Dendam Winarsih

Deka Sadar



Deka Sadar

0Bram yang mendengar apa yang dikatakan oleh Diman mengerjapkan matanya. Dia tidak percaya kalau Deka sadar. Diman duduk dan memakan buah-buahan yang ada di meja santai. Bram yang baru bermimpi buruk mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat.     

"Kau yakin? Jika Deka sudah sadar? Kalau begitu kita harus melihatnya ke sana," kata Bram yang duduk di sebelah Diman.     

Deki yang duduk di depan Bram hanya menatap wajah Bram dengan tatapan tajam. "Kau sudah bertemu dukun itu?" tanya Deki.     

Bram yang hendak minum menghentikan gerakkan tangannya. Dia melihat ke arah Deki, teman yang sudah menculik wanitanya, sehingga wanitanya itu tidak mau bertemu dengannya.     

"Masih punya muka kau bertemu denganku? Dan masih berani kau mengatakan bertemu dukun sialan itu? Aku sungguh membencinya, kau juga aku benci." Bram kesal karena Deki yang menyerahkan Nona tanpa sepengetahuan dirinya.     

"Sudah, jangan kalian bertengkar. Deki, aku bukan bela Bram, tapi kau harus kasih tahu aku, kita bukannya dilindungi tapi kita dimanfaatkan oleh dukun itu lihat, saja apa dia ada kasih kita sesuatu tidak? Malah yang kasih kita jimat pelindung itu dukun yang sudah meninggal itu, kalau tidak kita akan habis hari itu juga, jadi jangan bertindak sendiri lah," sambung Diman yang kesal juga dengan kelakuan Deki yang main sendiri-sendiri.     

"Dia bilang kalau kita membawa wanita itu kita akan selamat, jadi aku memikirkan itu semua, apa aku egois? Bram yang egois karena mementingkan wanita dari pada kita semua," ucap Deki yang membela dirinya.     

Deki tidak terima kalau dirinya di salahkan oleh keduanya. Bram mencibir mulutnya. "kau yang sudah menyebabkan aku hampir mati di tangan Narsih tahu tidak, aku ke sana untuk melihatnya dan apa yang terjadi aku dikelabui Narsih hingga masuk hutan untung aku bisa selamat. Aku tidak peduli dukun itu mati atau masih hidup, yang penting aku tidak mati ditangan Narsih." Bram meminum air sampai tandas.     

"Kapan kita lihat Deka?" tanya Diman.     

"Aku ikut saja. Apa Deka masih memakai jimat itu kan?" tanya Bram.     

Diman menganggukkan kepalanya. "dia masih pakai, tapi katanya dia tidak bicara, seperti yang aku katakan tadi. Aku rasa dia shock kali karena melihat Narsih waktu itu, jadi dia masih belum merespon sama sekali," jawab Diman.     

"Kalau sudah syok, bagaimana kita bisa bertanya apa yang terjadi?" tanya Deki.     

"Kita tunggu saja lah dia pulih, asal jangan Narsih tahu, jika tahu habislah." Diman menjelaskan apa yang tidak dia pikirkan.     

"Aku setuju, asal jimat itu tidak jauh dari dia. kalau jauh habis lah dia," kata Bram yang berlalu dari hadapan ke dua sahabatnya.     

Deki dan Diman menikmati makanan yang dibawa oleh pelayan rumah Bram. Mereka belum mau pergi dari rumah Bram. Mereka mau membicarakan apa yang akan mereka lakukan.     

Besok paginya, Bram dan kedua sahabatnya bergerak menuju rumah sakit untuk menjenguk Deka. Ketiganya yang tiba di rumah sakit langsung ke ruangan Deka. Deka menginap di ruang VIP. Dia di tempati di VIP agar lebih nyaman untuk Deka. Ketiganya yang sudah berada di ruangan Deka perlahan masuk, terlihat keluarga Deka menjaga Deka.     

"Bram, kau apa kabar?" tanya istri Deki menyapa dirinya.     

"Baik, maaf aku baru bisa menjenguk Deka. Bagaimana kabar Deka? Apa dia ada respon?" tanya Bram.     

Istri Deka melihat suaminya yang berbaring dengan mata terbuka. "Dokter bilang dia sepertu syok berat. Jadi dia seperti itu," jawab istri Deki yang meneteskan air matanya.     

Bram mendekati Deka dan melihat ada kalung yang sama seperti yang dia pakai dan temannya. Bram sedikit lega karena istri Deka tidak membuang jimat pelindung dari tanah kuburan itu.     

"Deka, kau ingat aku?" tanya Bram perlahan sambil memegang tangan Deka.     

Pandangan Deka mengarahkan kearah Bram, dia bergetar dan meneteskan air matanya. Deka menggerakkan mulutnya perlahan, dia seolah ingin berbisik kepada Bram. Bram yang tahu mendekati telinganya ke mulut deka.     

"Di-dia da-datang, dia datang Bram," ucap Deka yang berbisik di telinga Bram.     

Bram kaget karena Deka mengatakan itu. Istri dan kedua sahabat Deka kaget melihat Deka berbisik, walaupun hanya Bram dan Deka yang tahu, tetap istri dan kedua temannya terharu.     

"Dia bicara apa pada Bram?" tanya Deki yang berbisik di telinga Diman.     

Diman menggelengkan kepala, dia juga tidak tahu Deka berbicara apa. "Aku tidak tahu, nanti saja kita tanya Bram, tidak pantas kita bicara di depan istrinya. istrinya tidak tahu keburukkan suaminya di masa lalu," sambung Diman.     

Diman dan Deki duduk menunggu giliran untuk bertemu dengan Deka. Setelah selesai dengan Bram, Bram mendekati temannya. Dia menatap keduanya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca oleh keduanya. Deki dan Diman mendekati Bram, tapi Deka tidak berbicara apapun, dia hanya diam tanpa merespon panggilan dari keduanya. Diman dan Deki menyerah, ke duanya akhirnya pamitan, begitu juga Bram.     

Diman menepuk pundak Bram, dia mau tahu apa yang Deka katakan. Dia penasaran dengan pembicaraan keduanya. Bram yang tahu ke dua temannya penasaran menghela nafas panjang.     

"Dia hanya bilang, kalau dia datang. Sisanya tidak ada lagi. Aku tidak tahu dia itu siapa? apakah Narsih atau siapa," ucap Bram lebih dulu tanpa mendengar apa yang akan ditanyakan oleh ke duanya.     

deki dan diman terdiam mendengarnya. "Kau kenapa bertanya siapa? jelas Narsih, dia yang hampir membunuh Deka, jika bukan karena pertolongan orang mungkin saat ini kita kehilangan dia," ucap Deki yang kesal dengan apa yang Bram katakan.     

"Jadi, kau menyalahkan aku? Harusnya kau katakan pada dirimu sendiri, yang memberikan ide itu, jadi jangan lupa kan itu Deki." Bram kesal karena Deki menyalahkannya.     

Diman yang mendengar pertengkaran keduanya mulai kesal. Semua orang melihat ke arah mereka bertiga. "Kalian bisa tutup mulut tidak? Kalian pikir kalian itu bertengkar ada manfaatnya? Nggak kan? Sudah tutup mulut kalian, nanti kedengaran oleh istrinya bagaimana hmm?" tanya Diman kepada kedua temannya.     

Bram meninggalkan keduanya, dia tidak mau memperpanjang apapun, dia sudah terlanjur kesal dan dia lebih baik pergi, karena jika dia berlama di dekat deki bisa habis Deki dia pukul dengan tangannya. Deki dan Diman hanya memandang kepergian Bram.     

"Aku harap kau tidak bertindak seperti waktu itu, jika mau lakukan itu lagi, maka kau tidak perlu menjadi sahabat kami. Kita itu dalam keadaan terjepit, jadi jangan bertindak sendirian pikirkan kami juga." Diman pergi meninggalkan Deki yang mengetatkan rahangnya, dia kesal karena Diman memihak Bram sedangkan dia dibenci.     

"Awas kau Bram."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.