Dendam Winarsih

Jangan Ambil Jasadku



Jangan Ambil Jasadku

0Dukun yang melihat ke dalam wadah melihat Narsih yang bersama pemuda yang tidak di kenal. Dia begitu akrab dengan pemuda itu.     

"Siapa dia? Kenapa dia tidak membunuh mereka? Apa hubungannya dengan hantu wanita itu?" tanya dukun itu pada dirinya sendiri.     

Air dalam beskom itu menunjukkan bagaimana Narsih tidak merasa terganggu dengan pemuda-pemuda itu. Dia merasakan keanehan yang sangat berbeda.     

"Aku akan meminta anak buahku lagi ke makam wanita itu. Aku akan ambil jasadnya sekali lagi. Aku yakin, dia tidak tahu sama sekali." Dukun itu bangkit dari tempat duduknya dan mencari anak buahnya.     

"Hei, kalian semua. Mbah ada tugas buat kalian. Ayo masuk cepat, jangan kalian duduk di luar." Panggil dukun itu pada anak buahnya.     

Anak buah dukun itu ikut masuk ke dalam dan duduk bersama dukun itu. "Ada apa mbah?" tanya anak buah dukun itu.     

Dukun itu melihat anak buahnya, dia memilih siapa yang pantas untuk dia minta ke sana. Dia tidak mau kehilangan anak buahnya lagi. Sudah dua anak buah yang tewas di tangan hantu wanita itu.     

"Siapa yang mau ke desa salak? Kalian cukup ambil jasad wanita. Seperti biasa yang kalian kerjakan. Apa kalian sanggup?" tanya dukun itu lagi.     

Semua menatap satu sama lain. Mereka tidak mau pergi, karena mereka tahu salah satu teman mereka ke sana tidak pulang, malah tidak ada kabarnya sama sekali.     

"Kemana kedua orang yang mbah minta pergi ke sana? Kenapa tidak kelihatan sama sekali. apa mereka baik?" tanya salah satu orang yang berada di depan mbah.     

Mbah dukun itu terdiam sesaat, dia tidak mungkin bilang kalau yang dia minta ke sana sudah meninggal dibunuh hantu itu. "Dia tidak bergabung dengan kita lagi. Dia izin keluar dari tempat ini. Katanya mau merantau," dusta dukun itu pada anak buahnya.     

Anak buah dukun itu hanya diam mendengar apa yang dukun itu katakan. Mereka tidak percaya sama sekali. Karena mereka pernah berbincang akan ke sana untuk mengambil jasad wanita itu dan dibawa ke sini.     

"Apa ada yang mau?" tanya dukun itu lagi.     

Semua anak buah dukun itu menggelengkan kepalanya. Mereka tahu jasad yang di ambil itu bukan jasad biasa. Mereka sudah mendengar desas desus mengenai jasad itu.     

"Maaf mbah, kami tidak bisa. Kami tidak punya kemampuan apapun untuk menangani dia. Kami takut," ucap salah satu anak buah dukun itu.     

Dukun itu hanya diam tidak berkata apapun, dia menatap tajam ke arah anak buahnya itu. Jika tidak ada yang mau, dia lah yang akan ke sana pikirnya lagi.     

"Ya sudah, aku akan ke sana. Apa tidak ada yang mau ikut?" tanya dukun itu lagi.     

Anak buah dukun itu menggeleng kepala. Mereka tidak mau pulang dalam bentuk mayat. Melihat anak buahnya tidak ada yang ikut, dukun itu memutuskan akan pergi seorang diri.     

Esok harinya bertepatan malam jumat kliwon, dukun itu sudah sampai di makam umum tempat Narsih dimakam kan. Dia tidak peduli bila dia bertemu dengan Winarsih.     

"Di mana kuburan dia, kenapa tidak ada kelihatan," gumam dukun itu lagi.     

Dukun itu terus mencari ke segala arah. Tanpa dia sadari matanya tertuju pada pondok yang di dalamnya ada anak buahnya yang sudah tewas dengan sangat mengerikan.     

"Kurang ajar kamu Narsih, berani sekali kau membunuh anak buahku dengan sadis!" geram Dukun itu.     

Dia melihat nisan kayu yang tertulis nama Winarsih. Dukun itu tersenyum kecil, karena sudah menemukan makam Narsih. "Mari kita lihat, apakah mayat ini sudah jadi kerangka atau masih utuh." Dukun itu mulai menggali makam narsih.     

Narsih yang berada di atas pondok menatap tajam ke arah dukun itu. Dia menunggu apa yang dukun itu perbuat. Dia masih menunggu sambil memegang golok yang biasa dia gunakan untuk membunuh orang yang mengganggunya.     

Galian kuburan di makam Narsih semakin dalam, dukun itu melihat jasad yang berbaring dan benar dugaanya masih utuh. Tidak ada bau sama sekali persis seperti orang tertidur.     

Narsih yang melihat mayatnya diangkat mulai menunjukkan amarahnya. Angin di kuburan mulai kencang membuat dukun itu kewalahan. Pondok yang di dekat makam Narsih bergoncang hebat.     

"Kembalikan jasadku, jangan kau ambil jasadku." Suara Narsih bergema dengan sangat lantang dan membuat bulu kuduk merinding.     

Angin terus berputar kembali dan semua pohon dan bunga bertebaran ke segala arah. Dukun itu tidak peduli, dia tetap membawa jasad itu keluar. Lagi-lagi Narsih berteriak dan memekik karena jasadnya di ambil dukun itu.     

"Jangan ambil jasadku, letakkan kembali jasadku!" teriak Narsih.     

Dukun itu melemparkan bunga yang sudah dia baca ke segela arah. Paku dan segala macam dilempar ke segela arah. Suara jeritan Narsih terdengar sangat kuat.     

"AAAAAAA! JANGAN AMBIL!" teriak Narsih dengan kencang.     

Narsih tidak mau jasadnya di ambil oleh dukun itu. Dia terbang ke sana kemari. Dia tidak bisa menghabisi dukun itu karena mantra dan paku juga yang lainnya masih bertebaran di dekat dukun itu. Dukun itu tersenyum kecil melihat Narsih yang ke sana ke mari.     

"Aku akan menjadikan kau budakku. Jadi ikut kataku, jika tidak mau jasadmu aku bakar!" teriak dukun itu pada Narsih.     

"AAAAAA! jangan bawa jasadku!" teriak Narsih lagi.     

Narsih mengeram dan amarahnya makin menjadi. Dia melihat jasadnya digendong dan dukun itu memakai sesuatu di lehernya yang tidak bisa Narsih dekatin. Narsih terus menangis dan berteriak kencang. Dia melihat jasadnya sudah pergi dari makamnya.     

Narsih menangis sejadinya, tidak ada yang bisa dia perbuat. Narsih pergi begitu saja. Dia pergi menemui Dino dan temannya di kota. dia ingin Dino membawa jasadnya kembali.     

Dino, Ian, Paijo dan Mang Dadang juga Nona yang berhasil kabur dari pintu belakang tengah makan bakso di rumah. Mereka merayakan hari kebebasan mereka dari Bram. tidak lama suara gaduh terdengar.     

Uhukk ... uhukkk ...     

Ian terbatuk karena suara gaduh terdengar sangat kencang. Pintu terbuka sendiri dan angin juga petir menyambar. Langit yang gelap makin gelap. Mereka makan malam karena mereka sedang menonton acara sepak bola. Alhasil mereka bergadang.     

"Mati kau anak kebo!' pekik Paijo dengan kencang.     

Bakso Paijo menyembur ke wajah Dino. Mang Dadang mengelak ke arah Dino, alhasil Dino lah yang kena sembur. "Kalau makan bisa tidak sopan santunnya dijaga. Ini bakso pedas monyong, kampreto kau ya Paijo." Dino mengusap wajah tampannya dengan tisu.     

"Uhuuk ... uhukkk ... maafkan aku Dino. aku kaget pintu terbuka. Dan kenapa tiba-tiba angin kencang dan petir. Pintu juga sudah aku kunci," ujar Paijo pada Dino.     

Ian meminum air satu ceret, dia merasa lehernya terbakar karena kesedak. "Sialan, siapa yang buka pintu nggak pakai pikiran sama sekali. Kalau aku mati karena keselek bakso bagaimana hahhh?" teriak Ian dengan wajah merah padam bibir yang bengkak perut yang penuh air. Sudah seperti sapi yang di cekokin air biar gendut.     

Narsih masuk sambil menatap Dino dan yang lainnya. Dino menatap Narsih dengan intens, dia melihat Narsih yang auranya tidak bisa dibawa bercanda. Ian dan Paijo juga tahu akan hal itu. Ian yang memakan bakso menelan baksonya dengan kasar.     

"Kali ini apa lagi Paijo?" tanya Ian lirih.     

Paijo menggeleng pelan dia yang melihat Narsih dengan goloknya menelan saliva bersama baksonya. "Mbak manisku, ada apa gerangan mbak manis hujan-hujan ke sini? nanti mbak manis sakit," cicit Ian dengan suara bergetar.     

Dino yang melihatnya menggeleng kepala. Di saat seperti ini Ian masih sempat bercanda. "Kembalikan jasadku padaku," jawab Narsih dengan suara yang bergema.     

"KEMBALIKAN JASADKU?" tanya semuanya dengan penasaran.     

"Jangan ambil jasadku," jawab Narsih kembali sembari menangis.     

Lagi-lagi Dino dan lainnya mengangga mendengar apa yang dikatakan Narsih. "JANGAN AMBIL JASADKU?" tanya mereka lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.