Dendam Winarsih

Kita Aman Ya



Kita Aman Ya

0Ketiga sahabat Deka datang untuk menjenguk sahabat mereka baru sadar dari koma. Bram yang sudah berada di ruangan inap Deka melihat sahabatnya tidur.     

"Dila. Apa dokter bilang tentang kondisi dia Dil?" tanya Bram pada Dila.     

"Dia sudah lebih baik dan bisa pulang juga, tapi menunggu pemeriksaan dari dokter, Bram. Selesai makan dan minum obat, mas Deka tertidur kembali. Oh ya, kalian duduk lah." Dila mempersilahkan sahabat Deka untuk duduk.     

Ketiganya duduk di sofa yang di sebelah tempat tidur. Bram yang mendapat telepon dari Dila langsung ke sini dan saat di lobby melihat ke dua sahabatnya yang sudah berada di lobby rumah sakit. Mau tidak mau Bram berjalan bersama, tidak ada percakapan sama sekali di antara mereka bertiga. Bram melihat jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.     

"Dil, aku pulang dulu, nanti aku ke sini lagi. Kamu juga butuh istirahat, salam saja dari aku ya." Bram bangun dari tempat duduk lalu mendekati Deka. Bram menepuk pelan pundak Deka.     

Bram tersenyum ke arah Dila dan langsung pergi, Deki dan Diman saling memberikan kode satu sama lain. Anggukkan kepala Deki di sambut oleh Diman. Keduanya bangun menghampiri Dila.     

"Dila, kami juga pulang ya. Salam dari kami ya, nanti kami berdua datang lagi ke sini ya. Kamu jangan banyak pikiran ya." Diman bersalaman dengan Dila sembari memberikan semangat ke Dila.     

*Terima kasih Man, Deki. Kalian hati-hati di jalan ya. Maaf merepotkan kalian ya. Oh ya, Ki. Aku turut berduka atas meninggalnya Lina.Aku harap kamu dan anak-anak kuat ya. Aku tidak bisa datang, karena harus menjaga mas Deka," ujar Dila dengan wajah sendu.     

Deki hanya tersenyum dan menganggukkan kepala ."tidak apa, aku paham kondisi kamu, yang penting doa kamu untuk kami bertiga. Sekarang, aku dan dua anakku bisa menerima kenyataan dari yang maha kuasa."     

"Aku yakin kamu dan anak-anak kuat. Salam untuk mereka ya, kapan-kapan aku akan kerumah bersama anak-anak ya," ucap Dila kepada Deki dengan tulus.     

Deki mengangguk pelan dan bergegas pulang. Dia tidak mau lama keluar karena ke dua anaknya pasti menunggu dirinya. Di luar Diman dan Deki tidak ada yang berbicara.     

"Kita terlalu cepat pulangnya, harusnya kita menunggu Deka bangun, kita harus bahas soal dukun itu." Diman kesal karena Deki mengajak dia pergi.     

Deki terdiam mendengar apa yang Diman katakan. Dia tidak menyangka jika Diman berkata seperti itu. Deki berhenti di lorong rumah sakit dan menatap ke arah Diman yang berkata seperti itu.     

"Apa maksud kamu hmm? Kalau kamu mau lama di sana silahkan, aku tidak mempermasalahkan itu. Aku hanya ingin pulang karena anak-anakku menunggu aku di sana, jadi jangan salahkan aku pulang cepat. Kamu ada istri di rumah yang bisa menjaga anak-anakmu sedangkan aku hanya ada aku sendiri." Deki pergi meninggalkan Diman sendirian.     

Deki kecewa karena Diman tidak peka dengan kondisi dirinya. Istrinya meninggal masih baru dan anak-anak butuh dia. Deki sebisa mungkin untuk lebih dekat dengan anak-anaknya.     

Diman yang melihat kepergian sahabat itu hanya menatap nanar ke arah Deki yang pergi meninggalkan dirinya. Diman ikut naik lift sebelahnya, dia merasa bersalah karena dia istri sahabatnya meninggal.     

Di parkiran rumah sakit Dino dan mang Dadang mencari sahabatnya dan mang Jupri yang menghilang. Dino mengedarkan pandangan ke segala arah untuk mencari ke empatnya.     

"Mang. Mana mereka? Aku tidak melihat mereka sama sekali." Dino menggarukkan kepala karena kehilangan ke empatnya. Paijo yang dia kira ikut ternyata tidak ikut.     

"Tidak di jawab juga. Apa mereka ketahuan oleh Bram atau nggak yang lainnya mang?" tanya Dino yang menduga jika mereka ketahuan Bram atau nggak anak buahnya.     

Mang Dadang berjalan ke luar rumah sakit yang menjual banyak makanan. Dino mengikuti Mang Dadang dan terkejut melihat mereka duduk makan di warung yang menjual ayam bakar. Dino menyikut mang Dadang     

"Lihat lah, kita sibuk mencari mereka ke mana-mana, ternyata mereka di sini." Dino tidak habis pikir dengan ke empatnya.     

"Ayo kita samperin mereka. Bawa orang tua ya gitu," sindir mang Dadang yang disambut tawa oleh Dino.     

Keduanya menghampiri ke empatnya yang tengah makan ayam bakar sambil berbincang. "Enak? Makannya?" tanya Mang Dadang kepada ke empatnya.     

Ian yang terkejut mendengar suara Mang Dadang di belakangnya. Ian langsung tersedak makanan. "Hukk ... hukkk. Kenapa suka kejutin aku? Kalau aku tersedak kaki ayam bagaimana mang?" tanya Ian dengan wajah kesal     

Ian meminum air hingga kandas tidak bersisa. Toni menepuk pundak pelan Ian. Ian benar-benar geleng kepala melihat kelakuan pak tua satu ini.     

"Kalian makan juga tidak? Kalau iya, pesan saja. Ian yang bayar, benarkan Ian? Kamu yang bayar?" tanya mang Jupri.     

Ian yang merasa lega di tenggorokannya hanya berdehem. Dia masih merasakan sakit di tenggorokannya. Keduanya duduk di kursi sembari memesan makanan juga minuman.     

"Bagaimana? Apa kita ketahuan oleh mereka?" tanya Paijo yang sudah selesai makan.     

Dino geleng kepala pelan mendengar apa yang di katakan Paijo. "Beruntung sekali Narsih datang dan berbisik di telingaku, jika tidak habis lah aku dan Mang Dadang."     

"Jadi, kita aman ya?" tanya Ian lagi.     

"Untuk sekarang iya, entah kalau nanti. Kita tidak bisa anggap remeh mereka. Apa lagi dengan Bram dan temannya yang satu ini. Dia koma tapi setelah bangun langsung pakai jimat. Pantas saja kami cari di sekitar tempat tidurnya tidak ada, ternyata di lehernya," jawab Dino yang menghela nafas panjang menceritakan apa yang terjadi di ruangan inap tadi.     

"Menurut aku dia tahu Dino. Jika tidak, mana mungkin dia langsung pakai. Mang Jupri, tadi waktu ke sini nampak jimatnya tidak?" tanya Paijo.     

Mang Jupri geleng kepala. "Aku tidak melihatnya, cuma waktu dia berbalik, aku melihat sesuatu di lehernya, apa itu dia jimatnya Dino?" tanya Mang Jupri.     

Dino menganggukkan kepala lagi. "Bisa jadi, aku tadi sekilas saja, belum pastikan itu benar, jika benar maka kita makin sulit mendekati mereka terlebih Narsih. Tapi, kelihatan di wajahnya Bram tidak bersahabat dengan kedua temannya. Benar nggak sih mang? Atau aku salah lihat tadi?" tanya Dino kepada mang Dadang.     

"Menurut aku sih iya. Kan bisa terlihat, bisa jadi ini karena Nona dan yang meninggal waktu itu. istrinya sahabat mereka yang terbunuh." mang Dadang menyampaikan apa yang ada di pikirannya.     

"Jadi, maksud kalian Bram sudah pecah kongsi? Alias berantem gitu ya? Apa Bram sudah tahu jika sahabathya yang membunuh istri sahabatnya juga karena masalah yang waktu iya mang, Dino?" tanya Paijo yang penasaran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.