Dendam Winarsih

Ini Bukan Karma



Ini Bukan Karma

0Bram keluar dari ruangan sahabatnya tadi, dia tidak berkata apapun, Bram duduk di tempat dia menunggu tadi, Bram termenung dengan apa yang terjadi, dia juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan tubuhnya yang tiba-tiba terluka dan semakin bertambah, tidak ada ada yang berkurang sama sekali.     

Diman datang dan menepuk sahabatnya itu, dia duduk dengan wajah sendu, Bram melihat kedatangan Diman dan tersenyum kecut, telihat wajahnya Diman pucat.     

"Sudah periksa? Jika belum pergi lah sana periksa, aku sudah tinggal tembus obat, cepat aku tunggu kamu di sini," ucap Bram yang meminta Diman untuk masuk dan kebetulan Diman juga sudah janji padanya.     

"Baiklah, tunggu aku, aku mau bicara padamu," ucap Diman kepada Bram.     

Diman masuk ke dalam, Bram menunggu dengan sabar di ruang tunggu. Bram yang melihat seseorang yang mirip dengan Narsih sedang berdiri dan tersenyum, Bram ingin mendekati tapi suster lewat di depannya dan menghalangi pandangannya, setelah melewati dia, Bram tidak melihat siapapun dia sana.     

"Apa yang aku pikirkan, dia tidak mungkin datang di pagi-pagi seperti ini, Bram kamu sepertinya mimpi, iya mimpi kamu Bram," ucap Bram kepada dirinya sendiri.     

Bram menghela nafasnya dan melihat ke arah pintu ruangan sahabatnya, Bram memijat keningnya, kepalanya benar-benar pusing karena masalah terus menerus datang menghampiri dirinya.     

"Aku merasakan ini akan terus menerus menghantuiku, dia akan terus mengikuti sampai dia puas dan mungkin saja dia tidak akan pernah mau melepaskan aku," ucap Bram dengan nafas yang cukup berat.     

Diman yang sudah keluar dari ruangan dokter duduk di sebelah Bram dan melihat sahabatnya menunjukkan sikap sendu dan tidak bersemangat.     

"Kamu sama dengan aku kah?" tanya Diman kepda kepada Bram.     

Bram memandang ke arah Diman dan menganggukkan kepala kepada Diman. Bram bangun dan melihat ke arah Diman, Diman yang tahu kode dari Bram ikut bangun dan keduanya berjalan menuju ruang apoteker untuk mengambil obat, tidak perlu menunggu lama, resep yang Bram dan Diman tebus langsung diberikan ke dia.     

"Kamu mau ke mana?" tanya Diman kepada Bram.     

"Aku mau ke kantor, kamu mau ikut atau bagaimana?" tanya Bram.     

"Aku ikut saja, kita jumpa di sana saja," ucap Diman yang ikut saja, dia juga mau mengatakan apa yang terjadi.     

Bram pun keluar ke lobby dan terlihat supir sudah berada di depan lobby dan Bram langsung masuk ke dalam mobil dan mobil melaju ke kantor, Bram melihat obat yang dia dapatkan dari sahabatnya, apa obat ini bisa menyembuhkan semua luka yang di dapatkan atau tidak.     

"Bram, apa yang kamu pikir kan saat ini, yakin lah, kamu akan melewati ini, dan Narsih akan pergi dari hidup kamu, yakin lah Bram," Bram lagi-lagi bermonolog dengn dirinya sendiri.     

Mobil masuk ke dalam perusahaan Bram, mobil berhenti di depan lobby, satpam membuka pintu mobil Bram. Bram turun dan di susul dari belakang mobil Diman tiba dan pintu mobil Diman juga terbuka, Diman dan Bram masuk bersama ke dalam, Bram tidak fokus untuk kerja, dia melimpah kan ke sekretarisnya, dia hanya memeriksa jika sudah di kerjakan.     

Ting!     

Pintu lift terbuka, keduanya masuk dan menekan tombol ruangan kerja Bram. Tidak berapa lama Bram dan Diman sampai di lantai ruang kerja Bram. Keduanya keluar dari lift dan langsung berjalan menuju ke ruangan Bram. Bram membuka pintunya dan masuk bersama Diman.     

"Ayo masuk, duduk lah Diman, aku lagi malas untuk mengerjakan pekerjaan," jawab Bram kepada Diman.     

Diman duduk di sofa, dan tidak berapa lama sekretaris Bram datang dan menyuguhkan teh dan beberapa cemilan. Bram duduk di sebelah Diman dan memandang ke arah sekretarisnya.     

"Apa ada rapat hari ini, Gi?" tanya Bram kepada Gio sekretarisnya.     

"Ada pak, jam dua habis makan siang, dan surat yang Anda harus periksa di meja dan sudah saya cek juga, pak Bram cek ulang dan tanda tangan saja," jawab Gio kepada Bram.     

"Ya sudah, terimakasih, kamu bisa lanjutan pekerjaan kamu ya," ucap Bram kepada anak buahnya.     

"Baik pak, permisi," jawab Gio lagi.     

Bram memandang ke arah Diman, setelah itu dia menghela nafas panjang dan dia tidak habis pikir kenapa dia dan Diman mengalaminya.     

"Kamu mencelakai sahabat kamu ya, kenapa? Apa dia mengetahui kalau kamu yang membunuh istrinya? Kenapa kamu bunuh dia? Kenapa hmm?" tanya Bram dengan pandangan tajam.     

"Bram, aku tidak mau istri Deki mengadu atau melaporkan perbuatan kita ke kantor polisi, makanya aku membunuh dia Bram," ucap Diman dengan wajah datar dan dia benar-benar tidak peduli sama sekali dengan nasib keluarga Deki.     

"Tapi, kamu mikirin anaknya tidak gila kamu, dan sekarang kamu mau menghabisi satu-satunya orang tua mereka, gila kamu Diman," jawab Bram dengan suara lancang.     

"Aku gila? Kamu juga gila, kamu juga ingin membunuh Deka bukan? Aku tidak percaya kalau kamu tidak melakukan itu ke Deka, aku sama kamu itu sama dan sekarang lihat yang kita dapatkan luka ini. Dari yang dikatakan dokter itu, ini karma kita, dan aku berpikir seperti itu juga." Diman mulai mengeraskan suaranya kepada Bram.     

"Tidak ada karma, yang kita dapat ini bukan karma, tapi ini memang sudah luka, bisa saja ini alergi, kamu paham tidak?" tanya Bram yang tidak suka bila luka ini dikatakan karma.     

"Kamu tidak percaya Bram? Silahkan kalau kamu tidak percaya, dan aku yakin karma kita, kita sudah membunuh Narsih dan kita ambil tanah kuburannya dan lihat ini, aku rasa ini kutukan dia, dia yang sudah dendam dengan kita sekarang dia mengutuk kita, sungguh tragis nasib kita," geram Diman yang benar-benar sial dengan apa yang terjadi.     

"Aku sudah katakan, ini bukan karma, ini hanya luka biasa saja," ucap Bram yang kesal kepada Diman yang masih tetap mengatakan ini karma di karena sudah melakukan hal yang tidak baik.     

Keduanya diam, tidak ada yang mau bicara, Bram yang tangannya sedikit sakit menggaruk tapi tiba-tiba kulitnya terbuka dan jatuh. Diman dan Bram yang melihatnya saling pandang satu sama lain.     

"Ku-kulitmu lepas Bram, apa ini tidak salah Bram?" tanya Diman kepada Bram.     

Bram yang melihat kulitnya terlepas dengan sendirinya mulai mengigil, darah mengucur dan terlihat Bram merinding dan keringat dingin bercucuran.     

"Apa yang harus aku lakukan, aku tidak mau kulitku lepas semuanya Diman," ucap Bram kepada Diman yang takut karena kulit tangannya lepas.     

"Tenang, kita obati dulu, apa ada perban? Pakai obat dari sahabat dokter kamu saja, kita harus cepat obati, kamu tunggu di sini," jawab Diman kepada Bram.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.