Dendam Winarsih

Pindah Makam



Pindah Makam

0Ian dan Paijo menghampiri Dino dan Mamang yang sedang membeli bumbu. Ian dan paijo masih menunggu Dino melakukan transaksi.     

"Terima kasih pak. Ada yang mau kita beli lagi?" tanya Dino pada Mang Dadang.     

"Tidak ada, Ian dan Paijo kalian sudah dapat yang kalian cari?" tanya Mamang.     

Keduanya menggelengkan kepalanya, keduanya juga menatap tajam kearah Dino. Dino yang ditatap tajam oleh keduanya menyergitkan keningnya.     

"Aku salah apa sama kalian?" tanya Dino dengan wajah penasaran.     

Ian menarik tangan Dino dengan kencang untuk mencari tempat aman. Mamang juga ditarik sama Paijo untuk ikut bersama. "Ada apa?" tanya Mamang yang penasaran.     

"Itu, aduh ...," jawaban Paijo menggantung.     

Mamang menyergitkan keningnya mendengar kalimat menggantung dari Paijo. Belum lagi melihat Ian yang menarik Dino. "Kalian berdua ada apa? Apa kalian melihat Narsih belanja juga?" tanya Mamang yang sudah kesal dengan keduanya.     

Sampai di mobil keduanya duduk diam dan tidak ada yang berbicara sama sekali. Dino dan Mamang saling pandang dan melemparkan kode satu sama lain. Dino berdehem dan memandang Ian dan Paijo yang masih diam.     

"Kalian kesambet hantu pasar atau kesambet ikan cupang di pasar?" tanya Dino.     

Keduanya mengelengkan kepalanya dengan cepat. Paijo dan Ian kembali diam, keduanya masih merangkai kata untuk mengatakan pada keduanya.     

"Makam dipindahkan apa bisa?" tanya Ian pada keduanya.     

Dino dan Mamang mengangga mendengar apa yang di katakan oleh keduanya. "Pindah makam bagaimana maksudnya? Makam siapa yang pindah?" tanya Dino.     

Keduanya mengidikkan bahunya. Mereka hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh ibu-ibu tadi. "Kami tidak tahu makam siapa yang akan dipindahkan, lagian kami hanya dengar apa kata ibu-ibu penjual bunga," kata Ian.     

"Dino, kami melihat anak buah Bram dan orangnya juga. Dia sedang beli bunga dan entah apa lagi. Aku tidak tahu buat apa di beli bunga dan banyak lagi yang dia beli, kami hanya melihat dari jauh. Itu pun dari jauh, tidak secara dekat," ucap Paijo.     

Dino yang duduk di sebelah Mamang melihat kearah Mamang dan menunggu jawaban dari Mamang. "Apa mereka mau pindahkan kuburan Narsih? Atau mengambil mayatnya? Jika iya kita harus bilang sama Mang Jupri. Jangan sampai mereka berbuat yang lain pada mayat Narsih," ucap Mamang lagi.     

Mamang menatap dino dan lainnya. Dino dan lainnya menatap kearah Mamang, dengan tatapan penasaran. "Apa Mamang yakin kalau mereka mau ambil mayat Narsih?" tanya Ian.     

"Jadi, kalau bukan mayat Narsih, mayat siapa lagi? Mana mungkin mayat suaminya? Yang masih utuh kan mayat Narsih, kalau suaminya mana mungkin. Kalian pernah lihat mayat suaminya utuh atau tidak?" tanya Mamang.     

Ketiganya menggelengkan kepalanya dengan pelan. Mereka melihat mayat Narsih saya sudah merinding, apa lagi melihat mayat suaminya. makin merinding dan pingsan kali.     

"Cukup lihat punya Narsih saja, jangan punya suaminya. Kami tidak sanggup Mang, kami mungkin akan pingsan," ucap Ian.     

"Iya benar, kami tidak sanggup melihatnya dan kalau itu terjadi maka si Bram itu sudah kelewatan. mau buat apa sama mayat mbak manis itu? Mau di nikahin sama dia?" tanya Paijo.     

Dino memijit kepalanya, kali ini Nona pasti dalam bahaya, apa dia mau tumbalkan Nona, apa dia masih terobsesi Narsih dan menukar jiwa Narsih ke jiwa Nona? Tidak, itu tidak benar sama sekali, Nona harus tahu pikir Dino.     

"Kita harus kasih tahu Nona segera, jika tidak kita kasih tahu Nona, maka Nona bisa jadi tumbal dia. Bentar aku telepon Nona dulu, aku mau kasih tahu dia dulu," kata Dino.     

Ian dan Paijo menganggukkan kepalanya. Mereka tukar tempat duduk. Paijo yang membawa mobil menuju rumahnya. Panggilan pertama dan kedua Dino tidak dijawab oleh Nona. "Kemana si Nona, kenapa dia tidak menjawab telponku ya," gumam Dino.     

"Halo Dino, ada apa ya?" tanya Nona.     

Dino menghela nafas lega karena Nona menjawab telepon darinya. "Kamu dari mana saja Nona? Aku kan risau kamu kenapa-napa Nona," ucap Dino dengan wajah sendu.     

Terdengar suara tawa Nona dari sana. Dino mengerucutkan mulutnya. "Nona, jangan tertawa, aku serius ini. Kamu harus dengar apa yang mau aku katakan. Bram tadi ke tempat orang jual bunga dan dia beli bunga yang untuk orang ke kuburan dan orang yang jual itu bilang katanya mau pindahkan makam, kami tidak tahu makam siapa yang mau dia pindahkan, apa makam orang tuanya atau makam Winarsih, kami tidak tahu," ucap Dino lagi.     

"Pindah makam katamu Dino? Kenapa bisa seperti itu? Tujuannya apa?" tanya Nona lagi.     

Dino mengidikkan bahunya keatas, dia ditanya kenapa bisa dan tujuannya apa dia saja tidak tahu pikirnya. "Sekarang kamu hati-hati, jika dia ngajak kamu kemanapun, jangan kamu mau, aku takut kamu kenapa-napa. Sebisa mungkin kamu bergerak cepat ambil jimat itu. Setelah itu biarkan Winarsih yang bertindak," ucap Dino lagi.     

"Iya, aku akan segera mengambil itu dan aku akan hati-hati mulai sekarang. Kalian juga hati-hati, jangan lupakan kalau dia itu bukan tandingan kita." Nona memberikan nasehat pada Dino dan lainnya.     

Panggilan berakhir seketika. Mobil yang mereka bawa sampai rumah. Mamang turun dari mobil dan membawa barang yang mereka beli.     

"Mamang, kami ke kantor dulu. Nanti jika ada apa-apa kasih tahu kami. Dan nanti kita kabari Mang Jupri tentang ini semua, dengan begitu Mang Jupri bisa waspada juga," ucap Dino lagi pada Mamang.     

Mamang menganggukkan kepalanya, dia ikut saja mana yang baiknya. Dino pergi meninggalkan Mamang di rumah sendiri. Paijo melajukan mobil menuju kantor berita mereka.     

"Dino, bagaimana jika benar pindah makam itu terjadi?" tanya Ian lagi.     

"Ya makanya kita harus cari tahu dulu, jangan asal nuduh. Bisa saja dia mau ke kuburan keluarganya," ucap Dino lagi.     

Paijo dan Ian menganggukkan kepalanya. mereka harus bisa lebih berpikir dengan positif. Di tempat lain Bram yang sudah membeli perlengkapan untuk dukun mengirim pesan pada Deki.     

drt ... drt ...     

"Halo Deki, bagaimana? Apa dukunnya bisa malam ini?" tanya Bram.     

"Halo Bram, katanya jumat malam saja, pas malam kliwon itu. Jadi kita bisa ke sana. Apa kamu sudah beli yang dukun itu katakan?" tanya Deki.     

"Sudah, aku sudah beli kembang tujuh rupa dan kalau tidak langsung ke tempat itu bisa layu ini kembang," ucap Bram lagi.     

Bram melihat bunga yang dia beli tadi di pasar. Dia juga tidak tahu kenapa harus beli itu semua. Deki yang mencari dukun, tapi dia yang harus cari kembang ini.     

"Bentar aku tanya sama dukun itu dulu. Siapa tahu dia bisa nanti malam," ucap Deki pada Bram.     

"Tanya dulu sana, nanti kalau aku bolak balik ke sana bisa ketahuan sama orang. Ini saja aku menyamar," ucap Bram dengan ketus.     

Deki terkekeh mendengar apa yang di katakan oleh Bram. "Iya sabar, nanti aku kabari lah. Kau tunggu saja kabar dariku ya," ucap Deki pada Bram.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.