Dendam Winarsih

Pengintaian



Pengintaian

0Ian tidak bisa tidur semalaman karena tangisan dan jeritan juga amukkan Narsih di rumah mereka. Menjelang subuh, Ian dan lainnya baru bisa tidur itu hanya sebentar sisanya mereka menjalankan ibadah subuh.     

"Ian mau kemana lagi?" tanya Paijo dengan mata yang cekung.     

Ian berjalan gontai usai ibadah. Dia tidak tahan dengan kantuknya yang sudah sampai di ubun-ubun. "Aku mau tidur. Nanti agak siangan dikit, aku akan melakukan pengintaian bersama Mamang. Jadi izinkan aku tidur pergi tidur sekejap," ucap Ian yang sudah tertidur.     

Dino dan Paijo juga melanjutkan tidur menjelang hari terang. Nona yang sudah bangun menatap ke arah Dino dan lainnya.     

"Cih! Masih tidur saja mereka. Mang, jam berapa pergi pengintaian di rumah sakit itu?" tanya Nona lagi.     

Nona pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Dia melihat kulkas Dino terisi bahan makanan lengkap. Mamang mengidikkan bahunya ke arah Nona.     

"Lihat saja, sudah jam delapan mereka tidak bangun, apa tidak kerja mereka itu?" tanya Mamang melihat Dino dan sahabatnya tertidur.     

Nona meninggalkan sejenak masakannya, dia mendekati Dino, Ian dan Paijo. Nona menepuk pundak ketiganya untuk membangunkan ketiganya.     

"Hei, bangun cepat. Sudah jam berapa ini! Kalian mau tidur sampai kiamat. Kalian harus melakukan pengintaian dan lihat kamar kalian itu sudah seperti kapal pecah," ucap Nona lagi.     

Dino membuka matanya dan melihat jam sudah lewat, dia bergegas mandi untuk bekerja. Begitu juga dengan Ian dan Paijo. Dia langsung bergerak mencari handuk untuk mandi.     

"Coba lihat kamar ini. Aku baru sadar jika kamar kita akan bolong lagi dibuat mbak manis Dino." Ian menatap sendu kamarnya yang bolong karena gerukkan golok Narsih.     

"Kita akan plaster lagi ini ceritanya, apa nanti malam dia akan kembali mengamuk lagi ya?" tanya Paijo.     

Mamang menepuk pundak Ian dan Paijo. "Sudah, jangan diplaster dulu. Nanti jika sudah dapat jasadnya baru kalian plaster. sekarang kalian tutup pakai apa saja untuk menutupi lubang itu," jawab Mamang pada keduanya.     

Keduanya mengangguk pelan mengiyakan apa yang mamang katakan. Lima belas menit Dino keluar dari kamar mandi di susul oleh Ian dan begitu selanjutnya.     

"Ayo kita makan dulu, setelah ini kalian hantar aku ke rumah untuk ganti baju dan pergi ke kantor dengan motorku," ucap Nona.     

Nona, Dino dan lainnya makan bersama. Mereka menikmati sarapan mereka. Selesai makan mereka mengantar Nona ke rumahnya lewat jalan belakang. Setelah itu mereka ke kantor untuk absen, baru Ian dan Mamang pergi ke rumah sakit tempat teman Bram dirawat.     

"Kamu tahu rumah sakitnya Ian?" tanya Mamang lagi.     

"Tahu Mang, soalnya kan ada di file kantor. Berita itu sudah menyebar dan jadi topik utama di koran dan televisi," jawab Ian pada Mamang.     

Mobil melaju ke rumah sakit yang mereka tuju. Setengah jam kemudian Ian dan Mamang tiba di rumah sakit untuk mencari keberadaan teman Bram.     

"Di lantai mana?" tanya Mamang.     

"Katanya di ruang ICU. Tapi coba kita lihat dulu di sana nanti baru kita tanya suster di sini. Jika kita tanya mereka sekarang yang ada ketahuan," ujar Ian.     

Keduanya masuk dalam lift untuk menuju ruang ICU. Pintu lift terbuka, keduanya masuk bergegas ke dalam lift.     

Ting!     

Pintu lift terbuka di lantai ruang ICU. Keduanya mencari setiap kamar yang di lapisi kaca. Tidak menemukan satu orang pun di ruangan itu. Mamang yang sekilas melihat sosok Bram bersama dua pria sedang berdiri di depan kamar inap menarik tangan Ian untuk sembunyi.     

"Eh, ada apa Mang? Kenapa Mamang menarik tanganku? Apa Mamang melihat sesuatu?" tanya Ian.     

Keduanya sudah bersembunyi di balik tembok lorong rumah sakit. Mamang Dadang menunjuk ke arah sudut kamar ICU. Ian yang melihat ke arah telunjuk Mamang Dadang memicingkan matanya.     

"Mang, itu Bram bukan? Ngapain dia di sana?" tanya Ian dengan penasaran.     

"Mungkin dia mau jenguk temannya yang dibacok oleh Narsih. Dan bisa saja mereka mau diskusi tentang jasad Narsih. Kita harus segera mendapatkan Narsih kembali. Jika tidak maka habis lah," ucap Mamang lagi.     

Ian mengangguk pelan dan menunggu Bram dan temannya pergi. Setengah jam menunggu mereka semua membubarkan diri. Mamang mengangguk kepada Ian sebagai kode. setelah ketiganya naik lift, Ian bergegas naik lift di sebelah menuju lantai bawah.     

"Yang mana satu kita ikuti Mang? Ada dua itu." Ian memberikan pilihan pada Mamang.     

"Kita ikuti yang mudah diikuti dan tidak cerdik saja. Dari pandangan Mamang pria yang memakai kemeja biru. Dia sepertinya bisa kita intai," jawab Mamang.     

Ian menyertujui pendapat Mamang. Pintu lift terbuka, keduanya turun dan mencari pria atau teman Bram yang memakai pakaian biru. Ian menunjuk ke arah parkiran dan pria yang mereka maksud bergerak menuju mobilnya.     

"Ayo Mang, pengintaian kita di mulai. Aku mau tahu dimana dukun itu membawa mbak manis Dino," kata Ian lagi.     

Keduanya berlari dan segera masuk mobil tanpa sepengetahuan Bram dan temannya. mereka mengikut teman Bram yang bernama Diman. Hanya Diman yang bisa diikuti dan tidak pernah peduli dengan sekitar.     

"Mang, dia pergi kemana ya?" tanya Ian.     

Mamang mengidikkan bahunya. "Apa dia pergi ke kantor ya? Jika iya, maka bisa lama kita mengintai dia ini," ucap Mamang.     

Keduanya mengikuti mobil Diman sampai ke kantor. Ian melihat kantor Diman yang cukup besar. Mereka menunggu di luar sambil memperhatikan Diman yang masuk ke dalam kantor. Tidak berapa lama sebuah mobil masuk dan terlihat Bram dan temannya yang lain turun.     

"Mang, lihat itu Bram dan temannya tadi. Apa dia mau ke tempat dukun itu? Jika iya, itu keberuntungan kita Mang," ucap Ian lagi.     

"Kita tidak mungkin pergi berdua, risikonya lebih berat. Coba kita telpon Dino dan Paijo, kita tanya pada mereka, bisa tidak mereka ikut kita," kata Mamang Dadang.     

Mamang dadang menelepon Dino yang berada di kantor. Dia ingin menanyakan apakah bisa atau tidak dia ikut bersama mereka.     

Tut ... tut ...     

"Halo, assalamualaikum Mang, ada apa Mang?" tanya Dino.     

"Nak Dino sama Paijo sibuk di kantor?" tanya Mamang pada Dino.     

"Sepertinya tidak Mang. Kami tidak ada kerjaan, kami di suruh susun naskah saja, untuk pencetakkan dukun yang waktu itu. Karena berkasnya hilang juga gambarnya hilang. Jadi kami sibuk mencarinya," jawab Dino.     

"Tapi bisa keluar kan?" tanya Mamang.     

"Bisa Mang, tuh teman kami yang waktu itu foto mencarinya. Dan katanya sudah nemu juga, entah lah kenapa bisa hilang timbul gitu," jawab Dino.     

"Kalau begitu, datang ke kawasan apa ini namanya Ian?" tanya Mamang Dadang. "Jalan kenari kawasan perusahan elit Dino, kalian cepat ke sini. Sepertinya kita akan ke rumah dukun itu," jawab Ian sambil memperhatikan situasi kantor Diman.     

"Ok, kami segera ke sana." Dino mengakhiri panggilan tanpa menunggu Mamang mengatakan sesuatu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.