Dendam Winarsih

Kita Berhasil Bram



Kita Berhasil Bram

0Diman yang sudah membuka semua kain yang dia gunakan tadi memandang Bram, Bram nampak diam seribu bahasa dan dia juga tidak seperti orang yang bersemangat, entah apa yang di pikirkan Bram.     

"Bram, apa yang kamu pikirkan, apa kamu menyesal karena kita melakukan hal ini?" tanya Diman kepada Bram yang sedari tadi melamun.     

Sanusi dan pak Oyong yang mendengar apa yang dikatakan Diman sahabat majikan mereka hanya bisa diam, keduanya benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang terjadi dan tentu itu membuat mereka berpikir berulang kali jika ingin membuat masalah dengan bos mereka ini.     

"Tidak ada yang aku pikirkan, diamlah dan jangan banyak bicara, kepalaku pusing sekali ini," gumam Bram yang kepalanya pusing padahal tidak sama sekali, dia hanya memikirkan langkah selanjutnya.     

"Tapi, kita berhasil Bram, kita bisa melakukan ini semua," ucap Diman.     

"Belum, ini baru setengah jalan, lihat saja nanti, apa yang Narsih lakukan, kita harus bersiap kejutan dari Narsih apa," ucap Bram lagi kepada Diman.     

"Jadi, ini belum selesai ya, baiklah kalau begitu, aku akan menunggu saja nanti," ucap Diman yang hanya ikut apa kata temannya ini.     

Bram tidak memungkiri, habis ini memang akan ada hal yang lainnya, yang tentu membuat dirinya dan juga Diman menjadi incaran Narsih, itu pasti.     

"Aku harus bisa membunuh Deka, aku yakin dia pasti sudah sadar, anak itu pintar sekali, mengaku meninggal kepada keluarganya, tapi masih hidup, lihat saja aku akan buat kalian menyesal, tapi apakah Deki selamat juga? Kalau selamat, tapi di mana? Mana mungkin anak buahku itu berbohong, dia sudah melihat sendiri mobilnya meledak dan tidak mungkin selamat." Bram akan membunuh Deka dan mencurigai Deki tapi dia tidak sepenuhnya mencurigai Deki karena Deki sudah di nyatakan meninggal oleh anak buahnya waktu itu.     

Mobil bergerak menuju kota, perjalanan Bram kali ini benar-benar membuat dia lelah, bukan hanya lelah hati pikiran juga, dia takut Narsih akan menghabisi dia dengan caranya dan tentu saja itu membuat dia makin ketakutan.     

Bram merasakan tubuhnya kembali panas dan perih, luka yang dia dapatkan kini makin sakit, dan perih, Bram mengambil obat yang dari mbah Agung dan melihat obat itu, dia harus mengobati luka dia, ini sangat menyiksa sekali.     

Perjalanan yang cukup panjang akhirnya rombongan Bram sampai di tempatnya dan tentu Bram mengantar Diman, Bram akan istirahat, dia tidak akan ke kantor, tubuhnya merasa tidak enak dan tidak nyaman sama sekali.     

"Bram, kalau ada kabar apapun, jangan lupa kasih tahu aku," ucap Diman yang meminta Bram memberitahu kan dia apapun kabar itu.     

"Ehmm, kamu masuk saja sana, lihat lehermu sudah luka, obat tadi kamu bawa kan?" tanya Bram kepada Diman.     

"Benarkah? Pantas saja perih, ya sudah, aku pergi sekarang," ucap Diman kepada Bram.     

Diman bergegas masuk dan mobil Bram pun pergi dari rumah Diman. Bram tidak tahu luka ini berasal dari mana, dia tidak mau kalau apa yang Diman katakan kalau ini karena karma dia di masa lalu. Bram benar-benar tidak ingin menyangkut pautkan apapun.     

Mobil Bram memasuki area rumahnya, setelah parkir, Bram turun, dia tidak menunggu supirnya membuka pintu, sebelum masuk rumah, Bram memanggil anak buahnya Sanusi.     

"Kamu jangan lupa buang semua yang ada di mobil dan pak Oyong, sini, saya mau cuci mobil, suruh supir yang lain saja yang cuci pak Oyong istirahat saja," pinta Bram kepada keduanya.     

"Siap," jawab keduanya dengan singkat.     

Bram langsung masuk ke dalam rumah dan naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya, Bram benar-benar lelah dan dia akan segera memakai obat ini, dia ingin tahu apakah obat ini mujarab atau tidak.     

Bram berjalan ke kamar mandi dan membuka pakaiannya, dia juga membuka perban yang di pakaikan oleh Diman karena kulitnya terkelupas. Perlahan Bram membuka perban itu dan membuangnya di tempat sampah termasuk pakaiannya yang sudah bau busuk.     

"Luka ini benar-benar membuat aku tidak bisa tenang dan aroma busuknya benar-benar menyengit," gumam Bram yang tidak tahan mencium aroma tubuhnya yang busuk hingga Bram harus muntah.     

Uwekkk ... uwekkk ...     

Bram memuntahkan semua isi perutnya, dia juga melihat luka-luka itu berjatuhan ulat dan tentu membuat dia jijik. Bram menyiram air untuk menghilangkan ulat itu.     

"Bram, ini gila, mana mungkin ini bisa seperti ini, aku tidak menyangka kalau ini seperti ini, dan aku tidak menyangka sama sekali hal ini membuat aku merasa jijik dengan tubuhku sendiri." Bram benar-benar jijik dengan tubuhnya dan membuat dia ingin menyingkir tubuhnya sendiri.     

Bram memberanikan diri untuk menyiram badanya dan menahan rasa sakit di tubuhnta karena luka ini. Selesai mandi, Bram mengoleskan obat dari mbah Agung dan perlahan obat itu di oles rasa perih mengigit hingga ke ulu hati.     

"Bram, kamu kuat, ayo kamu bisa Bram, jangan takut Bram, kamu bisa," ucap Bram pada dirinya sendiri.     

Bram berusaha untuk tenang dan tentu saja teriakkan Bram karena lukanya di olesin oleh obat itu membuat keringat dingin setelah di obati, Bram bisa bernafas lega. Luka di tubuhnya benar-benar sudah tertutup dan tidak ada lagi luka yang terlihat sama sekali.     

"Aku lega dan aku tidak melihat luka ini lagi, semoga luka ini sembuh," gumam Bram yang membalut lukanya dengan perban hingga tertutup rapi.     

Bram keluar dari kamar menuju tempat dia menyimpan pakaian, Bram mengambil kaus putih dan dia memakai celana tidur yang sedikit longgar. Bram berjalan menuju tempat tidur, hari memang sudah mau menjelang pagi suara azan juga sudah berkumandang, tapi Bram memilih tidur dari pada solat, Bram naik ke tempat tidur dan langsung memejamkan matanya.     

Di rumah Dino, mang Jupri mendapat kabar kalau Dino baik dan sudah di tangani oleh dokter, Ian dan Toni sudah membantu pak ustad Mahdi untuk berbaring di tempat tidur dan tentu saja itu membuat mereka ikutan lega juga.     

"Sekarang pak ustad sudah aman, dan Dino juga, alangkah baiknya kita bersiap solat subuh, setelah itu tidur kembali, kalian kerja?" tanya mang Jupri kepada Ian dan Toni.     

"Iya, kami kerja, tapi kami masuk jam sembilan, karena ada liputan di luar, bisa tidur untuk menghilangkan pusing, kalau Paijo mungkin akan langsung ke kantor, aku bawakan pakaian dan perlengkapan mandi saja, biasanya juga gitu," ucap Ian kepada mang Jupri.     

"Ya sudah, ayo kita bersiap dan solat di sini saja," ucap mang Jupri kepada Ian dan Toni dan di balas anggukkan dari keduanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.