Dendam Winarsih

Ini Cari Mati



Ini Cari Mati

0Melihat anggukkan dari Paimin membuat Ian dan lainnya terdiam. Paimin melihat ke arah semuanya yang tidak bicara sama sekali. Ian menghela nafas panjang karena mendengar apa yang dikatakan oleh Paimin bagaimana tidak bisa membuat jimat itu harus dari orangnya sendiri yang melepaskannya, jika tidak mau dia lepaskan ini cari mati namanya pikir Ian dalam hati.     

"Kalau tidak ada cari lain berarti kita cari masalah, dia kecelakaan tapi selamat dan kalau kita bunuh apa dia selamat juga kah?" tanya Ian lagi yang masih penasaran.     

"Kalau itu aku tidak tahu, sumpah aku tidak tahu, karena aku bukan dukun, aku hanya ikut dia saja itu pun karena aku di ajak temanku yang sudah meninggal. Tinggal aku saja, entah bagaimana caranya aku sekarang, apa aku di cari dia atau tidak," ucap Paimin.     

"Kamu mau pulang tidak ke dia? Jika mau, silahkan saja, kami semua tidak akan melarang, apa kamu ke sini karena di minta dukun itu ya? Atau apa?" tanya mang Dadang kepada Paimin.     

"Tidak, aku hanya diminta untuk mengikuti si Diman, dan ajak dia ke rumah dukun itu, untuk jadikan menjadikan istrinya tumbal, aku rasa kalian sudah tahu, iyakan?" tanya Paimin.     

Brakkkk!     

Ian yang mendengar apa yang dikatakan oleh Paimin mengebrakl meja dengan cukup keras. Semua orang yang mendengar gebrakkan meja dari Ian terkejut. Paimin memeluk Narsih yang pas sekali berdiri di sampingnya. Semua melihat kelakuan dari Paimin yang memeluk Narsih dari samping.     

"Kamu kenapa peluk dia Paimin?" tanya Paijo kepada Paimin yang masih memeluk Narsih dari samping.     

Paimin yang terkejut langsung melepaskan pelukkan dari Narsih. Narsih hanya diam dan menatap ke arah Ian yang mengebrak meja. Ian tidak peduli dan menatap Paimin lagi     

"Kamu katakan apa tadi? Jadi benar, dia ke kantor Diman karena mau ajak Diman jadi tumbal kan?" tanya Ian.     

Plakkk!     

"Udah salah besar lagi, dia bilang bukan si Diman tapi istrinya, benarkan Paimin?" tanya Paijo yang mengeplak kepala Ian karena salah ucap.     

Ian yang geplak oleh Paijo hanya diam saja dan tidak berkata apapun, Ian mengusap kepalanya yang perih. Mulut Ian di manyun kan dan tentu membuat dia menatap ke arah Paijo.     

"Aku diminta ke kantornya jadi ya sudah aku pergi, nggak tahu ada sosok itu, entah dari mana datangnya aku tidak tahu. Kalian mau ambil jimat itu ya?" tanya Paimin.     

Semuanya mengangguk termasuk Narsih. Paimin yang melihat anggukkan dari semuanya menatap dengan wajah bingung. Dia tidak tahu apapun mengenai jimat itu.     

"Aku tidak tahu apapun, karena aku sudah katakan kalau aku ...." ucapan Paimin dipotong oleh Ian.     

"Sudah tahu, kalau kamu tidak tahu, itu pun di ulang-ulang saja tahunya," ucap Ian yang mencibir mulutnya.     

Paimin mencibir kembali mulutnya, dia juga menjulurkan lidahnya karena Ian menggodanya. Mang Dadang geleng kepala melihat keduanya karena saling ejek. Mang Dadang berdehem kecil untuk menyudahi pertengkaran kecil.     

"Jadi, bagaimana Dino, apa kita harus lakukan? Apa kita minta dia balik lagi, jangan lanjutkan, kita sudah tahu kalau jimat itu tidak bisa kita buat sembarangan, bahaya jika kita minta Nona di sana yang kita saja tidak bisa membuat dia meninggal. Tapi, kalau kita minta dia melanjutkannya ya, dia memang harus menikah dan seperti yang aku bilang lah, saat dia mandi kan di lepas nah mungkin itu bisa jadi. Kalau tidak ya, sudah kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dipaksa juga tidak akan bisa untuk Nona, ini cari mati jika kita paksa Nona." Mang Dadang meminta Dino untuk memutuskan apa yang akan mereka ambil.     

"Jadi, kita lepaskan dia ya?" tanya Toni.     

"Gila, makin rumit, kita mana mungkin lepaskan dia, gila ini namanya, kita tidak ada cara lain apa?" tanya Paijo.     

"Kamu tahu tidak kalau kita itu sudah tidak ada cara lain, yang ada pun cuma itu." Ian mengatakan tidak ada cara lain lagi.     

"Kamu balik ke dukun kamu, tanya apa yang harus di lakukan," ucap Ian lagi.     

"Aku sepertinya takut kalau jadi anak buahnya, nanti sosok apa lagi yang merasuk aku, aku mau normal, aku mau ke desa, mau menanam padi, atau yang lainnya lah," ucap Paimin.     

"Yakin tuh mas Paimin?" tanya Toni kepada Paimin.     

Paimin menganggukkan kepalanya, dia ingin hidup normal, membayangkan hidup di keliling dupa dan menyan dan semua para hantu membuat dia jadi hantu pikirnya. Toni menyikut lengan Paimin dan mengangkat alisnya. Paimin geleng kepala ke arah Toni.     

"Jadi, kita tidak bisa tahu kalau kamu nggak tanya ke dukun kamu itu." Ian menatap ke arah Paimin dengan tatapan sedikit tajam.     

"Aku rasa, kita harus cari alternatif lain, kalau kita bawa dia, Bram akan mencari dia, jika dia tanya kita, tinggal kita minta syarat dari dia saja, kita minta dia dengan rela hati membuka jimat itu, gampang kan?" tanya Dino kepada mang Dadang dan yang lain.     

"Itu sama saja kali Dinosaurus, itu barter kan, kamu pikir dia mau di bunuh oleh mbak manis kamu ini? Mana mau dia, kalau dia kasih dengan suka rela, apa mbak manis ini mau merelakan dia untuk tidak di bunuh? Mbak manis Dinosaurus mau merelakan dia? Mau tidak mbak manis?" tanya Ian ke arah Narsih.     

Semua memandang ke arah Narsih, Narsih yang dipandang hanya diam karena mereka semua menatap dia, Narsih tidak bisa berkata apapun lagi. Ian menghela nafas panjang ke arah Narsih, dia tahu kalau Narsih tidak akan bisa mengikhlaskannya.     

"Lihat kan, dia tidak akan mengikhlaskan Bram, jadi mana mungkin dia mau melepaskan jimat itu demi Nona manis kita itu, itu mustahil tahu tidak," ucap Ian lagi dengan penuh keyakinan.     

"Kamu tahu tidak, kalau cinta, apapun bisa dia lakukan, nyawa sekalipun bisa kita lakukan, dan aku yakin kita bisa melihat itu jika Bram benar cinta dengan nona manis kita itu," ujar Paijo lagi.     

"Menurutku benar kata Paijo, jika cinta tidak tahu sama sekali," ucap mang Dadang lagi.     

Dino hanya diam saja, karena dia tidak tahu jika hal itu. Dino terdiam sesaat, karena dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mengekang Nona nantinya.     

"Sudah jangan kita memikirkan itu, kita harus tenang sambil menunggu kabar dari mang Jupri, apa yang terjadi di sana, kita mau tahu apakah dia luka dalam atau tidak. Jika dia hanya berpura-pura saja, maka jimat itu tidak berfungsi, kalian tahu kan kita itu sangat menginginkan jimat itu, agar Narsih bisa balas dendam, tapi jika dia mengaku ke polisi kamu masih membunuh dia tidak?" tanya mang Dadang kepada Narsih.     

Narsih menganggukkan kepalanya, dia juga tidak ingin melihat anak kecil yang bermain bersama dia kehilangan orang tuanya, tapi dia tidak mengatakan ke semuanya. Semua yang melihat anggukkan Narsih mengangga, tapi mereka tetap senang karena Narsih bisa ikhlas untuk saat ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.