Dendam Winarsih

Narsih Mengamuk



Narsih Mengamuk

0Semua orang terdiam mendengar apa yang dikatakan Narsih. Narsih mengamuk karena jasadnya diambil paksa sama dukun. Dan dia tidak bisa merebutnya karena dukun itu sudah memakai aji pamungkas apa lagi mantra dan segala macam yang membuat narsih tidak bisa berkutik.     

"Dia mulai mengamuk, lihat lah dia menghentakkan kaki di lemari kita dan alamat kita tidur tidak tenang." Ian menghela nafas panjang melihat Narsih yang menangis dan menendang lemari apa lagi goloknya berderit.     

"Siapa yang tega mengambil jasad Narsih, kenapa mereka tega sekali?'' tanya Nona dengan suara lirih.     

Semua yang di dalam rumah hanya diam. Tidak ada yang menjawab sama sekali. mereka hanya mendengar Narsih yang menangis dan tertawa juga teriak.     

"Dia frustasi. aku pikir hanya manusia saja yang seperti itu, hantu juga bisa frustasi. Dino, kita mau cari dimana jasadnya. Kita saja tidak tahu jasad itu dibawa," ujar Paijo lagi.     

"Aku juga tidak tahu, cara satu-satnya ikutin Bram kemana dia pergi. Jika tidak, kita tidak tahu, kalian tahu sendiri kan dia mau ke dukun. Tapi tidak jadi dan kita malah melihat orang lain dan dibunuh oleh Narsih," jawab Dino.     

Mamang masih melihat dari kejauhan Narsih yang masih menangis. "Ini pasti untuk ritual dukun itu. Dia tahu kalau jasad itu masih utuh, Mamang takutnya kalau mayat itu akan dihidupkan kembali, jika itu terjadi, maka Narsih tidak bisa tenang dan arwahnya akan hilang untuk selamanya. Dia akan terkurung di jasadnya dan dikendalikan oleh dukun itu," jawab Mamang lagi.     

Dino dan lainnya mengangga mendengar apa yang dikatakan oleh Mamang. "Mang, apa itu benar? Hampir sama seperti kuntilanak gitu ya? Kepalanya dipaku dan sebagainya?" tanya Dino.     

Ian dan Paijo juga Nona menunggu jawaban dari Mamang. Ketiganya penasaran dengan apa yang Mamang katakan. Mamang menganggukkan kepalanya pelan. Ian dan Paijo menepuk kening mereka.     

"Apa tidak berbahaya Mang?" tanya Ian.     

"Apanya yang berbahaya? Sejauh ini yang saya tahu apa ya, kasihan sama arwahnya. Itu pun kalau saya tidak salah," jawab Mamang.     

Helaan nafas terdengar jelas dari mulut mereka semua. Apa lagi sekarang Narsih sudah tidak bisa dikontrol lagi. Dia membuat pintu kamar buka tutup dengan kencang.     

"Bagaimana ini? Kita tidak tahu dimana dukun itu dan lihat mbak manis kamu Dino, mengamuk tidak jelas. Bukan kita yang ambil kan jasadnya, kenapa kita yang di salahkan," kesal Ian melihat pintu kamar dan pintu depan yang terbuka tertutup dengan keras.     

Nona masuk ke dalam kamar, dia ingin bertemu dengan Narsih, tapi tangan Nona di tahan oleh Dino. Dino menggelengkan kepalanya.     

"Jangan dulu, biarkan dia di sana. Dia bukan kita yang bisa dibujuk dengan mudah. Biarkan dia dulu, mungkin saat ini dia sedih dan ingin meluapkan kesedihannya. biarkan dulu dia," ucap Dino lagi.     

Nona tidak jadi bangun, dia duduk kembali dan menatap sendu ke arah kamar Dino. Narsih masih nangis dan tentu dia terbang ke sana kemari.     

"Mari kita selesaikan ini, setelah itu kita istirahat dulu. Nona, kamu tidur di kamarku apa kamar Mamang? Mang tidak apa kan dia tidur di kamar Mamang?" tanya Dino.     

"Tidak apa, biarkan dia tidur di sana. Mamang bisa tidur di kursi sini. Lagian tidak mungkin Nona tidur di kamar itu, sedangkan ada Narsih di dalam sedang mengamuk," ujar Mamang lagi.     

Dino menganggukkan kepalanya. Setelah selesai berbenah, mereka mulai tidur. Nona mengunci pintunya dan merebahkan dirinya di kasur. Dari kamar terdengar tangis Narsih yang sangat memilukan. Nona ikut menangis karena dia tidak bisa membayangkan jika jasad itu digunakan untuk hal yang tidak benar.     

"Aku merasakan kesedihan mbak manis. Dia pasti sangat sedih saat ini. Aku tidak menyangka jika dukun itu tega mengambil jasad Narsih," cicit Ian.     

Dino, Ian, Paijo dan Mamang terbaring di lantai dengan kasur lipat. Semua mendengar Narsih masih menangis, Narsih tidak mengamuk lagi, dia juga tidak membuat keributan sama sekali. Hanya tangis yang memilukan yang terdengar.     

"Kita harus cari jasad itu. Mulai besok kita intai Bram, kita ikuti kemana dia pergi." Dino menatap sahabatnya dan mamang Dadang.     

"Apa kita bagi dua saja, temannya juga terlibat, jadi kita mengawasi temannya juga. Siapa tahu dari temannya kita bisa tahu dimana rumah dukun itu. Kan bisa saja mereka pergi bersama atau sendiri-sendiri," ucap Ian lagi.     

Semuanya terdiam memikirkan apa yang dikatakan Ian." Aku setuju dengan apa yang dikatakan Ian. Kita harus ikuti teman Bram juga, jangan hanya dia saja." Paijo menatap Dino dan Mamang.     

Dino melihat Mamang Dadang. Mamang mengangguk pelan. "Mamang setujuh, karena yang terlibat bukan hanya Bram, tapi temannya juga. Jadi jangan lupakan itu juga. Mungkin pengawasan mereka lebih renggang dari Bram," sambung Mamang Dadang lagi.     

"Ok, kalau begitu kita cari tahu teman Bram, karena selama ini kita hanya tahu Bram saja. Tapi tunggu dulu, yang di berita itu kalian tahu tidak, seorang pengusaha dibacok di apartemennya dan sekarang masih koma." Dino menatap ke arah temannya.     

"Iya, benar aku ingat. Apa dia salah satu teman Bram? Jika iya bisa kita ke sana, siapa tahu kita ketemu dengan salah satu teman Bram di sana. Nah, kita bisa ikuti mereka," ucap Paijo lagi.     

Ian mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan oleh Paijo. "Baik, kita ke sana besok. Aku dan Mamang ke sana. Kalian ke kantor dulu, aku takutnya manager akan cari kesalahan kita. Bukannya Bram pernah ke sana dan kenal sama manager, jika kita tidak di sana maka kita bisa dipecat," kata Ian lagi.     

Dino dan Paijo baru sadar, jika Bram pernah ke sana dan tentunya hubungan dengan manager dekat.     

"Besok kalian ke sana, naik apa?" tanya Dino.     

"Kita naik ojek saja ke rumah sakit," kata Mamang.     

"Jangan, kalian naik mobil. Kami naik taksi saja ke kantor, tapi kami akan antar Nona ke rumah. Nona kan bisa naik motornya, kita berjaga saja," ucap Dino lagi pada mereka semua.     

Semuanya mengganggukkan kepala. Rencana yang mereka buat tersusun rapi. Dino dan lainnya mulai memejamkan matanya. Ian sedikit gelisah karena suara tangisan Narsih yang makin sukses membuat bulu kuduk merinding.     

"Dino, bisa kamu bilang ke mbak manis kamu itu untuk diam? Aku merasakan jika jiwaku akan meronta dan ingin melakban mulutnya. Aku tidak bisa tidur sama sekali," kata Ian yang menutup kupingnya dengan bantal.     

Dino menghela nafas, dia mau bilang apa ke Narsih. Nasib baik dia nangis, dari pada dia mengamuk seperti tadi. Bisa bahaya rumah ini pikirnya.     

"Jangan dengarkan, tutup saja kupingmu. Anggap saja itu nyanyian sebelum tidur. Mahal kalau kita dengar lagu klasik atau lagu pengantar tidur dari penyanyi ternama. Ini kan gratis," sambung Paijo.     

Ian berdecih mendengar jawaban Paijo. "Pengantar tidur katamu? Cihh! Yang ada sampai besok pagi tidak bisa tidur kita dibuat Narsih." Ian berbalik menghadap Mamang yang sudah ngorok.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.