Dendam Winarsih

Kenapa Dia Di Sini



Kenapa Dia Di Sini

0 "Ayo turun cepat, kita sarapan dulu, nanti bisa lemas dan pingsan kita." Paijo turun dari mobil dan berjalan menuju ketempat warung makan dan duduk di bangku di susul dengan yang lainnya.     

"Nanti, kita belikan Nona juga ya," ujar Ian kepada Dino.     

"Iya, boleh tidak masalah. Kita beli juga untuk dia, dia pasti sudah lama tidak makan sarapan bubur ini, biasanya di kostnya selalu singgah ke sini," ucap Dino yang mulai sendu.     

Mang Dadang menepuk pelan pundak Dino dan tersenyum. "sudah, dia juga masih mau melanjutkan misinya, semoga cepat dia melakukannya, walaupun harus mengorbankan dirinya tapi aku yakin dia akan bisa melewatinya. Kita dukung saja Nona, jangan buat dia banyak pikiran," ujar mang Dadang.     

Dino menganggukkan, dia paham karena semua ini demi memuluskan rencana mengambil jimat dari Bram. Lima belas menunggu, pesanan mereka sampai di meja. Mang Dadang dan Dino cs menyantap makanan dengan lahap, Ian dan Toni melahap bubur hingga tandas dan tidak bersisa, malah sampai nambah dua mangkok.     

"Kalian kenapa lari?" tanya pria yang berdiri di belakang mereka berlima.     

Ian dan Toni yang mendengar apa yang ditanya oleh pria yang dibelakang tersedak bubur dan ayam.     

"Uhukk ... uhukk ... siapa yang memanggilku dengan suara yang menakutkan itu." Ian menepuk dadanya dan meminum air sampai tandas.     

Semua orang melihat ke arah belakang dan terlihat pria yang tadi membuat kekacauan di rumah mereka. Mang Dadang tersedak begitu juga dengan Dino dan Paijo. Semua pengunjung melihat ke meja yang Dino dan sahabatnya duduki. Wajah mereka sangat merah padam, air minum habis mereka minum satu ceret.     

Pria yang berdiri di belakang mereka duduk dengan wajah datar dan memandang ke arah kelimanya. Ian yang sedang makan pun menelan sisa makanannya, sisa sedikit lagi pikir Ian, mubazir jika di buang. Perlahan dia memakan sisa bubur yang tersisa di mangkuk. Dino dan mang Dadang yang melihat kelakuan Ian tepuk jidad. Di saat seperti ini dia masih bisa makan.     

"Kamu lapar? Ayo kita makan dulu. Untuk menghilangkan diri harus butuh makan juga kan? Nah, kalau begitu makan dulu ya, pesan saja. Mas Dino yang tampan yang akan membayar, berapa mangkuk juga boleh." Ian menawarkan makanan kepada pria yang wajahnya sedikit datar dan pucat.     

"Siapa punya nama?" tanya Toni lagi kepada si pria itu.     

"Paimin." singkat padat jelas.     

"Yuk, Min, silahkan makan, jangan tidak makan, rugi. Mas Dino akan mentraktir kita, benar kan mas Dino?" tanya Ian melirik kearah Dino.     

Dino mengangguk pelan, dia tidak mau cari masalah lagi, cukup semalam dan hari ini dia bermasalah, Dulloh saja tidak tahu kenapa bisa pingsan dan apa karena auranya di hisap pria ini atau tidak dia tidak tahu sama sekali. Paimin memesan satu mangkok, dia makan hingga tandas dan berkali-kali, hampir sepuluh mangkok dan teh dingin juga sama saja, Dino melihat dompetnya, dia mulai memelas dan menunjukkan wajah sendu.     

"Aku sepertinya harus puasa ini mang, uangku untuk beberapa hari berikutnya habis dalam satu pagi ini. Kenapa dia di sini? Kalau dia di sini dan ikuti kita bisa bahaya jiwa raga kita ini," cicit Dino yang mencurahkan isi hatinya ke mang Dadang.     

Paijo menyerahkan uang ke Dino untuk membayar makanan begitu juga mang Dadang, Toni yang mau kasih dijawab dengan gelengan kepala dan Ian memberikan uangnya untuk bayar makanan. Dino akhirnya bisa bernapas lega karena uangnya tidak berkurang banyak.     

"Kalian sahabatku yang terbaik dan sahabat yang menyebalkan sekali. Sangat menyebalkan, kalian mengajak dia tapi makannya seperti orang yang tidak makan selama sepuluh abad lamanya." Dino menggerutu karena pria yang bernama Paimin itu makan seenak udilnya saja.     

"Kita harus apa sekarang?" tanya Paijo dengan berbisik.     

"Kita tinggalkan saja dia, bagaimana? Kalian setuju dengan ide aku?" tanya Toni yang berbisik kecil.     

Dino dan Paijo yang dekat dengan Toni saling pandang satu sama lain. Dino berbisik ke arah mang Dadang dan mang Dadang menelan salivanya, dia takut jika harus meninggalkan pria ini, apa nanti ikut juga atau tidak dengan     

mereka pikirnya. Dino dan Paijo menunggu jawaban dari mang Dadang begitu juga Toni.     

Ian bangun dan memandang sahabatnya yang masih diskusi. "kalian tidak mau ikut kah? Kenapa masih di sini ?" tanya Ian yang tanpa dosa.     

Dino ingin sekali melempar Ian ke dalam dandang bubur ayam, mulutnya benar-benar tidak bisa di rem sama sekali. Ian yang dipandang dengan tatapan tajam oleh mereka berempat menggarukkan kepala. Dino mengumpat kesal karena melihat wajah menyebalkan Ian.     

"Sudah pesankan untuk Nona, Ian yang tampan sejagat raya?" tanya Dino kepada Ian yang berdiri dan mematung di sebelah mang Dadang.     

"Ahhh! Iya juga ya, bentar, aku pesankan, kalian harus cepat ya, nanti kita telat ke kantor," jawab Ian yang bergegas ke tempat penjual.     

"Aku temani Ian ya, sini uangnya aku bayar, kalian di sini saja," ucap Paijo dan merampas uang yang di tangan Dino. Toni ikut bangun dan mengikuti Paijo.     

Dino dan mang Dadang yang melihat kepergian keduanya menelan salivanya dan saling pandang satu sama lain. Paimin yang melihat lima dari tiga yang pergi menatap tajam ke arah dua orang yang tersisa.     

"Kamu sudah makan kan, nah sekarang aku harus pergi dulu. Kami mau kerja, kamu mau pulang silahkan pulang ya, jangan ganggu kami lagi, kami pergi dulu, ayo mang kita pergi dari sini, nanti manajer marah dengan kita," ucap Dino yang bangun dari tempat duduk, mang Dadang langsung pergi bersama Dino, sedangkan ketiganyan sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil.     

Dino dan mang Dadang tidak melihat ke belakang, dia sudah tidak mau berkenalan dengan anak buah dukun itu. Bisa panjang urusan mereka jika berkenalan dengan anak dukun itu. Dino dan mang Dadang sudah duduk dengan wajah datar. Paijo yang menjadi supir langsung pergi dari warung bubur ayam.     

"Kalian tidak setia kawan, kami seperti korban di depan mata dia, aku terlalu takut saat melihatnya. Dan itu terlalu menakutkan aku takut kalau aku jadi tumbalnya." Dino menggerutu karena ketiganya meninggalkan dia dan mang Dadang.     

"Apakah kita undang orang lain lagi mas?" tanya Toni yang mengelap keringatnya.     

Dino, Ian dan Paijo juga mang Dadang menyerngitkan kening dan melihat ke sebelah dan ada satu penumpang gelap berada di sebelah Toni. Toni memandang ke arah keempatnya yang mengangga.     

"Mas dan mamang jangan mengangga saja, bantuin aku ya," ujar Toni yang mohon bantuan kepada mereka berempat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.