Dendam Winarsih

Rencana Pertama



Rencana Pertama

Dokter yang memeriksa Nona tersenyum melihat Nona sudah lebih baik dan tangannya juga sudah mengering.     

"Alhamdulillah, sudah cukup baik. Dan bisa pulang juga, oh ya, tapi harus istirahat juga ya. Jangan buat aktivitas yang berlebihan dan jangan lupa istirahat yang cukup," ucap dokter pada Nona.     

Nona menganggukkan kepalanya, dia senang karena bisa pulang. Dokter yang sudah selesai memeriksa Nona meninggalkan ruangan Nona. Dino mengelus kepala Nona dengan lembut.     

"Ayo, kita bersiap untuk pulang, dokter bilang kamu sudah bisa pulang kan, jadi ayo kita pulang sekarang," ucap Ian.     

Nona menganggukkan kepalanya, dia langsung bangun dari tempat tidur dibantu oleh Dino. Selesai membereskan semuanya, Dino membantu Nona berjalan, perhatian yang ditunjuk oleh Dino membuat yang melihat ikut bahagia.     

"Eh, tunggu dulu! Itu bukannya Bram?" tanya Paijo.     

Baik Dino, Paijo, Ian, Mamang juga Nona berhenti dan bersembunyi. Mereka melihat dari kejauhan Bram menuju meja resepsionis. Paijo memandang Ian dan Dino.     

"Bagaimana ini, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Ian.     

"Mana mungkin kita jumpai dia, yang ada dia tahu kita bersama Nona, bisa gagal rencana kita," kata Paijo lagi.     

Dino masih belum menjawab sama sekali. Dia masih belum mau memberikan komentarnya. Apa harus melakukan rencana pertama untuk dia, apa aku biarkan saja Nona bertemu dengan Bram, dengan begitu kita bisa percepat buat Bram mengakui jika dia yang membunuh Winarsih.     

"Non, kamu keluar dan jumpai dia berpura-pura. Ini rencana pertama kita dan kamu harus buat dia percaya sama kamu. Jika dia tanya mana kami, bilang saja tidak tahu karena kamu tidak mau memikirkan kami saat ini, anggap saja apa gitu lah," kata Dino lagi.     

Nona menatap sendu Dino, dia enggan untuk pergi ke sana, apa lagi jika harus berpura-pura seperti itu. Dia yang akan tersiksa. Jika pun dia harus pulang, ya pulang sama mereka. Dino dan lainnya melihat kearah Nona yang wajah sendu.     

"Aish, apa tidak sebaiknya kita buat rencana pertama kita nanti saja, kalian lihat kan sendiri bagaimana kondisi Nona, dia masih perlu kita dari pembunuh itu," ucap Paijo.     

"Iya benar Dino, kita tunggu saja nanti. Jika sekarang terlalu riskan. Bukannya kamu bilang kalau dia pegang Bram, tangan Nona terbakar seperti sekarang. Jika dia pegang Bram apa nggak terbakar?" tanya Ian lagi.     

Dino menggelengkan kepalanya. "Tidak akan terjadi lagi, saat itu Winarsih di dalam tubuh Nona, jadi seperti itu. Sekarang Nona adalah Nona bukan Winarsih," ucap Dino lagi.     

Ian, Paijo terdiam dan saling pandang satu sama lain. Mereka tidak bisa menjawabnya. karena bagi mereka semua keputusan ada pada Nona. Nona tertunduk memikirkan apa yang dikatakan oleh Dino.     

"Aku akan berusaha menjalankan rencana pertama kita, aku harap dia percaya padaku. kalian jangan tinggalkan aku ya, kalian ikuti aku ya dari belakan," ucap Nona sambil memandang Dino dan lainnya.     

Dino menganggukkan kepalanya, dia memeluk Nona dengan lembut. Dia berat untuk melepaskan Nona, tapi demi membantu Winarsih dia merelakan Nona.     

"Kamu jaga diri, jangan buat dia memegang atau apapun ya, menghindar jika perlu. Jangan sekali-kali mau disentuh sama pembunuh itu dengan tangan kotornya," ucap Dino sambil mengelus punggung Nona.     

Nona menganggukkan kepalanya, dia akan ingat apa yang dikatakan Dino. "Aku akan ke sana, kalian jangan risaukan aku, aku akan menjaga diriku," ucap Nona.     

Nona tersenyum pada Dino dan lainnya, dia juga membawa tas kecil yang berisi pakaiannya. Nona menarik nafas dan berjalan menuju Bram. Wajah sendu terlihat jelas di raut wajah Dino dan Nona. Ian dan Paijo menghela nafas panjang.     

"Mamang harap kita akan mendapatkan yang terbaik, semoga kita secepatnya menyelesaikan masalah ini, akan indah pada waktunya nanti," ucap Mamang dengan lembut.     

Dino, Ian dan Paijo menganggukkan kepalanya, dia tahu kalau sesungguhnya Nona berat hati, tapi apa boleh buat hanya Nona yang bisa melakukan itu.     

"Ayo kita tunggu di luar saja, kita ikuti keduanya. apakah dia benar-benar diantar sama pria jahat itu atau tidak," ucap Ian.     

Mereka pun berjalan menuju parkiran tanpa sepengetahuan Bram dan anak buahnya. Bram yang melihat Nona berjalan kearahnya langsung menghampiri Nona. Rasa rindu di hatinya mulai memuncak di hatinya.     

"Nona, kamu sudah bisa keluar dari rumah sakit ya?" tanya Bram.     

Nona yang dihampiri Bram tersenyum kecil. Dia menganggukkan kepalanya dengan pelan. Bram yang melihat tangan Nona yang di perban dan kesulitan membawa tas mengambil tas itu.     

"Eh, tidak perlu dibawa. Saya bisa sendiri kok, jangan seperti ini. Saya tidak enak," ucap Nona.     

Bram tersenyum melihat Nona menolak permintaannya membawakan tas itu. "Tidak apa, kamu pasti kesulitan. Ini semua karena aku, jadi biarkan aku membantumu," ucap Bram.     

Bram membantu Nona dan berjalan bersamaan. Bram senang karena Nona mau berjalan dengannya tanpa rasa takut. "Sudah makan Nona?" tanya Bram.     

Nona menganggukkan kepalanya, dia sudah makan sebelum dia pulang tadi. "Sudah, sebelum pulang aku sudah makan. Kamu sudah makan?" tanya Nona lagi.     

Nona memandang Bram dengan tatapan lembut. Bram tersenyum melihatnya. Dia senang melihat senyum dari Nona. Nona mirip Winarsih tapi dia tidak seratus persen mirip pikirnya lagi.     

"Sudah makan tadi. Aku bawa buah tadi, nanti kamu makan ya, jangan dibuang, karena tidak ada racunnya sama sekali," ucap Bram.     

Nona tersenyum mendengarnya, dia pun menganggukkan kepalanya. Nona heran kenapa bisa Bram yang lembut bisa kejam membunuh Winarsih hanya karena cinta. Apa sebegitu cintanya dia hingga membunuh wanita itu, apakah cinta dan benci sama atau tidak pikir Nona.     

Nona bisa merasakan kalau kelembutan Bram itu nyata tidak dibuat-buat tapi, kenapa dia tega sama wanita lain. "Aku antar kamu ya," ucap Bram.     

"Apa tidak merepotkan kamu bram?" tanya nona.     

bram menggelengkan kepalanya, dia malah senang mengantar nona. dia bisa tahu rumah nona. bram melihat sekeliling rumah sakit tidak ada teman nona yang ikut, apa mereka tidak datang atau malah ini jebakkan pikirnya.     

"Aku tidak merasa di repotkan. malah aku senang bisa mengantar kamu. ngomong-ngpmong dimana teman kamu yang tiga orang itu?" tanya Bram.     

Nona mengidikkan bahunya. Dia kelihatan cuek saat memberikan jawaban itu. "Setelah mengantarkan aku, dia tidak kelihatan sama sekali. Aku sendiri di sini dan aku juga tidak tahu kenapa bisa aku sendiri di sini. Kenapa kamu tanya mereka? kalian saling kenal?" tanya Nona lagi.     

Bram membuka pintu mobil untuk Nona. Nona masuk ke dalam mobil dan diikuti Bram. "Kami tidak saling kenal. Kenalnya juga waktu itu. Cuma heran saja, kenapa tidak bersama," kata Bram lagi.     

"Malas bersama mereka, terlalu ikut campur urusanku. Aku tidak suka diatur apa lagi ikut campur," dusta Nona.     

Nona memberikan jawaban santai dan berharap Bram percaya. Bram yang menatap Nona cuek saat membicarakan temannya itu hanya menganggukkan kepalanya. Kalau begitu aku bisa menghabisi mereka, karena Nona sudah tidak peduli pada mereka semua pikir Bram dengan senyum kecil dan hampir tidak terlihat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.