Dendam Winarsih

Aku Harus Apa



Aku Harus Apa

0Nona yang mendengar apa yang dikatakan oleh Narsih hanya diam dan menatap nanar ke arah ke tiga temannya dan yang lain. Dia tidak tahu harus apa saat ini, masalah datang bertubi-tubi. Nona terduduk dan tidak bisa berpikir. Melihat Ian dan Dino saling berdebat.     

"Kalian bisa diam tidak? Kita itu menghadapi orang yang licik. Jika kita bertengkar, maka yang ada kita itu akan mudah di permainkan," ucap mang Dadang kepada keduanya.     

Dino dan Ian diam tidak ada lagi perdebatan satu sama lain, Paijo memijit keningnya yang terasa berdenyut. Mang Jupri diam tidak berkata apapun, Bibi Sumi mendekati Nona dan mengelus punggung Nona dengan lembut.     

"Sabar nduk, jangan memikirkan apapun yang membuat kamu gelisah. Ingat mereka pasti membantu kamu, sekarang kamu tenangkan pikiran dulu ya," ucap Bibi Sumi kepada Nona.     

Nona menganggukkan kepala, dia merebahkan dirinya di dada Bibi Sumi. Bibi Sumi memeluk Nona, dia menyemangati Nona agar tidak kepikiran. Dino kasihan melihat Nona yang selalu diburu oleh semua orang. Salah dia apa kepada mereka semua.     

"Apa kita tidak bisa ya buat dia ditangkap polisi saja, kita buat dia masuk penjara. Kita katakan semua kesalahannya, dengan begitu kita tidak berurusan dengannya. Dan untuk dukun itu juga kita jebloskan ke penjara saja, aku sudah muak sekali melihat dia." Paijo kesal dengan kedua orang itu.     

"Kau pikir kita bisa seenaknya saja jebloskan orang tanpa bukti kejahatannya. Zaman dulu tidak ada yang namanya bukti yang kayak di kantor itu sekarang saja ada, jadi mana mungkin bisa tahu kalau dia pembunuhnya." Ian kesal mendengar apa yang Paijo katakan.     

"Kalian bisa tenang tidak? Jika kalian berdebat, kita tidak akan bisa membuat semua ini menjadi terang, kita waspada saja, kalian pahamkan?" tanya mang Dadang.     

Semua terdiam dan tidak berbicara lagi. Nona yang menangis tersedu, dia tidak mau sahabatnya berdebat hanya masalah dirinya. aku harus apa Tuhan, aku tidak tahu bagaimana nanti jika benar yang dikatakan Narsih, dia pasti melupakan mereka semuanya.     

"Kalian jangan bertengkar, aku akan menghalangi mereka, kalian jangan takut," ucap Narsih dengan suara datar.     

Mereka semua melihat ke arah Narsih yang berkata seperti itu. "Mbak manis, kau yakin mau bantu kami? Bukannya kau dan Nona yang mereka mau? Kenapa kau mau bantu kami?" tanya Ian kepada Narsih.     

Narsih hanya memandang Ian dan menganggukkan kepalanya. Ian memandang ke arah Dino dan meminta pendapat Dino. Dino yang dipandang Ian menghela nafas, dia pun memandang mang Dadang dan mang Jupri.     

"Apa yang harus kita lakukan mang?" tanya Dino kepada ke dua mamang.     

Mang Dadang melihat ke arah mang Jupri, dia tidak mau mengambil keputusan sendiri. mang Jupri menghela nafas, dia harus memberikan pendapatnya.     

"Kita ke ustad saja, minta pak ustad mendoakan Nona, kalian setuju?" tanya mang Jupri.     

Mang Jupri tidak tahu harus berbuat apa, kalau masalah seperti itu ya minta orang yang tepat. Dino menganggukkan kepalanya, dia setuju dengan yang dikatakan mang Jupri.     

"Aku setuju saja, karena mungkin semua yang terbaik. Sambil kita memikirkan bagaimana menjebak Bram dan temannya itu." Dino mengatakan apa yang ada dipikirannya.     

"Aku ikut juga, kapan kita pergi mang? Apa di desa mang ada ustad yang bisa menangkal yang mbak manis katakan?" tanya Ian.     

"Ada, ustad yang waktu itu. Dia bisa, kita minta pendapat dia seperti apa setelahnya kita serahkan pada sang pencipta saja," ucap mang Jupri.     

Semua orang yang berada di ruang tamu menganggukkan kepalanya, mereka akan ke Desa Salak secepatnya, mereka tidak mau masalah ini berlarut, lebih baik cepat dari pada ke duluan yang lain.     

"Ayo kita ke sana sekarang, kita harus bisa bertemu ustad, kalian bersiap lah, perjalanan kita jauh bisa saja mereka langsung berbuat dan membuat kita makin kesulitan menyembuhkannya," ucap mang Jupri kepada yang lain.     

"Sekarang mang kita pergi? Kalau gitu kita bersiap lah," ujar Ian kepada mang Jupri.     

Semua orang bergegas bersiap menyiapkan pakaian, Dino mengirim pesan ke manager meminta izin untuk tidak masuk karena sakit perut, begitu juga Ian dan Paijo dengan alasan yang berbeda. Setelah mendapatkan izin, mereka bersiap. Setelah selesai mereka langsung bergerak dan langsung masuk mobil.     

"Nona, percayalah kamu akan baik-baik saja," gumam Dino dalam hati.     

Ian yang melihat tatapan Dino ke Nona menepuk pelan pundaknya dan tersenyum kecil. Dino ikut tersenyum dan duduk di bangku untuk menyetir. Mobil Dino melaju ke Desa Salak, dia tidak mau menyia-yiakan semuanya, benar kata mang Jupri, lebih cepat lebih baik.     

"Dino mbak manis kamu kenapa ikut juga di sini? Kan dia bisa langsung di sana," ucap Ian yang melirik ke arah Narsih yang duduk di bangku sebelahnya.     

Ian mencium aroma kembang yang selalu dia hirup kala Narsih datang, helaan nafas terdengar cukup jelas dari Narsih, Narsih memandang ke arah Ian dengan tatapan datar, begitu juga dengan Ian. Paijo dan yang lainnya hanya geleng kepala, entah kenapa si ian bisa berbicara seperti itu.     

"Kau tidak takut dengan goloknya itu?" tanya mang Jupri.     

Ian melihat ke arah Narsih yang juga melihat Ian, Ian hanya mengidikkan bahunya. "Goloknya bukan untuk aku, iya kan mbak manisnya Dino? Sudah kau asah itu golokmu, asah dulu, nanti kalau jumpa Bram bisa kau ketebas langsung," ucap Ian sekenaknya.     

Paijo mengangga mendengar apa yang dikatakan Ian, bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Mang Dadang menepuk pelan keningnya, Ian yang konyol bisa-bisanya berkata seperti itu. Dan lebih parahnya Narsih melihat goloknya dan membolak-balikkan goloknya.     

"Coba kau lihat, apa sudah tajam? Tidak kan? Harus kau asah itu mbak manis, jadi begitu ada Bram itu tinggal pilih leher atau apa yang duluan kau srett," ujar Ian kepada Narsih.     

Narsih mengganggukkan kepalanya, dia mencoba menyabet goloknya di mobil Dino, Dino yang melihat mobil koyak menghela nafasnya. Ian dan Paijo yang melihatnya mengangga karena mobil Dino koyak karena golok si Narsih.     

"Gila, dia menyabet mobil kau Dino, habislah duit kita buat perbaiki ini," cicit Ian kepada Dino.     

"Ini ulah kau, kenapa kau bilang goloknya seperti itu, kan dia test itu jadinya, kau tanggung jawab tuh," cicit Paijo.     

Ian menghela nafas panjang karena kelakuan Narsih yang main sabet saja. Narsih memandang Ian dan melirik ke arah goloknya yang dia sabet di kursi Dino.     

"Tajam sekali ya," geram Ian pada Narsih yang wajahnya masam.     

Narsih yang melihat Ian menatapnya datar dan masam hanya senyum kecil tanpa diketahui oleh mereka semua.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.