Dendam Winarsih

Jadikan Adonan



Jadikan Adonan

0Dino hanya bisa diam saja, dia mau apa lagi toh, hari malam. Mau cari di mana dan rumah dukun itu juga tidak tahu sama sekali. Ian sudah tidak bisa berkata apapun lagi, dia hanya bisa memandang ke atas yang tentu saja narsih masih di atap dan kepala di jatuhkan ke bawah dan rambutnya turun ke bawah dan mengenai kaki mereka.     

"Mang geser sedikit, sudah suara dia cempreng dan sekarang dia seperti itu, dia pikir rambutnya bagus apa? Udah gersang belum cuci rambut entah pun ada kutunya, masih saja di gerai dan mengenai kakiku, dasar mau aku buat adonan itu si mbak manisnya dinosaurus itu," ucap Ian yang kesal.     

Mang Dadang hanya bisa menghela nafas panjang, Ian selalu mengoceh saja, tidak bisa membuat tenang, mana di atas menangis dan di bawah mengoceh tapi matanya tertutup. Dino memijit kening karena si Ian masih belum menutup mulutnya.     

"Bukan dia yang di jadikan adonan, kamu yang saya jadikan adonan, mau kamu?" tanya Dino yang sudah kesal dengan kelakuan ian.     

Ian seketika terdiam karena apa yang di katakan oleh Dino, semuanya diam hanya Narsih yang menangis tersedu-sedu, dia pilu kenapa makam suaminya harus di bongkar dan salah suaminya apa. Dia hanya membalas dendam apa salah dendam di balas, kalau salah, mana keadilan bagi yang berbuat salah.     

Paginya Dino dan yang lain sudah bangun, mereka solat subuh berjamaah. Selesai solat Dino melihat gentengnya berlubang dan itu karena mbak Narsih. Dino kembali ke belakang ingin memasang seng, untung saja ada sisa jadi bisa dia pasang.     

"Dino, cepat naik, aku pegang kamu ya, jangan goyang-goyang kamu," cicit Ian yang memegang tangga.     

Dino naik perlahan dan dari bawah Paijo dan Ian sudah memegang tangga dan satu pegang seng. Warga yang lewat berhenti dan menyapa ketiganya.     

"Kalian kaya sekali, setiap kali ganti seng, apa nggak sekalian ganti cat rumah saja, biar nampak mewah," ucap warga yang tidak lain adalah Dulloh.     

"Eh, tutup mulutmu ya, aku lempar seng baru tahu kamu, sialan sekali penakut itu," ucap Ian yang kesal karena Dulloh menyindirnya.     

Dulloh terkikik karena Ian sudah emosi. Paijo hanya geleng kepala, sedangkan Dino yang berada di atas memandang keduanya yang saling sindir.     

"Woi, aku ini ingin cepat, kita harus kerja, jika kita tidak kerja, maka kita akan dipecat dan kau Dulloh pulang sana, nanti malam kau ronda awas kau nangis ya!" teriak Dino dari atap.     

Dulloh terkikik dan pergi dari hadapan Dino dan sahabatnya. Selesai memperbaikki genteng, Dino, Ian dan Paijo turun dan bertemu dengan mang Dadang dan mang Jupri.     

"Mereka baru katakan padaku, kalau benar ada yang menggali makam Joko, entah siapa yang gali kata mereka sekarang mereka sedang mencari kalian untuk membantu mereka," ucap mang Jupri.     

"Jadi, semalam Narsih ke sini karena mau kasih tahu ini, gila bener ini. Kalau ketemu benar-benar aku jadikan adonan," ucap Dino.     

"Ya jelas lah, dia juga sedih suaminya di ambil. Aku yakin dia ke sini meminta kita membantu dia mencari jasad suaminya," ucap Paijo lagi.     

"Kita tidak tahu siapa yang ambil, dukun itu saja sudah dihabisi oleh Narsih dan mana mungkin kan dia kembali lagi," kata mang Jupri.     

"Jangan salah mang, itu bisa jadi dia yang lakukan, dia bisa saja minta bantuan anak buahnya, sekarang kita harus tahu rumah dia dulu dan selidiki dulu. Jika tidak, kita akan sia-sia ke sana," ucap Ian.     

"Aku setuju dengan Ian, sekarang kemungkinan dia mau mencoba ilmu dan bisa saja dia tidak bisa sendiri, minta bantuan anak buah atau sesama dia lah, kita tanya Narsih nanti malam, apa dia tahu tempatnya, jika tahu kita ke sana," ucap mang Dadang.     

"Benar, kita tanya dia dulu, jika dia tidak tahu ya harus ikuti si Bram. Nona, kamu kerja hari ini?" tanya mang Jupri.     

"Iya, sudah baikkan kok, kalau jumpa Bram aku tidak akan tergoda, aku akan balik menggoda dia, agar dia percaya dan tentu saja jimat itu mudah kita dapatkan," ucap Nona.     

Dino diam, dia tidak mau Nona mendekati Bram, dia cemburu mungkin. Ian menepuk pundak Dino dan beranjak dari kursi dan masuk ke dalam kamar. Selesai bersiap mereka sarapan dan pergi bersama.     

Satu jam perjalanan menuju kantor, Dino melihat sekeliling apakah ada mobil anak buah Bram atau mobil Bram. Ian dan Paijo juga menyelidiki sekitarnya, dia takut kalau ada Bram dan anak buahnya.     

"Aman, ayo kita pergi sekarang ya," ucap Ian.     

Ian, Dino dan Paijo turun dari mobil di susul Nona. Mereka masuk ke dalam ruangan dan mulai bekerja, aman menurut mereka dan sekarang ada yang masuk ke dalam ruangan mereka.     

"Non, dipanggil manajer, katanya ada yang mau dibicarakan, entah bicara apa dia sama kamu," ucap Tina pada Nona.     

Mereka saling pandang, apa Bram ada di ruangan manajer itu? tanya mereka dalam hati.     

Tidak ada yang berbicara sama sekali, mereka pun menganggukkan kepalanya di depan Nona. dan tentu saja Nona mau tidak mau ke sana.     

"Ingat ya, jangan terlalu sekali kamu dengan dia, jaga perasaan sahabat kami ini," sindir Ian yang melirik Dino.     

Nona mendengus kesal, Ian masih saja sempat mengatakan hal itu. Ian melirik ke arah Dino yang hanya diam saja, dia tidak mau peduli, karena Nona pasti bisa menjaga diri dan tentu dia bisa mengambil jimat itu tanpa terluka.     

"Sudah sana, nanti kelamaan kamu, bisa mengamuk tuh manajer, terbalik pula mejanya," cicit Dino.     

Nona pun pergi bersama Tina dan mereka berjalan bersama ke ruangan manajer. Ian melihat ke arah Dino yang hanya diam dan sibuk bekerja.     

"Kau tahu tidak, Nona sebenarnya ingin mundur, tapi dia sedih karena mbak manis kamu itu belum bisa mendapatkan keadilan, aku juga begitu karena kamu tahu, jika kita adil terhadap sesama maka dia tidak akan mencari pembunuhnya," ucap Ian.     

"Tapi, Bram itu licik dan licin, dia banyak alibinya dan tahu tidak dia tidak bisa di sentuh sama sekali, entah karena dia dikenal atau tidak, aku tidak tahu," kata Dino.     

Paijo menghela nafas dan memijit kepalanya. "aku rasa tidak ada bukti sama sekali. Dulu itu tidak seperti sekarang, yang bisa diungkap, tapi kadang ada juga tidak terungkap, mengambang gitu, jadi kita tidak bisa menyalahkan siapapun," jawab Paijo lagi.     

Iya juga pikir Dino, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mereka buat karena tidak mungkin penegak hukum tidak menyelidikinya. Mereka terdiam dan tidak ada yang berbicara sama sekali.     

"Kita harus ke sana, cari tahu dia mau apa, anggap saja kita kasih laporan, ayo kita pilih siapa yang ke sana?" tanya Ian kepada kedua sahabatnya.     

Paijo dan Dino pun menganggukkan kepalanya, mereka ingin tahu apa yang Bram ingin katakan jika tidak pun mau apa si manajer itu dengan Nona.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.