Dendam Winarsih

Ke Dukun Lagi



Ke Dukun Lagi

0Bram pun pulang dari kantor Nona dia mau ke tempat Diman, dia sudah janji mau membicarakan masalah mimpi dia semalam dan tanda bekas cekikan di lehernya.     

''Pak kita ke tempat Diman, saya ada perlu dengan dia. Cepat ya pak,'' ucap Bram kepada supirnya.     

''Siap pak Bram.'' sahut pak supir itu lagi.     

Mobil Bram melaju ke tempat Diman, Bram janji di kantor Diman. Dia ingin segera meminta Diman mencarikan dia dukun lagi setengah jam perjalanan, Bram sampai di kantor Diman, Bram turun dan langsung masuk ke dalam. Karena sudah janjian dan karyawan Diman juga sudah tahu dirinya, dia tidak lagi melapor. Bram yang sudah tiba di ruangan Diman di sabut hangat deengan Diman, Bram masih selisih dengan Deki jadi pertemuan ini tidak melibatkan Deki.     

''Ada angin apa ini kamu ke sini, aku rasa angin puting beliung belum ada di tempat kita!'' sindir Diman yanng merasa aneh Bram tiba-tiba datang ke kantornya.     

Bram berdecih, dia kesal karena Diman malah menyindirnya. Bram memperbaiki posisi duduknya dan mulai membuka bajunya bagian atas, Diman yang kaget ingin berteriak tapi saat melihat leher Bram yang merah kaget. Diman memandang Bram yang wajahnya sendu.     

''Itu kenapa Bram? Siapa yang mencekikmu? Apa wamita hantu itu kah?''' tanya Diman yang tidak percaya denngan apa yang dia lihat.     

Diman bangun dan mendekati Bram , dia melihat leher Bram yang merah. Diman merinding karena apa yang terjadi dengan dia akan terjadi dengan dirinya juga. Diman memegang lehernya dan mengusap kasar wajahnya.     

''Ini gila, benar-benar gila, aku tidak menyangka kau mendapatkan itu, aku pikir kita aman dengan jimat ini, nyatanya tidak, oh tuhan, apa yang terjadi ini. Bram bisa kau jelaskan apa ini?" tanya Diman yang duduk di depan Bram.     

Bram mengancing kembali pakaiannya dan menatap sendu wajah sahabatnya ini. Dia tidak tahu kenapa bisa terjadi goresan ini, dia saja tidak menduga kalau goresan ini dia dapat setelah mimpi itu.     

"Aku mimpi lagi semalam dan aku melihat diriku yang muda dan tentu Narsih, aku tidak tahu kenapa, tapi saat itu aku juga melihat ada pria lain yang mungkin itu adalah suaminya, terjadi cekcok antara keduanya dan Narsih berubah menjadi sosok yang menakutkan. dia menebas pria yang mirip denganku dan mencekiknya, hingga setelah itu, kepala itu berada tepat di wajahku dan tentu saja itu kepala itu menyalahkan aku atas kematiannya, aku takut Diman dan dia mencekikku hingga aku tersentak dan melihat ke arah sekeliling rumahku sendiri." Bram menjelaskan secara detail atas mimpinya tadi     

Diman memandang ke arah sahabatnya, dia tidak tahu harus apa saat ini. Dia hanya bisa diam tanpa bisa berkata. Mimpi di cekik dan berbekas di dunia nyata, apa ini mimpi juga pikirnya.     

"Bram? Kau yakin itu?" tanya Diman dengan wajah penasaran.     

"Aku yakin akan hal itu, aku tidak tahu harus apa. Carikan dukun lagi, aku ingin minta jimat lagi, aku tidak bisa seperti ini, aku takut Diman, aku takut jika mimpi ini jadi kenyataannya dan aku bisa meninggal karena ini," ucap Bram dengan wajah yang ketakutan.     

Diman yang melihat Bram ketakutan dia ikut juga ketakutan, dia tidak tahu kalau Bram akan bermimpi buruk.     

"Kau yakin Bram kita ke dukun lagi? Jika kau yakin aku akan cari, apa Deki kita ajak juga?" tanya Diman.     

Bram yang mendengar nama Deki kesal karena dia tidak mau melibatkan Deki, dia kesal karena Deki sudah menculik wanitanya, dia tidak mau Deki melakukannya lagi, Diman tahu kalau Bram tidak mau Deki terlibat.     

"Sudah, jangan kamu pikirkan. Sekarang kalau kau yakin, kita akan pergi ke dukun lagi? Jika kau sudah yakin kita berdua saja yang pergi, sisanya aku tidak akan ikut campur urusanmu dengan Deki," ucap Diman.     

Bram pun mengganggukkan kepalanya, dia tidak mau deki terlibat, jika dia tahu lehernya terluka maka dia akan di salahkan oleh Deki.     

"Kapan kita ke sana?" tanya Bram.     

"Aku akan cari tahu, di mana dukun itu, karena tidak sembarangan orang, jimat ini saja sudah buat aku aman walau pun tidak aman kali tapi cukup untuk aku tidak berdekatan dengan hantu sialan itu. Jadi tolong, jangan desak aku untuk mencari dukun abal-abal seperti yang Deki cari itu," ucap Diman.     

Diman menatap Bram dan meminta Bram bersabar. Bram pun ikut saja, dia ingin tahu apakah dia mimpi sekali lagi dia akan seperti ini lagi. Bram pun pamit pulang, dia ingin segera pulang, karena dia ingin menenangkan diri. Diman mengantar Bram sampai di tempat parkiran.     

"Tunggu kabar dariku ya, aku akan segera mengabari kamu. Jangan banyak bermimpi dan memikirkan hantu itu, aku yakin semalam kamu cemas jadi dia masuk ke dalam mimpimu dan membuat kamu mimpi buruk," ucap Diman kepada Bram.     

"Akan aku usahakan untuk tenang dan aku harap kau segera untuk pergi mencarinya, aku takut nanti kita tidak bisa tenang jika dia terus menghantui kita dalam mimpi. Oh ya, Deka bagaimana? Apa dia sudah sadar?" tanya Bram.     

Diman menghela nafas panjang, bila membicarakan Deka pasti dia akan sedih. Bram melihat wajah Diman yang benar-benar lesu dan sedih, dia tidak tahu kalau Diman begitu mengkhawatirkan Deka, dia juga sama, tapi dia bisa apa.     

"Dia belum sadar sama sekali, entahlah, kenapa dia tidak sadar juga, aku takut dia meninggal, kalau pun dia meninggal kita bisa apa, toh dia meninggal karena takdirnya. Aku berharap Narsih bisa memaafkan kita jika kita benar-benar bisa mempertanggungjawabkan perbuatan kita," ucap Diman dengan suara pelan.     

"Apa kau mau masuk penjara?" tanya Bram.     

"Kalau memang itu harus kenapa tidak, jika kita masih bisa melihat keluarga kita," jawab Diman yang membuat hati Bram tercubit sedikit.     

Bram pun tidak menjawab, dia langsung pulang. Dia tidak memikirkan tentang perkataan Diman yang meminta maaf pada Narsih dia tidak mau meminta maaf, karena bisa saja Narsih akan tetap membunuh dia. mobil Bram melaju ke arah kantor, dia akan bekerja seperti semula karena dia tidak mau memikirkan apapun.     

Dino dan Paijo yang mengawasi Bram tersenyum, keduanya bisa mengikuti Bram walau pun tidak mengetahuinya apa yang mereka bincangkan tapi mereka tetap senang.     

"Sepertinya mereka ingin pergi ke suatu tempat, aku yakin itu," cicit Paijo yang menduga kalau keduanya akan merencanakan sesuatu.     

"Kita bisa mulai mengikuti dia, siapa tahu mereka akan melakukan sesuatu," ucap Dino kepada Paijo.     

"Sip, kita ikuti mereka ya, aku rasa kita harus ikuti mereka, kau siap jadi mata-mata Dino?" tanya Paijo dengan senyum khas mata-mata.     

"Aku siap pak." Dino memberikan hormat dan keduanya tertawa geli.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.