Dendam Winarsih

Intai Lagi



Intai Lagi

0 Dino dan yang lainnya harus segera pergi mengintai Deka. Paijo sudah menunggu di dalam mobil, mereka ingin segera mengintai Deka dan tentu saja itu sudah menjadi rencana mereka.     

"Ian, cepat sedikit, aku tidak ingin kita ketinggalan dan dia sudah pergi ke saja!" teriak Paijo yang kesal karena Ian tidak kunjung datang juga.     

Ian lari dengan berbagai macam cemilan dan minuman. Dino geleng kepala karena dia melihat Ian membawa barang yang cukup banyak.     

"Kita mau mengintai bukan mau kemah jadi, jangan kamu banyak bawa barang," ketus Dino yang melihat ulah Ian.     

Ian hanya tertawa dan tidak peduli sama sekali. Ian duduk bersama Toni dan Dino di belakang. Mereka libur kerja jadi kesempatan mereka untuk pergi mengintai.     

Paijo membawa mobil keluar dan membelah jalan. Paijo langsung ke kantor Deka, mereka ingin tahu kemana Deka kemana Deka seharian. Sampai di kantor Deka, mobil berhenti tidak jauh dari perusahaan Deka.     

"Kalian tidak lapar? Aku tadi makan sedikit, jadi aku makan cemilan lah, kalian kalau mau makan silahkan, masih banyak ini," ujar Ian yang membuka cemilan yang entah dari mana dia beli     

Lama menunggu, akhirnya Deka keluar dari kantornya, Paijo bergegas untuk mengikuti Deka dari belakang. Ian dan Dino melihat ke arah belakang takut anak buah Deka atau yang lainnya mengikuti mereka.     

"Ian, kita tidak diikuti kan?" Tanya mang Dadang kepada Ian.     

Ian yang bertugas memantau bersama dengan Toni geleng kepala. "sepertinya aman sih mang, semoga saja aman mang sampai kita tahu ke mana tuh orang berhenti."     

"Mas, tapi kita harus waspada mas, jangan sampai kita bilang aman, eh tahunya kita di cegat sama anak buah yang lain," ucap Toni kepada Ian.     

"Iya juga ya, kalau gitu bahaya mang, tapi aku lihat lagi tidak ada mang," sambung Ian yang terus melihat ke arah belakang     

Paijo terus fokus hingga dia sampai ke luar dari kota dan berjalan menuju tempat yang dia sendiri tidak tahu. Mang dadang menyerngitkan keningnya, dia tidak tahu berada di mana saat ini.     

"Mang tahu kita di mana saat ini?" tanya Dino yang ikuti memperhatikan jalanan yang sepi.     

Paijo sengaja menjaga jarak antara mobil dia dengan mobil Deka. Mang Dadang geleng kepala, dia tidak tahu ini daerah mana, ini pertama kali dia ke sini.     

"Ini mamang rasa ke arah desa lain, tapi ya, mamang tidak tahu pasti benar atau tidak ya, kita ikut saja, mamang juga kurang paham Dino. Paijo, kamu jangan terlalu dekat dengan mereka, takutnya kita bisa ketahuan." mang Dadang memperingati Paijo agar sedikit jauh dari mereka semua.     

"Iya mang." Sahut Paijo.     

Deka yang pergi ke rumah dukun yang dulu pernah dia sarankan ke rekannya itu. Dia mendapat kabar kalau dia ingin bertemu dengan yang lainnya. Karena yang lain tidak bisa, dia saja yang pergi menjumpai dirinya.     

"Pak, jangan sampai salah jalan, ikuti petunjuk yang saya katakan itu ya, ingat jangan lupa pak." Deka memperingati supirnya agar tidak salah jalan.     

Deka masih tidak tahu apa yang dukun itu minta, harusnya dia bisa kasih tahu rekannya jadi bisa pergi bersama, tapi dukun itu hanya memberitahukan ke dia saja. Cukup lama perjalanan yang di tempuh, Deka juga sekali-kali istirahat dan mengisi bahan bakar untuk mobilnya, begitu juga dengan Paijo yang berhenti untuk mengisi bahan bakar mobilnya sekalian cuci muka dan ke kamar mandi.     

"Ian, kamu jangan sampai ngantuk ya, bahaya. Jalanan kita sepertinya masih jauh," mang Dadang memperingati Ian agar dia tidak nyasar lgi.     

"Sip lah, aku rasa kita akan segera sampai, ini sudah benar-benar keluar dari jalan raya dan ini jalannya juga penuh batu dan buruk sekali." Ian mengoceh karena jalannya sedikit berbatu. Ada beberapa yang kebetulan melintas jadi tidak terlihat jika mereka mengikuti dirinya.     

"Iya, tapi harus hati-hati. Ini jalan kemana ya? Saya kenapa masih belum tahu ya, sudah malam juga ini," cicit mang Dadang yang masih bingung melihat jalanan yang mereka lalui.     

"Kita sudah dekat, ini rumah dukun itu dia sepertinya akan mengatakan sesuatu ke temannya Bram, dan kita tidak tahu apa," ujar Narsih yang melihat ke arah depan.     

Semua yang di belakang kaget karena mendengar suara Narsih. "sejak kapan mbak manis si dinosaurus itu di situ?" tanya Ian yang langsung menggoda Narsih.     

Narsih yang mendengar apa yang dikatakan oleh Ian hanya memandang Ian dan memperlihatkan goloknya. Ian hanya cekikikan melihat Narsih yang mengacungkan golok ke arahnya.     

"Intai lagi mbak, kalau bisa habiskan langsung dukun ini, agar anak buah Bram dan semuanya lenyap, kita jadi bisa santai dan liburan. Setelah ini, bagaimana kalau kita liburan saja, mau tidak ya?" tanya Ian lagi.     

"Boleh juga itu mas, saya akan kembali ke rumah emak saya, saya sudah rindu dengan emak saya, dan tentu kampung halaman saya," ucap Toni yang membayangkan emaknya.     

Narsih yang melihat wajah Toni mirip dengan suaminya tersenyum kecil. Ian yang dari jauh memandang wajah Narsih tersenyum ikut tersenyum juga. Tidak berapa lama, mobil sampai di tempat kediaman dukun Deka, dukun yang waktu itu sering membuat mereka kewalahan dengan makhluk astralnya.     

"Jangan kita terlalu dekat, bahaya jika kita terlalu dekat, kita pantau saja mereka dari sini." mang Dadang menyarankan untuk tidak dari dekat.     

"Mang, kita tidak tahu kalau tidak ke sana. Nanti yang ada kita tidak tahu dia bicara apa." Ian tidka setuju jika harus berada di mobil tanpa harus mendengar apa yang dukun itu katakan.     

"Jangan, dia sudah memperdalam ilmu, jadi dia tahu kalau kita dekat dengan rumahnya. Lebih baik kita di sini, dia tidak bisa mengetahui kedatangan kita jika kita di sini." Narsih melarang mereka untuk tidak terlalu dekat dengan rumah dukun itu.     

"Wah, ada batasnya juga ya, aku tidak tahu lah. Makanya, kita di sini saja, jangan ke sana. Bahaya untuk jiwa raga kita." Ian mengidikkan bahunya.     

Mereka pun akhirnya menunggu di mobil, Narsih tidak mau dukun itu tahu, dia masih menahan diri menunggu waktu yang tepat untuk menghabisi dukun itu. Dia ingin dukun itu mendapatkan balasannya dan tentu saja membuat dia harus menahan dirinya, jika dia gegabah maka, akan berakibat fatal.     

"Apa masih lama dia di sana, ya?" tanya Ian yang mengunyah makanan.     

Narsih menunduk kan kepalanya, dia berusaha mendengar apa yang dukun itu bicarakan, tapi tidak bisa, Narsih tidak tahu percakapan mereka, dia seperti orang tuli.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.