Dendam Winarsih

Rencana Pengobatan



Rencana Pengobatan

0Keesokan harinya, Dino dan yang lainnya sudah bangun dari tidurnya, mereka menjalankan ibadah sholat subuh berjamaah, Mirna yang sudah mengerti apa yang Ian katakan sedikit demi sedikit percaya kepadanya. Selesai sholat, mereka berkumpul di ruang tamu, Mirna yang berganti peran memasak, Mirna memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja, Ian tidak memaksa dia untuk bekerja, tapi Mirna lebih memilih untuk di rumah saja.     

"Hari ini, kita harus segera lakukan rencana pengobatan untuk Nona, semakin cepat dia sadar semakin cepat dia kembali ke Nona yang kita kenal, terlepas dia koma menurut tim medis itu urusan belakangan, yang penting kita lakukan saja dulu, jangan lupa beritahu Mang Jupri, biar dia bisa kordinasi ke kita, dan sebagian di rumah sakit dan sisa kita mengikuti Bram ke kantor agar pengobatan Nona berjalan lancar, karena butuh waktu untuk mengobati hal yang berhubungan jin," jawab mang Dadang kepada Dino dan yang lainnya.     

"Kalau kita telpon sekarang bagaimana? Mang Jupri pasti sedang solat, jadi dia bisa menjawab telpon kita, semoga Bram tidak bersama dengan mang Jupri," ujar Dino kepada Mang Dadang.     

"Semoga saja, kalaupun iya, bagus lah, dosanya juga akan luntur," jawab Ian kepada Dino.     

Dino mencari nama Mang Jupri dan langsung menekan tombol hijau, panggilan pertama tidak di jawab oleh Mang Jupri. Dino mengulang kembali melakukan panggilan telpon ke Mang Jupri.     

Tut ... tut ...     

"Halo, Dino, ada apa Dino?" tanya mang Jupri yang menjawab panggilan Dino.     

"Halo mang, kami sudah dapat ustadznya, dan kami berencana mau ke rumah sakit mang, tapi kalau Bram sudah tidak di sana, apa mamang bisa bantu kami tidak?" tanya Dino kepada Mang Jupri.     

Mang Jupri bersama dengan istrinya tengah solat subuh di mushola rumah sakit dan tentu dia melihat sekitar apakah ada yang mengetahui perbincangan dia atau tidak.     

"Bisa, nanti saat dia pergi, aku akan katakan ke kalian, ingat ya, kalian harus hati-hati, jika perlu ada yang ikutin dia, karena mengeluarkan sosok ibunya itu tidak semudah itu," ucap Mang Jupri kepada Dino.     

"Sebenarnya itu jin mang, kata pak ustadz, jadi bukan ibu atau keluarga Nona yang merasukki dia, jadi selama ini kita salah mang," ujar Dino lagi kepada mang Jupri lagi.     

Mang Jupri yang mendengarnya mengangga, jadi bukan ibu Nona, mang Jupri berpikir sejenak, mungkin benar kata Dino, jin yang bisa seperti ini, jika arwah seseorang yang sudah meninggal di tempat berbeda.     

"Mang, Mang Jupri." panggil Dino ke Mang Jupri.     

Mang Jupri tersentak dan berdehem dikit, "Ya, saya dengar, benar kata pak ustad, itu jin, kita salah kaprah, ya sudah kita ketemu di sini, kalian awasi saja dia nanti aku kabari jika dia ke luar di rumah sakit, " jawab mang Jupri kepada Dino.     

Dino menganggukkan kepala dan mengakhiri panggilan. Dino menatap mang Dadang dan sahabatnya. Dino mengangguk pelan dan mengacungkan jempol.     

"Kalian tidak kerja kah?" tanya Paimin kepada yang lainnya.     

"Ian yang kerja, aku dan Paijo akan bawa ke rumah sakit pak ustadz, aku sudah katakan masuk setengah hari kalau Toni dia masuk, jadi yang mengikuti kamu dan mang Dadang yang ikut serta mengawasi dia, kamu siap kan?" tanya Paijo dengan tegas.     

Paimin menganggukkan kepalanya, dia siap pergi mengawasi Bram. Matahari sudah mulai naik, Dino sudah bersiap untuk menjemput pak ustadz. Sebelum menjemput, Dino menelpon pak ustadz lebih dulu.     

Tut ... tut ...     

"Assalamu'alaikum, pak ustadz, kami jemput bapak ya, apa sudah siap? Teman pak ustadz sudah siap ikut kan?" tanya Dino yang belum tahu apakah teman pak ustadz itu mau ikut apa tidak.     

"Oh ya mas Dino, Walaikumsalam, jadi mas Dino, dia sudah saya telpon semalam, dan dia sudah di rumah saya, apa kita mau pergi ke sini kah?" tanya pak ustad yang penasaran apakah hari ini atau tidak.     

"Iya, hari ini, bisa ikut kan pak ustadz?" tanya Dino kepada pak ustadz dengan penuh harap pak ustad dan temannya mau ikut.     

"Bisa, saya dan teman saya akan ikut, apa mau pergi sekarang?" tanya pak ustadz lagi.     

"Iya, saya jemput sekarang ya, kita ke sana dan setelah itu kita menunggu sebentar ya, kita menunggu Bram pergi dan setelah itu kita baru masuk," ujar Dino kepada pak ustadz untuk menunggu sebentar.     

Pak ustadz menganggukkan kepalanya mendengar apa yang dikatakan oleh Dino. Panggilan telpon keduanya berakhir setelah sepakat untuk bertemu.     

"Ayo kita pergi, nanti takutnya Bram tidak terdeteksi dengan kita, kami akan menunggu sampai Bram pergi baru kami masuk," jawab Dino yang bersiap untuk pergi.     

Ian sudah bersiap pergi karena mobil kantor sudah jemput, setelah pamitan dengan Mirna, Ian pergi, begitu juga dengan yang lainnya.     

"Nak, nanti jangan buka pintu jika bukan kami, takutnya orang jahat, kamu diam saja ya, ingat, sekarang rawan kejahatan, kamu sendiri di rumah, takutnya kamu dihipnotis orang," jawab mang Dadang mengingatkan istri Ian yang sudah dia anggap sebagai putrinya.     

"Baik mang, saya akan dengar apa yang kata mang Dadang." Mirna menyalami dan menciun tangan mang Dadang.     

Mirna yang tidak punya ayah senang dengan mang Dadang yang kebapakan, semuanya keluar, Mirna langsung menutup pintu, dia mengintip di jendela terlihat pintu garasi di kunci dan mobil melaju meninggalkan rumah.     

Mirna kembali ke dapur, dia senang banyak yang mencintai dia termasuk Ian, besok dia akan ke kantor catatan sipil, karena hari ini Ian tidak bisa pergi jadi besok mereka akan ke sana. Sampai di rumah pak ustad, Paijo mengklakson, untuk pak ustadz keluar dari rumah.     

"Maaf, kami telat, masuk pak ustad. Kita pergi sekarang ya," jawab Paijo kepada kedua ustad yang sudah duduk di mobil.     

"Boleh, ayo kita pergi sekarang, saya merasa sedikit deg degan, karena takut ketahuan oleh mereka si Bram itu, kamu tahu sendiri kan, kalian saja takut apa lagi saya, yang terlibat juga," jawab pak ustad yang sedikit cemas.     

Paijo terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh pak ustad. "Pak, santai aja, kami takut karena ada mang Jupri dan istrinya juga ada Nona juga, kalau sama dia tidak pak, dia itu kalap mata, bisa dibunuh mereka kalau ketahuan oleh dia," ucap Paijo yang geleng kepala.     

"Kan sama saja Paijo, kalau saya di bunuh bagaimana ya?" tanya pak ustad yang menekan kata kalau di bunuh bagaimana.     

"Ya, nggak kemana pak ustad, kalau di bunuh ya sudah, sudah takdir pak ustad," ujar Paijo dengan senyum kecil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.