Dendam Winarsih

Aku gemetar Dino



Aku gemetar Dino

0Mang Dadang dan mang Jupri sudah bersiap akan pergi ke rumah dukun yang mengambil jasad Joko suami Narsih, begitu juga Dino dan lainnya. Dino juga meminta Nona dan bibi Sumi tidak keluar karena takut akan ada yang menculik mereka.     

"Jangan keluar, nanti ada orang yang datang dan menculik, aku tidak ada di sini, jadi jaga diri ya, kalau kerja juga, pakai pelindung agar tidak ada yang tahu, untuk sementara jauhi dulu Bram sampai selesai urusan kami, setelah itu kamu dan mang Jupri dan bibi Sumi ikut kamu ke rumah sana. mau kan bibi jaga Nona nanti?" tanya Dino kepada bibi Sumi.     

"Kami mau, sekarang kalian hati-hati ya, di sana, semoga kalian selamat," ucap bibi Sumi.     

"Kami sudah menyewa rumah kami, kami akan pulang ke sana jika Narsih sudah membalas dendamnya dengan Bram," ucap mang Jupri.     

"Iya, itu bagus saya juga berpikir seperti itu, kasihan mereka bertiga yang membantu membalaskan dendam, jika ada kita paling tidak mereka bisa mencari cara untuk mendekati Bram, asal jangan ketahuan oleh mereka saja kalian berdua sengkokol," kata mang Dadang kepada ketiganya.     

"Kalian tenang saja, ayo lah kita pergi, kamu sudah izin sama manajer untuk tidak masuk kerja?" tanya mang Jupri.     

"Kami bilang ada liputan tentang mayat mengambang saja mang dan untungnya percaya itu manajer," ucap Dino.     

Mang Dadang dan mang Jupri menganggukkan kepala. Dino pun berjalan ke mobil untuk segera ke rumah dukun itu. Desa yang cukup jauh membuat mereka berangkat subuh habis solat subuh.     

"Narsih tidak ikut kita, dia sudah menjelaskan di mana dan mang Jupri tahu di mana dan dia juga tahu dukun itu." ucap mang Dadang.     

"Tidak apa, karena kita juga tidak mungkin bawa dia dalam keadaan siang seperti ini," ucap Dino lagi.     

Akhirnya mereka pun pergi bersama pergi dan meninggalkan rumah, Dino menatap rumah dan sedikit cemas, jika Bram atau temannya datang saat dia tidak ada. Mang Jupri menepuk pelan pundak Dino.     

"Kita harus bisa menjaga dia dan kalau mau kalian menikah saja, dengan begitu kamu tidak takut dia merebut Nona," ucap mang Jupri.     

"Mang, kalau menikah makin sulit untuk kita mendapatkan jimat itu, yang ada Nona akan dibunuh oleh dia, aku tidak mau ambil resiko lagi mang," ucap Dino dengan wajah sendu.     

"Apa sebegitu cintanya dia dengan mbak Nona ya pak Bram itu?" tanya Toni.     

"Eh, kapan kamu ikut?" tanya Ian kepada Toni dengan tawa cengengesan.     

"Bukannya sudah tahu mas aku ikut? tanya Toni dengan wajah cemberut.     

"Sudah jangan berisik, kita itu harus berdoa, karena tempat ini sangat menyeramkan, takutnya kita tersesat dan tentu saja kita tidak tahu apakah kita bisa keluar dari tempat itu atau tidak," ucap mang Jupri.     

Ian, Paijo dan Toni mengangga, Dino juga tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh mang Jupri.     

"Mang tidak bercanda kan?" tanya Ian yang sudah mulai ketakutan.     

"Kita lihat saja, saya tidak mau menakuti kalian, jadi saya hanya minta kalian lihat nanti saja." mang Jupri mengakhiri panggilannya.     

Tidak ada yang berbicara sama sekali, semuanya diam dan tidak berkata apapun, Dino menghentikan mobil ke warung makan. mereka pun makan dengan lahap dan tidak memikirkan apapun.     

"Bram itu kenapa nggak kena karma, aku rasa dia tidak jera, jadi kita yang kena imbasnya," ucap Ian yang menyuap makanannya.     

"Mungkin sampai dia jatuh ke tangan mbak manis itu baru dia tahu rasanya karma," ucap Paijo.     

Tidak berapa lama ada pria yang duduk sambil minum kopi dan rokok. Ian melihat ke arah pria yang duduk di pojok bersama dengan pria lainnya. Pria itu mulai membuka pembicaraan yang membuat mereka mengangga.     

"Aku kemarin ke desa salak, tahu tidak aku ambil jasad orang, duh serem, sekarang jasad itu berada di sana tempat mbah dukun, kamu mau ikut gabung nggak, paling tidak kamu bisa terlindungi oleh orang lain," ucap pria yang duduk di sebelah temannya.     

Ian dan yang lainnya saling pandang, benar ternyata, dia lah yang mengambil jasad Joko. mang dadang dan mang Jupri menganggukkan kepala, dia akan mengikuti orang di sebelahnya ini. Dia akan mencari tahu di mana jasad itu di simpan.     

"Hai, kalian tahu tidak kalau sesungguhnya kita ini masuk dalam mulut buaya dan nanti kita masuk ke mulut singa." Ian berbisik di telinga Dino.     

Dino pun tidak tahu harus apa, dia sudah menempuh jalan yang sangat jauh dan baru ketemu dengan anak buah dukun entah ini anak dukun itu atau gimana dia pun tidak tahu. Orang yang mengatakan ambil jasad itu pun bergerak pergi. Mang Jupri menganggukkan kepalanya untuk segera pergi.     

"Kita pergi sekarang, ayo kita pergi sekarang. kita jangan buang waktu, hari makin gelap takutnya kita salah jalan," ucap mang Jupri.     

"Iya mang, ayo kita pergi sekarang. Kita tidak boleh kehilangan dia, jika benar dia maka kita kena hati-hati dia dukun sakti, Narsih saja tidak bisa mendekati rumah dia apa lagi kita," ucap Dino.     

Dino dan yang lainnya pergi mengikuti pria itu dari belakang, jarak mobil dengan motor pria itu sedikit jauh dari mereka, mang Jupri sudah menduga kalau dia adalah dukun yang terkenal itu.     

"Mang kenapa wajahnya seperti ketakutan? apa mang takut kah?" tanya Ian yang duduk di sebelah mang Jupri.     

"Dino aku takut lah. Aku gemetar ini Dino, sebelum sampai aku sudah takut dan gemetar ini lah, duh kenapa bisa seperti ini ya," ucap Ian yang memperlihatkan tangannya yang gemetar.     

"Mas, aku juga. Kita ini akan hidup kan sampai selesai?" tanya Toni yang menggigil.     

"Aku tidak tahu, karena itu aku merasa gemetar dan takut juga," ucap Ian.     

Tidak berapa lama pria itu masuk ke dalam perkarangan rumah gubuk si dukun itu. Dino dan lainnya masih di mobil, mereka memperhatikan dari mobil itu lebih baik.     

"Kita tidak masuk dan minta baik-baik saja ya," ucap Ian.     

"Kau mau mati? Jika mau silahkan, tuh mbak manis saja tidak bisa masuk," ucap Paijo menunjuk ke arah belakang.     

Dino dan lainnya melihat ke arah belakang dan benar saja ada Narsih. Narsih melambaikan goloknya ke arah mereka. Ian yang kesal menarik rambut Narsih hingga tercabut dan Ian menunjukkan ke arah Dino dan lainnya. Dino dan lainnya mengangga melihat ke arah Ian yang mencabut rambut Narsih.     

"Aku hanya menariknya saja, bukan ada niat untuk mencabutnya. Ini mbak aku kembalikan, coba di pasang lagi bisa tidak," ucap Ian yang menyerahkan ke Narsih.     

Narsih mengambilnya dan hanya memegangnya saja. Ian langsung berbalik dan keringat dingin. Mati lah kalau Narsih mencabut rambutku dan bukan rambut yang tercabut tapi kepala pikir Ian.     

Paijo tertawa geli, ekspresi Ian benar-benar membuat dia ingin pipis. "Tahu takut juga kamu kan, makanya jangan suka ganggu mbak si Dino, sekali tebas tuh kepala habis kamu, tinggal nama saja kamu itu, paham tidak," ucap Paijo dengan tawa yang cukup besar dan tentu membuat yang lainnya ikut tertawa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.