Dendam Winarsih

Karena Dia



Karena Dia

0Deki yang mendengar apa yang di katakan oleh Diman hanya diam saja, dia terlalu kesal dengan Bram hanya karena wanita persahabatan yang sudah lama menjadi renggang dan sekarang malah berkelahi.     

"Sudah jangan lupa, kalau kita melakukan kejahatannya sama dan kita tidak akan bisa bebas jika suatu saat kita ketahuan kalau kita pelakunya," ucap Diman dengan wajah tegas.     

"Karena dia, bukan karena aku, dia yang mencintai wanita desa itu. Dia ditolak tapi dia tidak juga menerimanya. Dia munafik, dia tidak bisa ikhlas wanita itu menikah dan dia menghabisinya, itu karena dia," sambung Deki.     

"Cih! Tapi kau menikmatinya, kau juga melakukan hal yang sama ingat itu, kau yang melakukannya juga, kecuali kalau bukan kau yang melakukannya aku tidak masalah, tapi kau yang memberikan ide itu bukan? Jadi jangan salahkan Bram. Maaf aku bukan mendukungnya tapi itu lah kenyataan deki. kau harus ingat itu," ucap Diman yang dengan wajah kesal karena deki menyalahkan Bram.     

"Aku hanya memberikan ide bukan harus di lakukan. Deka juga mengatakan hal sama, jadi yang memutuskan dia," jawab Deki yang membela diri karena apa yang dituduhkan oleh sahabatnya itu bukan sepenuhnya dia yang salah.     

Diman benar-benar ingin membunuh Deki, pantas saja Bram memukulnya, sikap arogan Deki tidak pernah hilang dari dulu. Diman bangun dari tempat duduknya dia sudah terlalu malas untuk berlama di tempat Deki. Deki yang melihat Diman pergi mendengus kesal.     

"Sekarang kamu sudah membela Bram, dia memang berkuasa dan jelas dia yang kalian pilih." Deki hanya memandang sahabatnya pergi dari ruangannya.     

Diman terlalu malas untuk berdebat dengan orang yang keras kepala. Di tempat lain Bram yang menerima laporan dari anak buahnya karena kemunculan teman non2a senang, ada angin segar yang dia dapat.     

"Saatnya, aku menyambut Nona, aku tidak masalah harus menculiknya asal dia bisa bersama dia dan untuk hantu sialan itu, aku akan menghabisi dia untuk sekali lagi. Tunggu saja," ucap Bram dengan wajah datar.     

Ian yang baru keluar dari mobil dan berniat ingin ke warung kaget melihat ada yang melihat ke arah kantornya dan memakai teropong seperti orang yang sedang mengawasi musuh. Paijo memukul pundak Ian dan melihat sahabatnya memandang ke arah luar kantor. Dia juga melihat ke arah depan dan kaget karena ada mobil dan orang yang mengawasi dirinya.     

"Ian, itu siapa?" tanya Paijo yang bersembunyi di balik mobil.     

"Aku tidak tahu, sepertinya itu anak buah Bram tapi entahlah, aku belum tahu pasti dan tidak tahu apa benar atau tidak. Mungkin saja ini orang yang ingin mengawasi kita dan mencari Nona. Apa Nona cutinya masih lama?" tanya Ian kepada Paijo.     

Paijo geleng kepala, karena dia tidak tahu kapan sahabat wanitanya itu akan bekerja lagi . "Apa mereka incar Nona lagi kah?" tanya Paijo.     

"Entah lah, mungkin bisa jadi. Tapi kembali lagi, kita harus bisa lebih mengawasi, jangan buat Nona diculik lagi. Tapi, kalau dia tidak dekat dengan Bram gimana mau ambil jimat itu?" tanya Paijo.     

"Kita santet saja, aku sudah muak dengan pria itu, kenapa Narsih tidak bisa mengambil jimat itu dan kenapa saat keduanya berdekatan kenapa Narsih terbakar atau apa lah aku pun tidak tahu." Ian masih mengawasi mobil yang mencurigakan di depan kantor mereka.     

Puk!     

Pundak keduanya dipukul dengan kencang sehingga keduanya kaget dan menjerit karena tepukkan itu. Ian terduduk dan mengumpat karena kelakuan orang yang menepuknya. Ian dan Paijo melihat ke arah belakang. Keduanya makin kaget manajer mereka berada di belakang.     

"Eh, ada bapak ganteng, ada apa ya bapak di sini?" tanya Paijo.     

Ian mengumpat karena ketahuan lah kalau dia mengintip dari sini. "kami mau cari sesuatu yang jatuh, tapi tidak ketemu iya kan Paijo?" tanya Ian sambil melirik ke arah Paijo.     

Manajer keduanya melihat ke arah Paijo, dia memicingkan matanya dan tentu membuat Paijo gugup karena dipandang oleh pak manajer. Ian menyenggol tangan Paijo yang seperti orang melamun dan terbodoh.     

"Jawab Paijo, kampret ini orang, malah melongo kayak ayam sakit," gumam Ian yang kesal karena Paijo hanya melonggo tanpa tahu apa yang dia pikirkan.     

Paijo yang tangannya di senggol kaget dan tersenyum kecut. "Itu, saya cari benda kecil, ian menjatuhkan itu dan kami mencarinya. kamu cari apa tadi, aku kok lupa ya, maklum pak sudah tua," ucap Paijo dengan wajah tanpa dosa.     

"Kalian cepat balik ke ruangan, kerja. Kalian bermain saja, saya kasih toleransi tapi tidak seenak udil kalian juga, paham?" sentak pak manajer.     

Ian dan Paijo hanya diam dan tidak mengatakan apapun, keduanya tidak mau mengatakan apapun takut kena semprot dengan manajernya ini.     

"Baik pak, kalau sudah ketemu baru kami ke kantor. Terima kasih pengertiannya ya," ucap Ian.     

Ian dan Paijo tersenyum kecut dan terpaksa. sepeninggal manajer Paijo dan Ian menghela nafas panjang, keduanya lega karena manajer percaya. Ian memandang ke arah Paijo dan meminta Paijo untuk pergi.     

"Ayo kita pergi, tidak aman di sini. Terlalu berbahaya dan kita akan kasih tahu Dino. biar dia juga waspada dan memberitahukan pada Nona dan mamang di rumah. Takutnya mereka bisa tahu dan sampai di sana," ucap Ian kepada Paijo.     

Paijo pun menganggukkan kepalanya, keduanya langsung pergi dan masuk ke dalam kantor. Mereka sedikit berlari untuk bertemu dengan Dino. Dalam. ruangan terlihat ada Dino dan Toni.     

"Dia kerja bersama kita?" tanya Paijo.     

"Iya, dia bagian arsip kita, kalian kenapa lama. sekali ada apa? tanya Dino yang penasaran dengan kedua sahabatnya ini.     

"Aku lihat dia mengirim orang lagi. Entah itu anak buah Bram atau bukan aku tidak tahu," ucap Ian.     

Toni mendengar apa yang dikatakan oleh Ian. "apa pak Bram itu sekejam itu kah? Bukannya Nona tidak mau bersama dia kenapa masih mengejar juga?" tanya Toni yang menghentikan kerjanya.     

"Entah, saya tidak tahu, karena dia itu bebal sudah tahu melakukan kejahatan tapi tetap saja dia tidak mau mengakuinya. Kami sudah lelah untuk mencari cara untuk menyeret dia ke penjara, tapi selalu tidak ada bukti." Paijo menjelaskan apa yang terjadi.     

"Jadi, kita harus kasih tahu mereka. takutnya mereka tahu di mana Nona berada," ucap Dino pada sahabatnya.     

"Itu juga yang kami katakan tadi, kasih tahu cepat sama mamang, biar dia berjaga dan tidak membuka pintu. Bahaya Dino," ucap Ian kepada Dino.     

Dino menganggukkan kepalanya dan langsung menghubungi Mamang di rumah. Dino menunggu telponnya diangkat oleh mang Dadang.     

Tut ... tut ...     

"Halo, assalamualaikum mang. Ada kabar baru ini. Mang di rumah kan?" tanya Dino kepada mang Dadang.     

"Iya, walaikumsalam kami di rumah, kenapa Dino?" tanya mang Dadang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.