Dendam Winarsih

Jadi Tumbal



Jadi Tumbal

0Deka harus merelakan istrinya, dia tidak bisa menyelamatkan istrinya karena kebodohan dia yang tidak percaya dengan suara yang dia dengar.     

"Deka, aku turut berduka ya," ucap Deki yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa.     

Deka melihat ke arah Deki yang datang ke rumahnya. Deka hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih belum bisa berbicara banyak, dia sangat terpukul. Satu persatu sahabat Deka datang termasuk Bram dan Diman     

Pak ustadz, mulai mengatakan sepatah dua patah untuk almarhumah dan berdoa. Setelah selesai semuanya, pak ustadz langsung meminta Deka untuk membawa jenazah istrinya untuk dibawa ke pemakaman. Deka menangis karena dia harus mengantarkan jenazah istrinya ke pemakaman.     

Deka membawa istrinya keluar rumah dan langsung masuk ke dalam mobil ambulans. Bram hanya menatap kepergian Deka yang pergi mengantarkan istrinya ke tempat pemakaman.     

"Aku dengar kalau istrinya tidak sakit apa-apa, tapi aku dengar kalau dia di datangi oleh arwah dan aku yakin itu arwah Narsih." Diman mengatakan itu agar Bram sadar dan terpengaruh.     

Bram hanya tersenyum smirik karena mendengar apa yang dikatakan oleh Diman. Dia hanya bisa geleng kepala ke arah Diman.     

"Kamu pikir aku tidak tahu, dia meninggal karena apa? Jangan mengatakan apa-apa kalau tidak tahu, aku harap kamu tahu kalau pembunuh itu bukan dari hantu saja, tapi dari manusia yang licik," ucap Bram yang langsung pergi dari rumah Deka.     

Bram akan ikut ke pemakaman dan setelah itu dia akan bicara dengan Deka. Diman yang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram mengepalkan tangannya dengan kencang.     

"Sialan, dia sudah membuat aku membencinya, dia yang sudah menculik anak buahku. Lihat saja Bram, aku akan membawa anak buahku lagi dan aku akan buat kamu menyesal, kalau perlu aku bunuh kamu sekalian," gumam Diman dalam hati.     

Diman langsung pergi dan meninggalkan rumah Deka, dia ingin ke pemakaman. Deki yang keluar dari rumah Deka terdiam mendengar apa yang Bram katakan. Dia terdiam dan mencerna apa yang di katakan oleh Bram.     

"Apa maksud dari perkataan Bram itu?" Tanya Deki dalam hati.     

Deki melangkah kan kakinya ke arah mobil dan langsung menuju ke pemakaman. Sampai di pemakaman Dila, Bram masih memikirkan semua yang dia dengar dari pelayan rumah Deka. Dia masih belum percaya jika rumah Deka di datangi Narsih, jika pun iya, mana mungkin Narsih mau membunuh orang yang tidak bersalah padanya.     

Selesai pemakaman, Bram langsung pulang dia ingin bicara dengan Deka, paling tidak menghibur Deka, terlepas dari masalah mereka berempat. Deka yang sudah sampai di rumah, langsung masuk ke dalam ruangan kerjanya. Di susul ketiga temannya ikut masuk juga ke dalam ruangan.     

"Apa yang terjadi?" Tanya Diman yang mencari perhatian Deka dan Deki.     

Bram tidak peduli sama sekali, dia hanya diam dan menunggu apa yang dikatakan oleh Diman kepada kedua temannya. Bram terlihat tenang tapi Diman sudah mengatakan yang entah apa maksudnya.     

*Istriku jadi tumbal. Aku tidak tahu kenapa bisa jadi tumbal, aku pergi ke rumah dukun itu dan saat itu, dia katakan ada Narsih, dan dia minta aku tidak untuk mendengar apapun, karena itu bisikkan Narsih dan aku mengikuti apa kata dia, setelah itu aku diam saja saat suara Dila terdengar, tapi saat dia tidak bisa melawan Narsih, aku di minta untuk pulang dan saat sampai aku lihat sudah seperti ini," Ucap Deka dengan air mata yang menetes.     

"Sudah, jelas itu pasti Narsih. Aku sudah katakan dua wanita itu yang buat kita menderita, dulu Lina sekarang Dila. Besok siapa lagi?" Tanya Diman.     

"Besok kamu, Diman. Kamu jangan asal menuduh. Jangan bawa masalah ini ke orang lain. Lina meninggal dia dibunuh sedang kan Dila meninggal karena dia jadi tumbal. Kalian bodoh, karena percaya dia." Bram sudah kesal karena perkataan dari Diman.     

"Aku hanya mengatakan sesungguhnya, bukan rekayasa. Dan jangan sumpahi aku mati!" Hardik Diman.     

Bram bangun dari tempat duduk dan pergi dari ruangan itu. Dia terlalu muak bersama dengan manusia munafik dan sangat munafik ini. Sebelum pergi, Bram berhenti sebentar tanpa berbalik.     

"Kalian akan mati satu persatu jika kalian terus menerus mengikuti dia. Kasihan anak kalian, jika memang mau selamat, kita menyerah saja ke kantor polisi, aku rasa itu jalan terbaik dan aman. Aku yakin Narsih akan memaafkan kita, jika tidak, maka itu harus jadi karma kita. Kalian punya anak, aku tidak jadi tumbal pun tidak ada, kecuali ada orang lain yang melakukannya untuk dirinya sendiri." Bram pergi begitu saja.     

Deka, Deki dan Diman terdiam. Karena dia punya istri dan hanya dia yang punya istri. Diman bangun dari tempat duduk dan berjalan keluar, dia ingin segera pergi dari rumah Deka, dia ingin menjaga istrinya.     

"Ada yang aku curigai dari mereka berdua. Aku tadi dengar tadi kalau mereka membahas tentang kecelakaan Lina tapi, tidak jelas sekali. Aku tidak tahu maksud dia, katanya lebih bahaya manusia dari pada hantu. Aku tidak tahu sama sekali, Deka." Deki mengatakan apa yang tadi dia dengar.     

"Tunggu penyelidikan polisi saja. Aku yakin mereka pasti menemukan buktinya. Kamu jangan takut, dia tidak akan bisa lari dari hukuman." Hanya itu yang bisa Deka katakan.     

Deki pamit kepada Deka, dia ingin pulang bersama dan ingin bersama anaknya. Karena hari libur, jadi dia tidak kemana-mana. Bermain bersama anaknya. Deka melihat kepergian sahabatnya yang sekarang entah bisa di sebut sahabat atau tidak pikirnya.     

"Dila, kenapa kamu pergi meninggalkan aku, aku terlalu merindukan kamu, kenapa kamu tega meninggalkan aku di saat aku sudah bangun dari komaku," ucap Deka dengan suara parau.     

Tangis Deka pecah, dia benar-benar menyesal karena mengkhianati dia dulu. Deka mengingat bagaimana dia menghabisi Narsih dengan kejam dan tidak manusiawi.     

"Apa aku harus menyerah? Apa aku harus mengakuinya? Aku tidak ingin buah cintaku dengan Dila harus jadi tumbal lagi, aku tidak mau, aku lebih baik meninggal dari pada harus melihat anakku meninggal dan jadi tumbal dukun itu." Deka benar-benar tidak tahu harus mengatakan apa saat ini. Dia serba salah, dan dia tidak bisa berbuat apapun.     

Drt … drt …     

Deka melihat panggilan dari anak buah dukun itu, dia sangat malas untuk mengangkat telponnya. Dia enggan menanggapi dukun itu, karena dukun itu dia harus kehilangan Dila untuk selamanya.     

"Apa dia jawab telpon kamu?" tanya dukun itu pada anak buahnya.     

Anak buah dukun itu geleng kepala dan tidak tahu kenapa pasien si mbah tidak menjawab panggilan telponnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.