Dendam Winarsih

Bisa Lucu Ngga



Bisa Lucu Ngga

Narsih yang baru datang dari luar dan masuk begitu saja dari pintu membuat Ian menatapnya dengan wajah kesal.     

"Mbak manisnya Dinosaurus, pulang ke rumahmu sana, kalau ke sini nanti bisa di geprek kita, aku kan tidak mau, nanti pacarku menangis karena mbak manis dan aku di satukan," cicit Ian yang memandang Narsih sedikit mengejek.     

Narsih yang baru datang hanya mendengus kesal, Ian yang jadi orang yang suka menganggunya ini membuat dia ingin menghajar dan menyabet mulutnya ini dengan golok. Narsih memegang golok yang dia ambil di kepalanya dan menunjukkan ke arah Ian.     

Ian mengejek, dia takut tidak, karena dia tahu kalau Narsih hanya bercanda. Mang Dadang yang dari kamar keluar karena dia mendengar keributan yang tentu saja itu dari Ian dan lawannya tidak lain mbak Narsih. Dino, Paijo dan Toni juga ikut keluar dan melihat Narsih sudah mengeluarkan golok.     

"Apa hantu tidak ada harga dirinya ya? Jika tidak ada, bahaya juga ya, aku rasa ini akan jadi sejarah antara manusia dan hantu hidup bersama." Paijo sudah paham karena Ian yang selalu menganggu Narsih dalam segala hal.     

"Mbak ada apa?" tanya Dino yang duduk di sebelah Ian.     

"Aku baru dari sana dan aku membunuh lagi, dia anak buah sahabat Bram, dia tadi menunggu Nona untuk membawa Nona ke gedung tua sana dan aku juga bertemu dia, dia juga datang ke sana, dia pikir anak buahnya sudah menangkap Nona, tapi aku lebih dulu menghabisi mereka. Aku tidak mau membuang waktu. Dia tidak terima aku menghabisi anak buahnya, tapi aku tidak peduli, aku menyisakan ketuanya, yang aku dengar dia akan mengincarku dan Nona lagi." Narsih mengatakan apa yang dia lakukan hari ini.     

"Bahaya Dino, ini pasti akan buat kita sulit mendekati mereka, apa lagi aku yakin dukun akan ikut andil. Kita laporkan saja bagaimana ke kantor polisi bagaimana?" tanya Ian.     

"Bisa kita laporkan, tapi kita ada bukti? Tidak Ian, kita lemah di bukti, polisi mana mungkin terima pengaduan dari Narsih, mereka tidak gila kalau menerima pengaduan dari seorang hantu. Walaupun kita yang mengatakannya, tapi pas minta bukti kita harus apa coba? Mau kasih bukti nikahnya mang Dadang?" tanya Dino yang asal ngomong.     

Mang Dadang yang mendengar apa yang di katakan oleh Dino mendengus kesal, dia hanya bisa mengatakan kalau Dino kelewat benar.     

"Bisa lucu ngga Dino. Candaan kamu itu tidak pas dan tidak membuat aku ketawa tapi membuat aku ingin pipis, aduhhh! Awas mang! Minggir sana," ucap Ian yang lari sambil nabrak meja dan berputar-putar karena sakit terbentur meja.     

Keempatnya hanya geleng kepala karena melihat kelakuan Ian. Mereka sebenarnya pusing karena semakin ke sini jimat itu menghalangi misi mereka. Nona saja kesulitan mengambil jimat itu, sampai harus berkorban dan tentu membuat Nona harus mengambil keputusan yang cukup besar sehingga Dino harus mengikhlaskan kekasihnya yang dia cintai.     

"Hei, kenapa melamun? Apa kamu memikirkan Nona? Sudah, kalau jodoh bersatu itu. Oh ya, mbak kita ke rumah dukun itu saja, dan minta dia jangan ikut campur dan kita minta dia menjauhi Narsih dan Nona, siapa tahu saja dia mau," ucap Paijo kepada Dino.     

"Tidak mungkin lah, aku tidak yakin sama sekali, karena bisa saja dia memanfaatkan kita dan minta kita menukar salah satu dari mereka berdua." Ian keluar dari kamar mandi dan langsung mengatakan hal itu.     

"Aku setuju dengan apa yang di katakan oleh Ian. Kita jangan percaya dengan mereka, karena menurut aku mereka hanya mau ambil keuntungan saja dan buat kita serba salah kalau di minta memilih. Kamu sudah yakin, kalau kita ke sana dia akan menuruti kita? Jawabnya tidak," ucap Paijo lagi kepada Dino.     

Mang Dadang menganggukkan kepala, dia juga setuju dengan apa yang dikatakan Ian. "Kita jangan berurusan dengan dukun itu lah, kalau untuk mengintai dia boleh lah. Kalian paham maksud mamang kan?" tanya mang Dadang kepada keempatnya.     

"Mang Dadang mau kita mengintai mereka lagi kah?" tanya Toni kepada mang Dadang.     

Mang Dadang menganggukkan kepala ke arah Toni dan lainnya. "yang akan kita incar Deka, karena dia yang terlalu semangat kan untuk menangkap Nona dan Narsih. Jadi, biarkan dia yang kita intai, siapa tahu kita menemukan di mana rumah dia," ujar mang Dadang.     

"Baik, kita sepakat untuk mengintai orang itu lagi, tapi kita jangan lupakan yang lainnya, kalian tahu kan siapa yang aku maksdukan?" tanya Ian kepada yang lainnya.     

Mereka menganggukkan kepala dan menyetujui apa yang dikatakan oleh Ian dan tentu akan membuat mereka harus ekstra lebih lagi. Tiga orang yang akan mereka intai dan tentu bisa saja suatu saat mereka akan ketahuan.     

"Mbak Narsih. Apa mbak ikuti ketiganya tidak? Kalau iya, bagaimana dengan mereka mbak Narsih? Apa mereka tidak ada curiga dengan kedatangan mbak. Misal dia merinding atau apa gitu?" Tanya Ian kepada Narsih.     

Narsih hanya geleng kepala, dia juga sudah lelah mau membalas dendam tidak bisa. Tanah kuburannya juga sudah tidak bisa di balikkan karena mereka pakai untuk jimat dan itu yang menyebabkan Narsih tidak bisa membunuh mereka. Dukun yang meninggal waktu itu berhasil untuk dia tidak bisa menyentuh para pembunuh itu.     

"Ya sudah, kalau begitu kita istirahat saja, karena kita besok harus mulai mengincar ketiganya. Apa kita intai mereka berlima atau pisah?" tanya Ian kepada Dino.     

"Menurut aku, lebih baik bersama saja, dan incaran kita Deka. Jadi, kita intai dia saja. Aku yakin dia akan ke dukun itu. Jadi, kita ke dia saja, kalau kedua sahabat Bram itu masih sibuk dengan pembunuhan yang si Diman lakukan, dia pasti masih di incar oleh polisi, dan dia pasti berusaha menghilangkan barang bukti, sedangkan yang satunya pasti sibuk mencari siapa pembunuh istrinya dan menjaga anaknya," ucap Dino yang sangat yakin kalau sahabat Bram akan melakukan hal itu.     

"Kamu yakin? Kalau tidak yakin sulit karena kalian tahu sendiri, mereka punya anak buah dan Narsih kamu tahu kan kalau mereka punya anak buah dan sangat kejam kan?" tanya Paijo kepada Dino.     

"Kejam, tapi kalau dia sudah berdiri di depan mbak manis habis juganya. Mbak tahu di mana anak buah yang membunuh istri sahabatnya itu?" tanya Ian kepada Narsih.     

Narsih menganggukkan kepala pelan, melihat anggukkan dari Narsih, Ian tepuk tangan. "nah, kita minta salah satu dari anak buah itu mengaku kalau Diman yang membunuhnya dan kita rekam terus kita kasih ke sahabatnya, biar mereka saling berantem kan itu yang kita cari, mereka pecah kongsi dan kalau Diman masuk penjara, jimat kan tidak boleh bawa masuk, iya kan? Nah, itu kesempatan kita Dino, atau kalian punya ide yang lain?" tanya Ian kepada sahabatnya dan si mamang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.