Dendam Winarsih

Kita Di Awasi



Kita Di Awasi

0Paijo yang di lempar oleh Narsih menjerit histeris dan melempar ke arah Toni dan Paimin. Toni yang menjerit sedangkan Paimin tidak.     

"Akhhhh," teriak keduanya yang berhamburan duduk menjauh dari kepala itu.     

"Mbak, kalau aku kena serangan jantung bagaimana?" tanya Paijo yang kesal karena Narsih melempar kepala ke mereka.     

"Dia ikuti kalian, dan kalian tahu tidak, dia suruhan dukun, yang ingin mencariku dan masih ingin mengambil rambutku," ucap Narsih dengan wajah datar dan tidak ada senyum sama sekali.     

"Dukun, aku rasa benar dugaan aku, dukun itu memanfaatkan Dino untuk bisa mendapatkan Narsih, jadi aku rasa kita tidak bisa berpisah dan berjauhan, lihat saja ini ada yang mengikuti kita," jawab Ian yang tidak percaya kalau mereka di ikuti secara diam-diam.     

Mang Dadang terkejut karena Ian keluar dari kamar dan langsung bergabung dan berbicara tanpa jedah.     

"Kamu datang tiba-tiba dan bicara langsung tanpa jeda. Narsih, kamu tidak tahu rumah dukun itu?" tanya mang Jupri kepada Narsih.     

"Aku masih belum mencarinya, aku tunggu mereka saja, aku juga tidak mau gegabah dan aku juga tidak mau mereka mengejar kalian, aku tahu sekarang kita di awasi oleh dukun itu, jika aku tidak di sini orang ini kan melempar ini ke rumah ini," ucap Narsih yang melempar ke arah mang Jupri.     

Mang Jupri yang mendapat lemparan dari Narsih terkejut karena benda yang berbentuk nanas di lempar ke arah dia.     

"Akkhhh, bom," pekik Mang Jupri dengan kencang hingga membuat yang lain bangun dan menghindari mang Jupri.     

"Mang, apa-apaan ini mang, gila, itu bom, Narsih kamu dapat dari mana itu?" tanya Paijo yang panik dan menghindar karena takut bom itu meledak.     

"Itu aku dapat dari dia, ada juga di tasnya, tasnya di sana dan aku tidak tahu kalau itu bom," ucap Narsih yang memandang tajam ke arah Paijo.     

"Wah, dukun sudah main dukun, yang ada kita benaran meledak ini, kita harus apa sekarang ini, kita nggak aman, dukun itu ingin aku ledakkan," geram mang Jupri yang masih memegang bom nenas itu.     

"Aku tidak mungkin salah kan, aku juga terkejut, dukun main kayak gituan, apa dia sudah tidak waras ya, ini bisa tewas kita semua bukan hanya kita tapi satu komplek," ucap Ian wajah penuh amarah.     

Narsih berjalan menuju mang Jupri dan mengambil bom tersebut dan menyimpannya di rambutnya. Semua yang melihatnya mengangga, karena Narsih menyimpannya di rambutnya.     

Ian yang di sebelah Narsih melihat di mana letak bom tadi, Narsih yang memandang Ian yang memperhatikan dia, Ian tersenyum karena Narsih melihatnya.     

"Di mana letak bom tadi, aku cuma penasaran, apa kepala mbak Narsih manis tidak meledak kah?" tanya Ian yang terus melihatnya.     

"Kita dalam bahaya kah?" tanya Toni kepada Paijo dengan wajah pucat.     

"Entahlah, mbak, ini langsung mbah habisi kah, terus mbak mau bawa dia ke mana?" tanya Paijo ke Narsih.     

"Aku akan kasih ke dukun yang berada di rumah Bram," jawab Narsih singkat.     

Narsih langsung pergi dari hadapan semuanya dengan membawa kepala yang dia tarik dan bukan hanya kepala saja yang di bawa, tapi tubuh pria yang mengikuti dan memat-matai mereka juga di bawa pergi.     

Brakk!     

Guru dukun itu menghempaskan tangannya di meja dan tentu saja wajahnya marah. Raut wajah emosi terlihat guru dukun mbah Agung yang gagal mendapatkan rambut Narsih dan anak buahnya juga harus dibunuh oleh Narsih.     

"Aku tidak bisa tinggal diam, aku tidak akan membiarkan dia mendekati aku dan aku akan pasang pagar gaib agar dia tidak berani mendekati aku, aku tidak mau dia menghabisi aku seperti anak buahku. Agung kemana nih, kenapa tidak pulang juga, aku tidak mungkin melawan dia sendirian," gumam guru dukun mbah Agung yang menyiapkan racikan untuk menghalangi Narsih.     

****     

Di rumah Bram, mbah Agung duduk di sebelah Sanusi, dia masih bingung luka itu makin kelihatan dan tidak bisa di obati, sudah ramuan yang mujarab dia berikan, hilang sebentar habis itu muncul lagi.     

"Mbah, masih belum hilang ya? Apa nggak sebaiknya kita temui sosok itu saja dan minta dia mencabutnya," ucap Sanusi yang memberikan saran ke mbah Agung untuk meminta ke Narsih mencabut kutukannya.     

"Tidak mungkin dan tidak akan mau si Narsih itu, yang ada kita yang habis di tangan dia," ucap mbah Agung m     

"Kalau nggak begitu terus bos Bram dan sahabatnya, lihat saja, dia nggak sadar kan, dan tidak menunjukkan reaksi, makan saja belum, di kamar terus, dan tidur terus, apa nggak seharusnya kita lakukan dulu, aku yakin sosok itu hanya mau pertanggungjawaban bos Bram dan sahabatnya saja, jika tidak mengakui maka dia bos akan meninggal kan?" tanya Sanusi ke mbah Agung.     

Brakkkk!     

Mbah Agung dan Sanusi terkejut karena Narsih datang dan melempar kepala di depan wajah mereka.     

"Akhhhh," teriak Sanusi yang terkejut karena Narsih melempar kepala manusia di depannya.     

"Ke-kepala si-siapa ini?" tanya Sanusi dengan wajah pucat.     

Mbah Agung melihat kepala itu dan itu terlihat anak buah gurunya, dan kenapa bersama Narsih, apa gurunya yang memerintahkan anak buahnya untuk menyerang Narsih pikirnya     

"Mbah, mbah kenal sama orang yang kepala ini?" tanya Sanusi yang berbisik ke arah telinga si mbah Agung.     

"Dia anak buah guruku. Kenapa kamu bawa kepadaku, dia bukan muridku, jadi kamu salah alamat, jadi pergi dan bawa balik," kata mbah Agung ke Narsih dengan suara datar dan raut wajahnya yang tenang.     

"Hmm, jangan mencoba mengakali aku, aku tidak akan pernah percaya padamu, karena ini pasti ulah gurumu, sudah lah, jangan sampai aku ke sana dan membuat dia meninggal dengan cara yang lebih dari anak buahnya, dan untuk Bram dan Diman, dia tidak akan bisa kalian sembuhkan, aku yakinkan ke kalian untuk menjauh dari dia, jika tidak ingin aku menghabisi kalian," ucap Narsih yang langsung pergi dari hadapan keduanya.     

Sanusi menelan salivanya, dia benar-benar takut karena Narsih tidak akan main-main. Sanusi menoleh ke arah mbah Agung dan menatap sendu ke arah mbah Agung.     

"Apa yang terjadi ya?" tanya Sanusi kepada mbah Agung dengan suara lirih.     

"Saya tidak tahu, guru saya minta anak buahnya mengambil rambut Narsih, jika dia dapatkan rambut Narsih maka Narsih akan jadi budaknya," ucap mbah Agung.     

"Jadi, bos Bram bisa di obati kah mbah?" tanya Sanusi ke mbah Agung dengan tatapan yang penuh harap.     

"Kita lihat saja, saya hanya bisa obati bos kamu semampu saya, sisanya saya tidak tahu," jawab mbah Agung yang tidak tahu harus apa saat ini untuk menghadapi sosok yang mengerikan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.