Dendam Winarsih

Maaf Aku Tidak Bisa



Maaf Aku Tidak Bisa

0Sanusi terdiam, karena dia tidak mungkin mengatakan ke pak Oyong mengenai apa yang terjadi dan kenapa semuanya bisa seperti ini.     

"Aku bertanya padamu, kenapa?" tanya pak Oyong dengan tatapan penasaran.     

"Aku tidak tahu apapun, karena aku hanya ikut saja dan tidak mau ikut campur pak, itu urusan bos Bram, dan mbah Agung juga tidak akan mengatakan apapun jika aku bertanya," ucap Sanusi ke pak Oyong.     

"Baiklah, kalau begitu kita tidak perlu lagi membahas itu, mungkin kamu tahu, mungkin juga kamu tidak tahu, atau sebaliknya, karena aku paham kamu bekerja pasti menjaga rahasia bos kamu, tidak apa, jika pak Bram bangun katakan padaku, nanti pelayan akan bawa makanan buat pak Bram nantinya," ucap pak Oyong kepada Sanusi yang di balas anggukan oleh Sanusi.     

Pak Oyong pun pergi dari hadapan Sanusi tapi sebelum jauh, Sanusi memanggil pak Oyong. Pak Oyong yang mendengar namanya di sebut langsung berbalik dan memandang ke arah Sanusi.     

"Ya, ada apa ya?" tanya pak Oyong kepada Sanusi yang memandang wajah Sanusi yang di tekuk.     

"Maaf aku tidak bisa katakan apapun, aku harap pak Oyong paham ya, aku hanya ingin melakukan hal yang sepatutnya, rahasia bos Bram hanya bos yang tahu, kalau pun aku tahu, aku akan menyimpan untuk aku sendiri, sekali lagi maafkan aku," ucap Sanusi ke pak Oyong dengan tatapan sendu.     

"Tidak apa, jika memang itu untuk kebaikan pak Bram saya tidak masalah, karena menurut saya, setiap sesuatu tidak perlu jadi konsumsi publik," ucap pak Oyong kepada Sanusi yang masih merasa bersalah, tapi Sanusi lega karena dia tidak terlalu merasa bersalah karena tidak menceritakan prihal bos Bram yang sakit karena apa.     

"Sudah, tidur sana, lagian sudah malam juga besok kamu ngantuk lagi," ucap pak Oyong yang benar-benar tidak bisa dia tolak.     

"Aku akan tidur pak, bapak juga tidur cepat ya, jangan tidak tidur," ucap Sanusi ke pak Oyong.     

Pak Oyong akhirnya pergi ke kamarnya, sedangkan Sanusi langsung merebahkan dirinya ke sofa sambil menunggu mbah Agung keluar dari kamar bos Bram.     

****     

Keesokkan harinya, untuk pertama kalinya, Bram bangun dan melihat kamarnya, dia merasakan tubuhnya sakit karena luka yang tidak kunjung sembuh, Bram sudah lelah dan tidak mau lagi melakukan apapun lagi, dia pasrah dengan luka ini.     

"Sudah bangun kamu, saya sudah obatin kamu dan luka kamu juga sudah sembuh, cuma ada yang muncul lagi, kamu lepaskan saja jimat itu, jika ingin sembuh total, jika tidak akan ada luka baru, sampai kapan kamu menahan ego kamu itu, kesalahan kamu itu tidak akan bisa di maafkan, jadi sudah jangan menambah lagi dengan yang baru, berdamailah Bram, tidak semuanya yang kamu inginkan terus kamu dapatkan," jawab mbah Agung ke Bram yang masih di ranjang.     

Bram tidak bangun dari ranjang karena di tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Telpon Diman berdering dan tentu saja dia tidak bisa mengangkat telpon karena sang empunya masih menutup matanya.     

"Pak tolong di jawab ya, saya mau tahu siapa yang telpon, siapa tahu itu istrinya," pinta Bram untuk mbah Agung menjawabnya.     

"Baiklah, akan saya jawab," jawab mbah Agung ke Bram yang di anggukkan oleh Bram.     

Mbah Agung mengangkat telpon Diman dan benar saja kalau yang telpon adalah istrinya, Mbah Agung menjawab panggilan dari istri Diman.     

"Iya, halo, dengan siapa ini?" tanya mbah Agung yang berpura-pura tidak tahu padahal dia tahu.     

"Halo, ini siapa? Mas Diman mana ya?" tanya istri Diman dengan suara yang penuh kekhawatiran.     

"Diman di rumah Bram, dia sakit dan tidak sadarkan diri, mbak bisa ke sini, " jawab mbah Agung yang menjawab apa yang di tanyakan oleh istri Diman.     

"Baiklah, saya akan ke sana sekarang," jawab istrinya lagi.     

Panggilan berakhir, mbah Agung langsung memberikan ke Bram telpon Diman, Bram memberikan kode untuk meletakkan telpon di nakas dan mbah Agung meletakkan di nakas sesuai dengan keinginan mbah Agung.     

"Dia akan ke sini," jawab mbah Agung singkat.     

"Ya sudah, biar saja, dia di bawa oleh istrinya," ucap Bram ke mbah Agung.     

Mbah Agung menganggukkan kepala dan tersenyum kecil ke arah Bram. Mbah Agung meninggalkan kamar Bram dia akan meminta Sanusi membawa makanan untuk Bram makan, dia tidak mau Bram kelaparan.     

Cekelkkk!     

Pintu dibuka oleh mbah Agung dan terlihat wajah Sanusi yang tersenyum padanya, dia membawakan wanita di depannya.     

"Mbak ini mau lihat bos Diman, dia ingin membawa bos diman, bisa bawakan dia, saya sudah minta yang lain untuk bawa bos Diman pergi, apa sudah bisa di bawa?" tanya Sanusi kepada mbah Agung yang masih berdiri di depan pintu tanpa ada pergerakkan.     

"Dia siapa?" tanya mbah Agung ke Sanusi.     

"Dia istrinya bos Bram, bisa antarkan ke dalam, apa sudah bangun bos Bram dan bos Dimannya?" tanya Sanusi ke mbah Agung.     

"Bram sudah sadar, tapi Diman belum, kalau mau ambil silahkan saja, tuh dia di sana," tunjuk mbah Agung ke arah dalam.     

Istri Diman lari melihat suaminya yang penuh luka dan banyak ulatnya, kenapa bisa seperti ini. Istri Diman yang melihat mbah Agung meminta pertanggungjawaban dari mbah Agung, tapi mbah Agung diam saja, Bram yang tahu istrinya Diman datang langsung mengatakan ke istrinya untuk pergi dari rumahnya.     

"Bawa dia, obati dia di rumah sakit, dia menganggu saja," ketus Bram ke istrinya Diman.     

"Ini semua ulah kamu, kamu yang buat dia seperti ini, awas kamu Bram, jika ada sesuatu dengan suamiku awas kamu ya, aku akan tuntut kamu," ancam istrinya Diman yang emosi karena suaminya terlihat sangat menyedihkan.     

Diman di bawa ke luar dari kamar Bram, sebelum ke luar dia di tutupi oleh kain agar tidak ada yang melihat kondisi Diman yang mengerikan dan menyedihkan.     

Bram hanya diam saja, dia tidak mau tahu urusan Diman, dia saja tidak bisa melakukan apapun, karena dia tahu kalau dia saja tidak bisa apa-apa, ini semua karena Narsih, Bram tetap menyalahkan Narsih atas apa yang menimpa dia dan sahabatnya selama ini.     

"Bram, kamu makan dulu, jika tidak kamu lemas, saya akan buat ramuan lagi, saya harap ini mujarab, asal kamu lepaskan jimat itu, jika tidak maka dia akan mengikuti kamu terus Bram, saya tidak bisa mengobati kamu jika kamu tidak mau melepaskan jimat itu," ucap mbah Agung ke Bram.     

Mbah Agung sudah melepaskan jimat Diman, sebelum dia pergi dan benar saja jimat itu langsung luruh seperti debu dan Diman sudah tidak ada jimat apapun selain jimat yang di berikan, sisanya dia tidak punya lagi, tinggal Bram yang belum mau juga lepaskan jimat itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.