Dendam Winarsih

Hajar Dia Mbak Narsih



Hajar Dia Mbak Narsih

0Dino yang mendengar apa yang dikatakan oleh Ian bingung, bagaimana dia mau bantu, sekarang dia berada di luar karena kerja. Paijo melihat ke arah Dino.     

"Bagaimana ini Dino? Kita bagaimana mau bantu dia ya? Aku sudah tidak tahu harus apa, kita kerja Dino, mana mungkin kita pergi tinggalkan pekerjaan kita," cicit Paijo yang bingung mau berbuat apa.     

"Kalian jangan tinggalkan pekerjaan kalian, kalian lanjutkan saja kerjaan kalian, aku tidak masalah sama sekali. Cuma kami harus di sini, entah sampai kapan," cicit Ian kepada Paijo.     

Mang Dadang mengambil telpon Ian, dia ingin berbicara dengan Paijo. "Paijo, kami ini akan aman di sini, tapi tidak mungkin tidur di sini, mana mungkin kan, jadi kami tunggu kalian datang saja, tapi kami akan lihat apa dia ada di sana lagi atau tidak. Jika ada, kami tetap menunggu dan dia sudah pergi kami akan langsung kembali ke rumah."     

"Hati-hati, kalau begitu yang mang, kabari kami segera." Paijo akhir bisa bernafas lega karena perkataan mang Dadang.     

Panggilan keduanya berakhir Paijo melihat ke arah Dino dan tersenyum kecil. Dino menepuk pelan pundak Paijo, Dino lega karena bisa kembali bekerja, tapi tetap di tidak tenang karena memikirkan sahabatnya yang harus bertemu dengan dukun itu.     

Ian yang memandang ke arah mang Dadang dan tarikkan nafasnya benar-benar panjang. "Mang, kita menunggu di sini sampai malam atau bagaimana? Lihat itu dia masih di depan pintu gerbang, dan buat apa dia di sana, makin pusing aku mang lihatnya." Ian menunjukkan ke arah luar di mana ada dukun itu.     

"Kita harus modal nekat saja, kita tidak mungkin di sini sampai pagi, masjid akan di tutup dan tidak mungkin kan kita memaksa pengurus masjid untuk membuka pintu untuk kita, emangnya kita siapa." Mang Jupri mengatakan kepada Ian kalau mereka tidak mungkin ke sini.     

Semuanya terdiam dan duduk bersandar di dinding masjid sambil memejamkan mata. Hari terus berjalan dengan cepat, Ian dan yang lainnya solat mengikuti jadwal solat, sampai akhirnya malam pengurus masjid heran melihat ke empatnya yang tidak pergi dari masjid.     

"Kalian tidak pulang kah?" tanya pengurus masjid kepada mereka semuanya.     

Mang Dadang sudah menunggu pengurus datang untuk menanyakan ini dan benar saja, mereka di tanya kenapa tidak pulang. Mang Dadang melihat ke arah luar dan tidak ada sama sekali.     

"Maafkan kami, kami hanya mau katakan, kalau kami sebenarnya di kejar orang dan sepertinya dia tidak ada lagi. Kami akan pergi, sepertinya dia sudah tidak ada dan kami akan pergi sekarang. Terima kasih karena mengizinkan kami di sini." mang Dadang mengajak Ian, Toni dan mang Jupri untuk pergi.     

"Bisa kita pergi sekarang? Baiklah, kalau begitu, kita akan pergi sekarang. Pak kami permisi dan maafkan kami," Ian dengan sopan mengucap terimakasih kepada pengurus masjid dan pengurus masjid menganggukkan kepalanya.     

Mang Dadang berlari dan di susul yang lain, mang Jupri yang lari sedikit lambat di bantu Toni untuk lebih cepat sampai di mobil. Mang Dadang duduk di sebelah Ian, Ian yang membawa mobil. Ian membawa mobil dengan cepat, tapi tanpa mereka sadar sosok yang mengincar mereka mengikuti mereka.     

"Sial, kenapa dia muncul lagi mang!" teriak Ian yang melihat dukun itu di belakang.     

"Aku rasa dia bukan manusia, aku yakin dia sosok yang menyerupai dukun itu. Wajahnya yang mirip tapi itu bukan dia," ucap mang Jupri yang melihat ke belakang     

Narsih muncul dan duduk di antara Toni dan mang Jupri. "Akhhh! Kenapa kejutin aku! Kamu ini suka sekali kejutin aku hahhh! Kalau aku meninggal bagaimana hmmm!" Mang Jupri terkejut karena Narsih muncul begitu saja dan membuat dia harus mengelus dadanya.     

"Aku mau habisi dia, kalian terus dan belok kanan, ingat jangan ada yang keluar dan tetap di mobil, jika ingin meninggal maka keluar, jika tidak maka duduk di dalam saja." Narsih memberikan peringatan ke semuanya agar tidak keluar.     

"Kami tidak akan keluar, hajar dia mbak Narsih. Buat dia patah sepuluh, dia harus dihajar ya, aku mau lihat kesadisan kamu mbak manis." Ian memberikan semangat ke arah manis Narsih.     

Narsih hanya senyum tanpa kelihatan oleh semuanya. Mobil yang dibawa Ian berbelok ke arah yang Narsih tunjuk tadi, mobil yang dibawa Narsih tiba-tiba berhenti. Ian yang terkejut karena mobilnya berhenti.     

Sosok yang mengikuti mereka muncul di depan mereka. Ian menelan salivanya, dia tidak tahu kenapa dia bisa muncul di depan mereka. Ian yang melihat sosok itu di depan berjalan dan mendekati mobil mereka gemetar dan bergeser ke arah mang Dadang.     

"Mang, apa dia bisa tembus pandang. Dia mirip dengan dukun itu, aku rasa dia benar-benar dukun itu mang, dia benci kita karena kita tidak menyerahkan dia." ucap Ian kepada mang Dadang.     

Kletukk!     

Kepala Ian di ketuk dengan kertas yang di gulung oleh mang Dadang. Ian memantulkan mulutnya karena kepalanya di ketuk oleh mang Dadang.     

"Kalian tunggu saja, aku akan menghajar dia, dia jelmaan dari dukun itu, dia tahu kita karena dia menerima kain kafan pocong dariku," ucap Narsih.     

"Apa!" teriak semuanya.     

Ian mengumpat karena Narsih mengatakan itu. Mang Dadang tidak bisa berkata apapun, apa lagi mang Jupri yang tidak kehabisan kata-kata, dia juga bingung mau bilang apa. Tapi, dia harus apa pikirnya lagi.     

Gubrakkk!     

Sosok yang di depan berdiri di depan kap mobil dan jongkok dan untuk melihat Ian dan yang lainnya. Narsih langsung keluar tebus mobil depan dan mencekik leher sosok yang berdiri di depannya.     

Ian menelan salivanya dan tentu membuat dia merinding ketakutan. Dia melihat ke arah Narsih begitu kejam menghajar sosok itu. Narsih melempar sosok itu dengan kencang ke arah pohon yang ada di depan mereka.     

Brakkkk!     

"Uhhhh! Seram, dia menghajar sosok itu dengan kejam mas. Oh ya, apa nggak sebaiknya kita tidak pergi saja, dari pada kita di sini," ucap Toni yang memberikan saran untuk pergi dari tempat ini.     

"Bagaimana? Apa kita harus pergi mang?" tanya Ian kepada mang Dadang.     

"Jupri, menurut kamu bagaimana?" tanya mang Dadang.     

"Aku ikut saja, karena kepala aku pusing sekali, kita belum makan ini, bagaimana kalau kita makan saja, aku akan pingsan jika tidak makan," ucap mang Jupri.     

"Mang, aku mencintaimu, ayo kita pergi makan, aku yakin mbak manis Dino akan menang, kita makan di warung biasa apa bawa pulang?" tanya Ian yang sudah meninggalkan tempat di mana Narsih dan sosok yang tidak tahu siapa itu.     

"Kita pergi dulu, baru putus kan," jawab mang Dadang kepada Ian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.