yang tentunya membuat keduanya hampir pingsan. Pertanyaan macam apa itu rutuk keduanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.