Dendam Winarsih

Dia Belum Meninggal



Dia Belum Meninggal

0Mang Dadang, pak ustad Mahdi dan Ian berjalan menyusuri lorong rumah sakit mereka mencari ruang inap Deka.     

"Ian, kamu tahu tidak di mana ruang inap Deka?" tanya ucap mang Dadang kepada Ian.     

"Nggak tahu mang," jawab Ian langsung.     

Mang Dadang dan pak ustad mengangga mendengar jawaban dari Ian, dia melihat ke arah Ian dan menarik tangan Ian agar dia berhenti melakukannya.     

"Besok-besok kalau mau ke ruangan orang atau jenguk lah, harus tahu ruangannya, jangan asal masuk saja, ingat itu, jika tidak bahaya tahu tidak kamu hmmm," ucap mang Dadang yang kesal dengan kelakuan dari si Ian ini.     

"Yang tahu si Dinosaurus, bukan aku, kalau aku mah mana tahu mang, boro-boro tahu yang ada aku kan ikut aja dengan dia, mang tanya lah sama Dino, telpon dia katakan pada dia di ruangan mana, soalnya Mbak Narsih yang bicara dengan dia," ucap Ian.     

Mang Dadang memijit keningnya, dia pusing melihat Ian yang tidak bisa di andalkan. Mang Dadang duduk di bangku bersama pak ustad dan dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan.     

"Kita telpon saja, tanya di mana ruangan si Deka," ucap mang Dadang kepada yang lainnya.     

"Baiklah, tidak apa, kami akan tunggu di sini," jawab Ian kepada mang Dadang.     

Mang Dadang yang mendengar jawaban dari si Ian menyerngitkan keningnya, dia mau telpon kenapa dikatakan tunggu di sini saja.     

"Aku kan mau telpon, bukan mau pergi ke tempat dia," jawab mang Dadang kepada Ian.     

"Bukannya, tas kami di sana, dan telpon kami juga di kantor mana ada kami bawa mang, kita perginya dadakan, gimana mamang ini," ucap Ian yang duduk di tempatnya.     

Mang Dadang menepuk jidadnya dan dia hanya bisa menghela nafas panjang karena dia tidak bisa berkata apapun, dia ingin melempar Ian tapi dia tidak salah pikirnya lagi.     

"Kenapa bisa kamu tidak bilang kalau kamu itu tidak bawa telpon, kamu ini lah, buat naik darah saja. Ya sudah, biar mamang yang pergi ke bawah, tanyakan kepada Dino, kamu benaran nggak tahu Ian?" tanya mamang kepada Ian dengan serius.     

Ian menganggukkan kepala ke arah mang Dadang, dia benar-benar ketinggalan telponnya dan dia juga panik saat itu, mang Dadang pun hanya bisa mengangguk saja, dia juga tidak tahu, karena sudah terjadi juga.     

"Ya sudah, tunggu di sini ya," ucap mang Dadang kepada Ian.     

Mang Dadang yang ingin bangkit dari tempat duduk tertahan karena melihat supir Deka yang memakai topi menutupi wajahnya, dia juga kelihatan sangat berbeda dan berjalan seperti orang pencuri. Mang Dadang kenal dengan supir Deka karena dia pernah mengintai Deka.     

"Hei, bentar dulu, itu bukannya supir Deka ya?" tanya mang Dadang kepada Ian.     

Ian dan pak ustad melihat pria yang jalan menunduk dan melewati mereka bertiga. Ian yang mencoba mengingat pria tadi menatap mang Dadang dan menganggukkan kepala.     

"Mang, benar sekali, itu dia, supir yang waktu itu, eh maksudnya supir yang bersama dengan dia kan mang," ujar Ian yang menatap mang Dadang.     

"Kalau kalian mengenal dia ayo kita ke sana dan jumpai dia, bagaimana?" tanya pak ustad Mahdi kepada yang lainnya.     

Mang Dadang dan Ian menganggukkan kepala, ketiganya langsung pergi mengikuti langkah kaki supir Deka, mereka tidak ingin terlalu dekat dengan supir Deka dan tentu itu akan membuat mereka akan ketahuan.     

"Mang, kira-kira dia belum meninggal kan, aku takutnya, supirnya juga ada bermain dengan Bram, mang kan tahu sendiri kalau dia tidak seperti orang pada umumnya, berpengaruh dan semua dia jadikan lahan untuk balas dendam, sama dengan temannya yang satunya, si Diman itu, dia yang mencelakai sahabatnya," ucap Ian kepada mang Dadang yang hanya bisa menghela nafas panjang.     

"Kamu bilang dia di bunuh sama sahabatnya sendiri? Karena apa Ian?" tanya pak ustad yang penasaran dengan apa yang terjadi dengan masalah Bram kenapa bisa saling bunuh satu sama lain.     

"Sebenarnya bukan saling bunuh pak ustad tapi lebih ke percobaan pembunuhan, keduanya masing-masing ingin menutupi kesalahan mereka sedangkan yang lainnya mau mengakuinya, kan aneh pak ustad, kenapa tidak sejalan, mereka membunuh mbak manis Narsih saja sebegitu hebatnya tapi kenapa saat sekarang mereka bisa pecah belah, aneh kan pak ustad," ucap Ian kepada pak ustad.     

Mang Dadang dan pak ustad menganggukkan kepala, mendengar apa yang dikatakan oleh Ian, mungkin saja mereka takut kehilangan orang yang mereka cintai pikir keduanya.     

"Saya rasa, dia takut kalau orang yang mereka kehilangan orang yang mereka cintai pergi atau sebaliknya, orang yang mereka cintai kehilangan mereka, anak dan istri mungkin," jawab pak ustad kepada Ian yang dibalas anggukkan oleh Ian.     

Ketiganya sampai di tempat ruang inap Deka, cukup kecil dan pas untuk dirinya. Ketiganya hanya melihat dari kaca di dekat pintu, mereka tidak berani untuk masuk ke dalam. Mang Dadang mengajak mereka untuk pergi dan tentu saja keduanya menganggukkan kepala.     

"Kita bersembunyi saja dulu, kita tidak boleh kelihatan oleh mereka, ingat kita harus bisa buat supir itu percaya pada kita dulu," ucap mang Dadang, karena mang Dadang mau membuat rencana lain untuk Deka.     

"Mang, mau buat supirnya percaya, caranya bagaimana?" tanya Ian yang penasaran.     

Mang Dadang melihat supirnya keluar kembali dan mengusap wajahnya, pak ustad melirik ke arah mang Dadang dan seketika dia mengerti ke mana arah tujuan mang Dadang.     

"Mang, saya bantu juga mang Dadang?" tanya pak ustad kepada mang Dadang.     

"Boleh, ayo kita pergi sekarang, kita buat dia percaya pada kita, lalu kita tanya yang lainnya, biar dia yang buka sendiri apa yang terjadi dengan bos, bagaiamana pak ustad ini nggak termasuk mencari tahu masalah orang lain kan?" tanya mang Dadang yang sedikit takut jika dia terlalu ikut campur.     

"Tidak apa, selama itu untuk mencari jalan keluar dan solusi menurut saya tidak apa, ya sudah, ayo kita ke sana dan kita cari kebenarannya dulu," ucap pak ustad yang mengajak Ian dan mang Dadang.     

Ketiganya menganggukkan kepala dan langsung mendekati supir Deka dan berpura-pura menjenguk orang sakit. Mang Dadang duduk di sebelah supir Deka dan tersenyum ke arah supir Deka.     

"Boleh duduk di sini kan pak, kami nunggu keluarga di sini, dia sakit diare, musim sekarang pak," ucap mang Dadang kepada supir Deka.     

"Silahkan saja pak, saya juga nungguin majikan saya, dia kecelakaan tunggal, saya sedih melihatnya, hanya saya yang tahu dia kecelakaan, keluarganya tidak ada yang tahu sama sekali, jadi dia yang jaga saya, kasihan sekali, ada rekan saya juga yang kecelakaan bersama bos saya, tapi dia tidak apa, tapi masih di rawat juga. Eh, maaf karena saya harus cerita masalah pribadi saya ke kalian," ucap pak supir Jajang.     

"Tidak apa, kita sama-sama saling menceritakan asal kita tenang saja, yang sabar, semoga cepat sembuh," ucap pak ustad kepada pak Jajang dengan tulus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.