Dendam Winarsih

Bram Keterlaluan



Bram Keterlaluan

Paijo yang mendengar Dino menanyakan ada apa langsung bangun dan terkejut karena wajah Narsih berbeda, wujud Narsih memang menyeramkan kali ini makin menyeramkan dan tidak bisa dia katakan dengan kata-kata.     

"Aku tidak bisa berkata-kata lagi, apa yang terjadi mbak Narsih?" tanya Paijo kepada Narsih.     

"Aku melawan dukun Bram, dia benar-benar ingin ke rumahku, aku sudah menghalangi dia dan aku malah di halangi dukun Agung dan membuat wajahku seperti ini. Dan aku di siram sama serbuk yang aku tidak tahu apa itu, aku kepanasan dan aku langsung pergi, tolong aku, selamatkan makamku, aku ingin makamku tidak di ganggu lagi," ucap Narsih dengan suara lirih.     

Dino dan Paijo juga yang lain tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Narsih, Bram dan sahabat itu benar-benar nekat.     

"Bram keterlaluan sekali, mau apa lagi dia, dia tidak perlu melakukan itu, dia mengaku saja, kenapa susah sekali, dia sudah membunuh Narsih, jadi akui saja, tidak harus seperti ini, yang ada Narsih yang menderita, dia tidak tenang mencari keadilan," ucap Paijo yang kesal karena Bram dan sahabatnya tidak mempunyai hati.     

"Mereka memikirkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan diri mereka, jadi aku tidak heran jika mereka melakukan itu, pak ustad apa yang harus kita lakukan, ilmu gaib tidak akan bisa membuat kita menang," ucap Dino yang memandang ke arah pak ustad.     

"Saya hanya bisa katakan, kalau kita berdoa saja, jika kalian tidak keberatan kita akan berdoa bersama dan kita tujukan ke Narsih dan ustad di sana juga pasti melakukan hal itu, saya yakin itu," ucap pak ustad Mahdi kepada Dino dan yang lainnya.     

Dino dan yang lainnya menganggukkan kepala, mereka keluar dan mengambil wudhu dan setelah itu berkumpul di ruang solat, mereka mulai membacakan doa bersama, lantunan doa yang di panjatkan oleh mereka membuat Narsih mulai merasakan sesuatu yang ketenangan.     

Bram, Diman dan yang lainnya akhirnya sampai di tempat yang mereka tuju, Bram masih melihat ke arah rumah Narsih yang cukup miskin, dia dulu sangat mencintai wanita ini, tapi karena wanita yang sombong ini tidak mempunyai hati dan mencampakkan dia makanya dia kesal, dia sudah katakan jika suaminya itu tidak baik tetap di nikahi juga dan membuat dia kesal sangat kesal.     

"Bos, cepatlah, nanti ada warga, kita tidak bisa terlalu lama dan kita juga tidak punya waktu, sebentar lagi akan masuk waktu subuh," ucap Sanusi kepada Bram.     

Bram sedikit takut memakai kain putih ini, dia takut akan membelit dia selamanya. Diman masih menunggu Bram, dia ikuti takut karena Bram tidak juga memakai kain putih itu. Pak Oyong baru tahu majikannya benar-benar tidak punya hati, makam di ganggu oleh mereka hanya untuk kepentingan pribadi.     

"Dunia sudah gila, siapa yang salah siapa yang tersiksa," gumam pak Oyong dalam hati.     

"Bram, ayo cepat, kita tidak bisa berlama Bram, kita masih harus melakukan ini, dan segera pulang," ucap Diman dengan nada berharap Bram cepat melakukan ini.     

Bram pun akhirnya memakai kain putih itu, dan setelah itu keduanya keluar dengan membawa kendi dan berjalan ke arah rumah Narsih. Dia heran kenapa bisa Narsih di pindahkan ke sini, mungkin karena masalah waktu itu pikirnya.     

Bram dan Diman berjalan menuju makam Narsih, keduanya melangkahkan kaki dan saat di dekat makam Narsih Bram mendengar langkah kaki lain dan dia terkejut melihat ada sosok putih dan itu adalah ustad Mahdi.     

"Pulanglah, jangan ganggu dia, aku yakin kamu orang baik dan aku yakin kamu tidak akan pernah melakukan itu, mengaku saja jika kamu salah Bram, Diman, jangan buat kesalahan, ingat kamu harus mengakui kesalahan kamu Bram, Diman, jangan menambah dosa lagi," ucap pak ustad Mahdi yang memandang keduanya.     

"Bram, bukannya kita tidak terlihat ya?" tanya Diman kepada Bram.     

Bram hanya diam, dia tidak menunjukkan wajah takut atau penyesalan. Dia tahu siapa yang mengirim sosok putih ini.     

"Pergilah, jangan ganggu aku, dia sudah membuat aku tidak tenang, aku ingin tenang, tidak lebih dan menikah dengan orang yang aku cintai, tapi dia selalu ikuti aku, aku tidak mau itu," ucap Bram dengan nada dingin.     

Pak ustad yang mendengar apa yang dikatakan oleh Bram hanya senyum kecil. Dia tidak senang di ikuti, tapi itu bukan salah yang mengikuti.     

"Kamu mengatakan tidak senang di ikuti, tapi kamu melakukan hal yang membuat dia mengikuti kamu, sudah berapa tahun kamu melakukan itu Bram, kamu membunuh dia tapi kamu tidak mau mengakuinya, jelas dia meminta pertanggungjawaban kalian, jadi tanggung jawab saja Bram," ucap pak ustad kepada Bram dan Diman.     

Diman hanya diam, perbuatan masa lalu yang membuat mereka tidak bisa damai, Bram yang mendengar apa yang pak ustad katakan tidak peduli, dia menabur isi dalam kendi itu.     

Pak ustad yang melihatnya hanya geleng kepala, pak memejamkan matanya dan membuat Bram makin geram, dia terus melempar semuanya dan membuat makam Narsih mengeluarkan asap, ilmu keduanya saling beradu, ilmu putih dan ilmu hitam yang mbah Agung ucapkan saling serang.     

Bram yang melihat makam Narsih mengeluarkan asap segera menghindar dan pergi, tugas dia sudah selesai, Diman mengikuti Bram dan meninggalkan makam Narsih.     

"Bram, apa ini aman?" tanya Diman kepada Bram.     

"Biar itu urusan mbah Agung itu, yang penting kita sudah lakukan itu, sudah ayo cepat, kita pergi," ucap Bram dan mereka melihat warga datang berbondong-bondong, Bram segera berlari dan masuk ke dalam mobil, Diman ikut lari, dia tidak mau ketahuan oleh warga kampung. Sanusi langsung tancap gas, dia tidak mau warga menyadari kedatangan mereka.     

"Kita terlambat pak ustad?" tanya pak kades yang datang bersama pak ustad.     

"Saya harap tidak, jika kita terlambat maka kita akan membuat orang tua Narsih sedih." pak ustad terlambat karena dia harus berjalan ke pos ronda, motornya mogok, jadi dia tidak bisa pergi dengan motor.     

Bram dan Diman lega karena sudah menjalankan tugasnya, dia melihat tangannya berdebu dan ada darahnya, dia sangat jijik karena tangannya ada darah. Entah apa yang isi dari kendi itu, lembek dan berpasir, dia tidak sempat melihat karena ustad itu.     

"Cuci dulu bos tangannya," ucap Sanusi kepada Bram.     

Diman mengambil air dan memberikannya ke Bram. Bram membuka jendela dan mencuci tangannya. Bram melihat tangannya sudah bersih dan noda merah sudah hilang.     

"Setelah ini kita pulang saja, saya pusing dan mau istirahat, Man, yang tadi sudah kamu bawa kan?" tanya Bram kepada Diman.     

"Sudah, kamu juga sudah bawa juga kan?" tanya Diman.     

Bram menganggukkan kepala dan merebahkan di sandaran mobil, dia benar-benar pusing karena kapan dia tenang dan tidak di ganggu Narsih lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.