Dendam Winarsih

Bawa Mbak Kamu Dino



Bawa Mbak Kamu Dino

0Nona hanya tersenyum kecut mendengar apa yang dikatakan Bram. Angin dari mana Bram mengatakan itu. Bram yang sudah pulang dari rumah Nona tersipu malu, dia tidak tahu harus berkata apa. Ada rasa penyesalan di hatinya saat mengingat kejadian 30 tahun lalu. Dia terlalu bodoh menghabisi Narsih dan sekarang dia malah mengejarnya.     

Drt ... drt ...     

Nona mengambil ponsel dan melihat Dino menelpon dirinya. "Iya Dino, ada apa ya?" tanya Nona.     

"Kamu lagi apa? Apa kamu udah makan Non? Kalau belum, aku antarkan kamu makanan," ucap Dino lagi.     

Nona memijit kepalanya, dia tidak tahu harus berkata apa. Dan tentunya dia mau jawab apa. "Sudah, tadi Bram datang. Aku rasa dia curiga kepadaku Dino. Karena aku tidak keluar rumah beberapa hari ini. Jadi dia datang ke sini," jawab Nona lagi.     

Dino terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh Nona. Dino tidak bisa marah pada Nona, karena ini sudah kesepakatan dan tentu dia tidak ada kuasa untuk cemburu karena Nona bukan kekasihnya, dia hanya sahabat yang mungkin hanya dia yang mencintai Nona tanpa ada balasan dari Nona.     

"Ya sudah, jaga diri kamu. Jangan buat diri kamu kenapa-napa. Aku mengkhawatirkan kamu. Aku harap secepatnya kita menemukan bukti untuk menyeret dirinya." Dino mengatakan itu dengan suara pelan.     

Nona tahu jika Dino mencintainya, dia bisa saat ini. Nona mengakhiri panggilannya dengan Dino. Dia langsung merebahkan diri di sandaran kursi.     

Malam harinya Dino dan yang lain pergi untuk ronda. Seperti biasa mereka akan ronda bersama Dulloh. "Dino hanya Dulloh saja yang ikut kita?" tanya Ian.     

Dino menganggukkan kepalanya. "Karena yang satunya sedang sakit, jadi kita saja yang ronda." Dino berjalan menuju pos ronda. Mang Dadang juga ikut, karena dia malas di rumah sendirian.     

Sampai di pos terlihat Dulloh sedang minum kopi dan nonton tv. "Sendiri saja bang? Mau aku temani tidak?" tanya Ian pada Dulloh.     

Dulloh yang mendengar suara Ian hanya berdecih saja. "Kalian sudah berapa hari ini tidak terlihat, kemana saja kalian?" tanya Dulloh lagi.     

Dino duduk dan menatap tv yang sedang ditonton oleh Dulloh. "Kami ada urusan, apa sudah keliling belum?" tanya Dino.     

Dulloh menggelengkan kepalanya dengan pelan dan tersenyum kecil. "Aku takut. Ini saja aku di temani sama mbak kamu tuh. Dia di pohon sana. Aku takut, tapi mau bagaimana lagi. Dino, bawa mbak kamu sana," ucap Dulloh sambil menunjuk ke arah pohon pete.     

Dino dan yang lain melihat ke arah pohon dan benar saja yang di katakan Dulloh. Dia di sana sambil bergelayutan manja di pohon pete. "Kebiasaan mbak kamu Dino." Ian menatap malas ke arah Narsih.     

Ian duduk di pos diikuti oleh Paijo dan Mamang. Ketiganya mengambil minum yang sudah tersedia. Dino masih memandang ke arah Narsih dan tersenyum ke arah Narsih.     

"Sudah, jangan melihat dia seperti itu. Bisa-bisa kamu jatuh cinta pada dia. Nona kamu kemanakan Dino?" tanya Ian yang terkikik.     

Dino berdecih mendengar apa yang dikatakan Ian. "Kenapa Narsih tahu kita di sini?" tanya Paijo.     

Dino dan Ian mengidikkan bahunya, dia saja tidak tahu Narsih di sana. "Kita kan baru tiba, dari mana aku tahu dia di sana." Dino melihat ke arah pohon dan Narsih masih tetap bergelayutan.     

Gubrakk!     

Pos ronda bergoyang kencang seperti gempa bumi. Dino dan lainnya saling pandang. mereka tahu itu ulah siapa lagi. Dino melihat ke arah pohon pete, tidak ada Narsih sama sekali. Ian turun dari pos dan melihat Narsih sedang di atas pos mereka.     

"Dino, bawa mbakmu pulang. Dia di atas pos kita. Bisa-bisa kita ketimpa lagi seperti waktu itu. Kamu mau kita malam-malam mandi karena harus berkubang di sana," ucap Ian sembari menunjuk ke arah got yang pernah mereka masuk waktu itu.     

"Bagaimana aku bilang ke dia. Mana mungkin aku antar dia ke tempat Bram. Yang ada aku yang dihabisi oleh dia. Kalian mau aku meninggal?" tanya Dino dengan wajah kesal.     

Pos ronda bergerak dengan pelan dan kadang keras. Dulloh, Dino dan lainnya hanya bisa diam dan saling pandang. Mang Dadang tidak bicara apapun, dia betah nonton dan minum kopi.     

"Ada setan Mas, itu di atas pos kalian, lari cepat!" teriak pengendara sepeda dan setelah itu dia masuk got.     

"AAAAAAA!" teriaknya dengan kencang.     

Gubrakk!     

"Eh, dia masuk kan dalam got. Duh, kasihannya dia," ucap Ian melihat pengendara sepeda jatuh ke dalam got.     

Tawa terdengar di pos ronda. Mereka menertawakan pengendara sepeda itu. Mereka tidak peduli Narsih masih di atas pos ronda.     

"Hiburan langsung ini," kekeh Paijo.     

Semuanya bergegas untuk membantu pria yang jatuh di dalam got. Mereka membantu mengangkat sepeda baru pria yang sudah berkubang.     

"Hati-hati naik sepeda. Lihat ke depan jangan lihat ke mana-mana. Lihat jatuhkan jadinya," ujar Ian.     

"Itu ada hantu di pos ronda. Apa kalian tidak tahu?" tanya pria itu.     

Mang Dadang berikan tas yang pria itu bawa. "Sudah pulang dan mandi. Jangan lihat di atas sana. Biarkan dia di sana ya," ucap Mang Dadang.     

Pria itu mengangguk kepalanya dan pergi meninggalkan tempat itu. Mereka kembali lagi ke pos ronda. Dulloh menatap ke arah atas dan masih terlihat Narsih di sana.     

"Apa pembunuhnya belum dapat ya? Kenapa lama sekali ya, kasihan dia jadi gentayangan seperti itu," ucap Dulloh dengan wajah sendu.     

"Kita belum cukup bukti. Kita tidak bisa asal nuduh saja. Walaupun kita tahu jika dia yang membunuh mbak Dino," ucap Ian     

Dino yang mendengar nama dia yang di bawa hanya menghela nafas. "Kenapa nama aku yang kalian bawa? Kan masih ada Paijo dan Mamang di sini dan Dulloh," sahut Dino.     

"Aku tidak kenal Dino, jadi mana mungkin aku yang jadi adik mbak kamu." Dulloh menyangkal apa yang dikatakan Dino.     

Ian dan Paijo terkekeh mendengar apa yang Dulloh katakan. Dia penakut, tapi setelah tahu Narsih itu mbak dino, dia menjadi pemberani. Padahal dia bukan mbak sesungguhnya.     

"Tapi, kenapa kamu tidak minta dia ikhlas saja Dino. Kan kasihan dia ke sana kemari, jiwanya tidak tenang sama sekali," ucap Dulloh lagi.     

"Aku tidak tahu, mungkin dia tidak terima jika meninggal seperti itu. Bisa saja dia ikhlas, asal Bram di hukum. Jika tidak dia tidak akan ikhlas," jawab Dino dengan wajah sendu.     

Semua diam dan tidak bicara lagi. Tidak ada yang bicara sama sekali. Mereka melakukan ronda keliling komplek, walaupun Narsih selalu mengikuti mereka, tapi tidak masalah bagi mereka. Tanpa mereka tahu, seseorang melihat ke arah mereka.     

"Mereka sepertinya kenal dekat sama hantu yang membunuh teman kita. Apa kita bunuh mereka atau culik saja mereka bos?" tanya salah satu pria itu pada bosnya.     

"Jangan, kita harus menunggu dulu. Kita jangan gegabah. Yang kita hadapi hantu, bukan manusia, karena mereka dilindungi hantu itu jadi kita harus cari cara yang lebih matang agat tidak terbunuh." pria yang di panggil bos itu memandang ke arah Dino dan yang lainnya.     

Narsih yang tahu diperhatikan hanya tersenyum. Dia sengaja memperlihatkan dirinya di depan mereka yang mengintai Dino dan lainnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.