Dendam Winarsih

Dia Tidak Bisa Lari



Dia Tidak Bisa Lari

0"Benar kata Paijo, dia tidak akan bisa lari lagi, ingat satu hal, dia itu sudah tidak mencari dukun atau apapun, dia tidak bisa lari lagi Dino, percayalah, kita akan ambil jimat dia, jadi jangan kamu khawatir, jaga Nona sebaik-baiknya ya," ucap Ian yang lagi-lagi memberikan semangat untuk Dino.     

Dino pun lega karena sahabatnya mendukung dan masih bersama dia. Dino pun melanjutkan lagi pekerjaan dia, dia tidak memikirkan masalah kotak itu dan dia tidak akan mengatakan ke Nona, dia tidak mau membuat Nona terpengaruh dengan apa yang terjadi.     

"Dino, kamu mau di sini saja hmm, ayo kita pulang, sudah jam berapa ini, kamu tidak mau pulang kah?" tanya Ian yang sudah berbenah untuk pulang.     

"Iya ini udah siap, tinggal kirim saja ini datanya, dan selesai, ayo kita pulang, jadi kamu pergi beli makanan?" tanya Dino ke Ian.     

"Jadi lah, kan aku sudah janji, Ian mana mungkin melakukan kesalahan sama sekali." ucap Ian pada Dino yang di sentik oleh Dino karena kesombongan Ian.     

"Awwww, sakit tahu, main sentik aja, di kira keningku apaan," ucap Ian yang kesal dengan Dino.     

Semuanya tertawa karena Ian meringis kesakitan. Semuanya ke luar dan meninggalkan ruanganya, mereka berjalan ke lift dan masuk ke dalam lift bersama yang lainnya.     

"Oh ya, aku melihat ada sesuatu yang aneh dengan ruangan kita itu," ucap Ian yang memikirkan ruangannya tadi.     

Semuanya yang mendengar apa yang di katakan Ian tersenyum, mereka tidak mengerti dengan ameh itu, Ian yang di pandangi satu lift hanya berdehem, dia tahu jika mereka menunggu jawaban dari dirinya dan saat ini, Ian tersenyum merahasiakan apa yang aneh.     

"Jangan buat orang penasaran Ian," ucap pegawai yang di dalam lift.     

"Anehnya karena nggak ada si Nona lah, kan biasanya ada dia," jawab Ian yang langsung ke luar saat pintu lift terbuka.     

Semua yang di dalam lift mengangga karena Ian mengatakan Nona. Sebagian melihat ke arah Dino dan Paijo.     

"Jangan pedulikan dia, dari dulu dia sudah seperti itu, ingat satu hal, jangan pernah buat masalah dengan dia," jawab Paijo kepada rekan kerjanya yang berada di lift.     

Mereka ke luar dengan wajah di tekuk dan tentu saja ini semua karena ulah Ian yang asal bicara, mereka pikir sesuatu yang aneh seperti apa ternyata tidak.     

Sampai di mobil, Paijo menjentil kembali kening Ian dan tentu saja dia tidak terima jika Ian mempermainkan dia dan pegawai lainnya.     

"Kelewatan kamu ini, aku pikir memang benar lah ada yang aneh, nyatanya enggak, kebiasaan kamu Ian," ketus Paijo yang langsung naik mobil di susul yang lainnya.     

Mereka segera pergi meninggalkan area parkir dan tujuan mereka ke warung langggan mereka semuanya. Ian membeli porsi besar dan setelah itu dia kembali masuk ke dalam mobil dan berjalan menuju mobil. Paijo langsung tancap gas menuju rumah. Tidak berapa lama mereka sampai di rumah dan bergerak turun dan masuk ke dalam rumah.     

"Tumben beli banyak makanan ulang tahun ya?" tanya mang Dadang yang melihat Toni membawa makanan dan Ian membawa minuman dan ada buah juga mereka beli tentu mereka singgah di tempat jual buah sebelum pulang.     

"Untuk ibu hamil, untuk kita juga ada, ada rezki jadi berbagi. Kami mandi dulu ya," ucap Ian yang meletakkan makanan dan di siapkan oleh Mirna.     

"Mirna, kamu tidak muntah lagi kah?" tanya Ian kepada Mirna.     

"Tidak, cuma pusing, aku tidur bersama bibi Sumi dan Nona, kami tidur bersama, nanti malam kami tidur bersama lagi," ucap Mirna ke Ian.     

"Jangan, nggak enak ganggu bibi, siang aja ya, lagian Nona harus bersama dengan suaminya, tidak boleh jauh kamu mengerti kan sayang?" tanya Ian kepada Mirna yang di anggukkan oleh Mirna.     

Selesai mandi, Nona menyiapkan pakaian Dino, dia lemas tapi tetap melayani Dino. Dino tersenyum karena Nona masih sanggup menyiapkan keperluan dia.     

"Sudah, jangan banyak gerak kamu, tidur saja ya, ingat jaga kondisi kamu itu ya," ucap Dino ke Nona yang membuat Nona menganggukkan kepala.     

Dino yang sudah berpakaian membawa Nona ke rumah sebelah, mereka berkumpul dan makan bersama setelah itu, para wanita duduk di tempat berbeda sambil makan buah dan yang lainnya di tempat yang beda juga. Narsih datang dan bergabung dengan Dino.     

"Kami tadi di teror, kami tidak tahu kenapa bisa dia mengirimkan barang lagi ke kita," bisik Ian agar tidak terdengar oleh para wanita.     

"Aku bukannya takut, tapi ngeri melihat isi kotaknya," jawab Paijo lagi.     

Toni dan Paimin menganggukkan kepala, karena mereka membenarkan apa yang di katakan oleh keduanya.     

"Kalian tidak kasih tahu satpam?" tanya mang Jupri yang terkejut dengan apa yang dia dengar.     

"Kami itu, mana tahu, yang ambil ini si Toni, kami dari penjara jenguk sahabat Bram sekalian bawa makanan dan minuman, nah pulang dari sana kami dapat itu," ucap Paijo lagi yang tidak tahu kapan itu barang ada.     

"Saya juga tidak tahu, begitu sampai kantor, OB datang dan katanya ada barang, untuk mas Dino ya, saya ambil lah, mana mungkin kan nggak saya ambil," ucap Toni lagi yang membela diri.     

"Dino, kamu mesti hati-hati, kamu tidak boleh lengah menjaga Nona, ingat satu hal, dia pasti di incar oleh Bram, oh ya, Narsih, apa kamu tidak bisa menghabisi dia, dia sudah meresahkan sekali, aku tidak mau Dino dan Nona juga yang lainnya jadi korban," ucap mang Dadang.     

"Benar itu, mana pak ustad tidak di sini, dia pulang dari tanah suci kapan ya?" tanya mang Jupri.     

"Dua hari lagi, tapi kalian jangan khawatir, dia pasti do'akan kita, kalau perlu sebelum si Bram muncul, pak ustadz sudah di sini," ucap Ian kepada yang lainnya.     

"Tapi, kita harus percaya, kalau dia akan mendapatkan balasannya, mbak kamu sudah siap hadapi dia kan?" tanya mang Dadang kepada Suketi.     

"Sudah, aku siap menghadapi dia, aku tidak akan takut menghadapi dia, aku akan hadapi dia," ucap Narsih kepada mang Dadang dengan wajah yang serius.     

"Kalau begitu kita tinggal menunggu dia muncul, karena dia tidak akan lama berdiam diri, dia akan muncul percayalah," ucap mang Dadang kepada yang lainnya.     

Mereka pun menganggukkan kepala dan menunggu Bram muncul di depan mereka dan apapun yang terjadi mereka akan menghadapi dengan baik.     

"Mbak, apa jimat dia melekat di jantungnya kah?" tanya Ian yang tidak percaya dengan apa dia dengar karena dia belum melihatnya.     

"Iya, jimat itu lah yang jadi kelemahan dia, aku tidak peduli jika nanti aku terbakar atau apapun, kali ini aku akan habis-habisan menghadapi dia dan menghajar dia," jawab Narsih dengan tatapan yang penuh amarah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.