Dendam Winarsih

Jimat Itu Sakti



Jimat Itu Sakti

0Narsih yang melihat mereka terkejut hanya bisa diam dan memandang ke arah mereka. Mang Dadang yang sudah tenang menepuk pipi kedua orang yang pingsan itu dengan pelan.     

"Bangun, hei bangun cepat, kenapa kalian pingsan di sini, cepat, bangun!" mang Dadang menepuk pipi keduanya tapi tidak juga bangun.     

"Mereka kenapa bisa bersamaan pingsannya, duh buat ribet aja ini orang lah, mana kita sedang sibuk juga, dia malah pingsan." Paijo juga ikut membantu mang Dadang membangunkan keduanya, tapi keduanya tidak bangun juga.     

"Sudah, jangan kalian membuang tenaga membangunkan mereka, lebih baik kita bawa dia saja ke mobil dan langsung pulang, kita tunggu kabar selanjutnya, dan kamu Narsih, segera pergi dan kita jumpa di rumah," ucap mang Dadang kepada Narsih.     

Narsih seketika menghilang, Dino dan Paijo mengangkat Paimin dan mang Dadang bersama Ian mengangkat Toni. Mereka perlahan keluar dari rumah sakit, masa bodoh semua melihat ke arah mereka yang penting sampai mobil.     

Sampai di mobil, mereka menyusun satu persatu yang pingsan di kursi belakang supir. Setelah selesai mereka selesai menyusun para pria yang pingsan, Dino dan Paijo bergegas masuk ke dalam mobil di susul Ian dan mang Dadang.     

"Kita pulang dulu atau beli makanan?" tanya Dino.     

"Tidak perlu, tadi pak ustad ada kasih nasib berkat untuk kita, jadi jangan beli, lagian kita harus bisa berhemat, masak saja, biar aku dan Paimin saja yang belanja ke pasar. Ngomong-ngomong, Paimin kamu tidak kembali ke rumah dukun kamu itu? Eh, pingsan dia." mang Dadang baru tahu kalau yang dia tanyakan pingsan.     

Ian hanya berdehem dan menatap ke arah mang Dadang dengan tatapan tidak ternilai. Mang Dadang menggarukkan kepala karena pandangan Ian terhadap dia sangat membuat dia salah tingkah.     

"Sudah tahu dia pingsan di tanya lagi. Akhh, tapi benar juga, kenapa dia tidak kembali ya ke dukunnya, atau dia mata-mata itu dukun? Kalau iya, nggak boleh jadi ini, bahaya ini namanya," ujar Ian yang geleng kepala dengan kencang.     

"Nanti kita tanya saja, kalau dia mau balik silahkan jika niat dia hanya mau mata-mata, lebih baik aku yang akan bunuh dia, bodoh amat mau dosa atau tidak, yang penting habisi dia," ucap Paijo dengan suara yang menggebu-gebu.     

"Baiklah, kalian habisi saja berdua, setelah itu kalian kabur jauh-jauh jangan dekat kami ok, kami tidak mau kalau kalian menjadi buruan dia seperti Narsih berburu ke empat pembunuh itu." Dino meminta mereka kabur setelah melarikan diri.     

Ian cekikikan mendengar apa yang di katakan oleh Dino. "lari tepat ketahuan sama saja kali, mana mungkin kan," ucap Ian yang masih terkekeh.     

"Sudahlah, jangan seperti itu, aku harap kita tidak akan melakukan hal yang sama seperti Bram lakukan. Kita tanya saja dia, kalau mau lanjut ya lanjut jika nggak ya mau bagaimana lagi kan," jawab mang Dadang kepada keduanya.     

Ian dan Dino menganggukkan kepala begitu juga Paijo. Sampai di rumah mereka turun dan perlahan kedua orang yang pingsan siuman dan memegang kepala. Rasa pusing di rasakan keduanya. Ian berjalan ke depan dan membuka pintu rumah. Saat di dalam rumah sudah ada Narsih yang berdiri di dekat kursi tamu.     

"Cepat juga ya," cicit Ian yang langsung masuk ke dalam kamar mandi, dia langsung mandi karena gerah, satu persatu mereka mandi. Selesai mandi, mereka langsung duduk di meja makan. Nasi berkat satu persatu di makan hingga habis.     

"Mang, kenapa Bram tidak luka? Dan lihat tadi dia bisa jalan, padahal kalau di lihat dari luka supirnya, kecelakaan dia itu pasti mengerikan." Ian bingung kenapa bisa dia selamat tanpa luka sama sekali.     

"Yang dia pakai itu jimat sakti, jadi sudah jelas kalau dia tidak terluka, makanya Narsih tidak bisa mendekati dia, tanah kuburan di jadikan jimat ya seperti itu, kecuali jika jimat itu lepas atas kemauan sendiri bukan dari rampasan kita atau diminta, itu tidak akan bisa," ucap Paimin kepada Ian dan yang lainnya.     

Ian dan yang lainnya terkejut karena perkataan Paimin yang menyatakan kalau jimat itu harus suka rela tanpa paksaan dan permintaan dari orang lain.     

"Kalau istrinya yang minta bagaimana?" tanya Paijo kepada Paimin.     

Paimin geleng kepala mendengar apa yang ditanyakan oleh Ian. Ian menelan salivanya melihat gelengan kepala Paimin. Ian melihat ke arah Dino dan Paijo.     

"Ini gila, jadi kalau tidak bisa kenapa Nona di sana? Apa mereka tahu akan hal itu?" tanya Ian kepada Paimin.     

"Sebelum di pasang harusnya tahu, tapi entahlah, aku juga tidak tahu, hanya dengar saja dari mbak dukun yang kemarin. Lebih tepatnya gurunya yang mbak ini bunuh." Paimin menjelaskan apa yang dia ketahui tentang apa yang terjadi.     

"Kita minta saja Nona pulang, cari alasan yang pas saja, jangan sampai dia manfaat Nona lagi, kita tidak mungkin meminta dia meneruskan jika jimat itu tidak bisa. Dan kecelakaan ini apa ini juga mbak yang melakukannya?" tanya Paijo kepada Narsih.     

Narsih hanya menganggukkan kepala ke arah semuanya. Melihat apa anggukkan kepala Narsih semuanya hanya bisa menghela nafas panjang dan memijat kening saja.     

"Aku tidak bisa berkata apa-apa, sudah pasti dia yang akan menjadi tahu kalau Narsih yang melakukannya dan dia akan berada di atas angin saat ini," ucap Ian lgi     

"Kita tenang dulu, tidak boleh gegabah, karena kita harus memikirkan cara mereka melepaskan jimat itu, karena itu tanah yang mereka ambil dari kuburan Narsih, jadi tidak mungkin kita tidak punya cara lai. Kita bisa memanggil pak ustad, untuk bacakan doa dan biar tanah itu kembali, bisa saja kan," ucap Paijo lagi.     

Mang Dadang hanya bisa menghela nafas karena semuanya kacau, dengan membunuh Bram tidak berjalan dengan baik ya jalan satu-satunya harus berhenti mengejar mereka pikir mang Dadang lagi.     

"Jika memang sudah tidak bisa dan jimat itu hanya bisa di lepas karena kemauan sendiri, berarti dia harus ke kamar mandi dan saat di buka dan di simpan di mana cepat ambil dan jika benar seperti itu, jalan satunya ya menikah, tidak ada lagi." mang Dadang menjelaskan apa yang akan mereka lakukan.     

Dino makin lesu, karena dia tidak akan bisa bersama dengan Nona lagi, jika seperti itu kejadiannya. Ian dan Paijo juga Toni, Paimin hanya diam mendengar ap yang di katakan oleh mang Dadang.     

"Cara lain tidak ada lagi kah?" tanya Ian kepada Paimin. Paimin geleng kepala ke arah Ian, dia mendengar itu dari guru mbah dukunnya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.